MODIFIKASI PERILAKU KELAS GOOD BEHAVIOR GAME

Posted by kurniadhani on July 07, 2015
Uncategorized / No Comments

Anda seorang pengajar?

Sering kali para pengajar kewalahan menghadapai perilaku peserta didik di dalam kelas. Ada siswa yang diam saja, ada siswa yang ribut kesana-kemari, ada siswa yang anteng, ada yang modar-mandir, ada yang pasif, ada yang hiperaktif… hehehe

Berikut ini salah satu rancangan program modifikasi perilaku peserta didik dalam kelas yang pernah saya buat.  Semoga dapat menjadi bahan tambahan strategi manajemen kelas Anda   🙂

 

Modifikasi Perilaku Kelas

oleh: Kurnia Rahmad Dhani

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

Latar Belakang Masalah

Ruang kelas terdiri dari pengajar dan siswa dengan latar belakang dan perilaku yang beraneka ragam. Pengajar akan berhadapan dengan berbagai siswa dengan perilaku yang pendiam atau sebaliknya aktif berbicara, aktif bergerak kesana-kemari, yang mudah menangis, suka berteriak-teriak, hingga yang suka berkelahi. Siswa-siswa di dalam kelas yang melakukan perilaku yang mengacau, agresif, berbicara kesana-kemari, tidak mengerjakan tugas, tidak patuh maupun sering meninggalkan tempat duduknya, akan membuat sakit kepala bila Anda adalah seorang pengajar. Perilaku mengganggu atau disruptif dari siswa bila muncul secara terus-menerus, akan menghabiskan banyak waktu dalam instruksional kelas dan bahkan dapat membuat guru frustrasi (Nelson & Roberts, 2000).

Tekanan maksimalisasi pencapaian akademik siswa datang dari berbagai arah. Tuntutan pemerintah, sekolah, hingga para orangtua siswa akan menambah rasa frustrasi pengajar. Dengan demikian, kemampuan seorang pengajar untuk mengelola berbagai perilaku siswa mutlak dibutuhkan untuk mengarahkan perilaku anak pada pemahaman pembelajaran yang optimal.

Praktik manajemen kelas yang tepat akan mampu mencegah perilaku bermasalah anak di dalam kelas. Pengelolaan perilaku ini sangat diperlukan untuk mendukung pencapaian akademik anak. Di antara praktik manajemen kelas untuk mengelola dan memodifikasi perilaku bermasalah anak di dalam kelas adalah dengan menggunakan prosedur Good Behavior Game (GBG) (Flower, McKenna, Bunuan, Muething & Vega, 2014).

BAB II

LANDASAN TEORI

 

The Good Behavior Game

The Good Behavior Game (GBG) adalah jenis prosedur manajemen kelas yang berorientasi kelompok yang saling bergantung. Prosedur ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1969 oleh Barrish dan telah digunakan secara luas. GBG sejak awal kemunculannya memanfaatkan kompetisi tim dan “permainan”, pengaruh tekanan kelompok dan prosedur-prosedur behavioristik lainnya. Prosedur ini menjadi populer karena dapat diterapkan dengan mudah, murah dan hemat waktu dan dapat disesuaikan dengan konteks pengajaran yang berlaku (Tingstorm, Sterling-Turner dan Wilczynski, 2006).

Prosedur GBG terdiri dari mengidentifikasi perilaku target, mengumumkan peraturan kelas, mengidentifikasi hadiah (reward), membagi anggota kelas paling tidak ke dalam dua tim yang ideal, mengidentifikasi pelaku perilaku-perilaku yang melanggar dan menyatakan apa pelanggaran yang dilakukan, mendebet (menggurangi) poin tim yang melakukan pelanggaran atau memberi poin pada tim yang mencapai perilaku yang diharapkan, pemberian hadiah harian maupun mingguan pada tim yang melakukan kesalahan paling sedikit (Flower, McKenna, Bunuan, Muething & Vega, 2014).

 

Asesmen Perilaku

Perilaku baik dan buruk secara universal tidak memiliki patokan yang sama dan ajeg. Perilaku kelas yang dianggap baik di Amerika, belum tentu dianggap sebagai perilaku yang baik atau pantas di Indonesia. Selain itu, suatu perilaku baik dan buruk juga akan sangat ditentukan oleh situasi dan setting sekolah tertentu. Bahkan, setiap guru juga memiliki standar penilaian baik-dan buruk yang berbeda pula.

Sebuah penilaian perilaku fungsional adalah seperangkat prosedur dimana kita dapat mengidentifikasi hubungan antara perilaku, anteseden dan konsekuensi. Asesmen tersebut harus mencakup paling tidak tiga hal, yaitu menentukan perilaku sasaran dengan tepat dan jelas, menentukan fungsi anteseden mana yang dapat lebih menghasilkan suatu perilaku dan menunjukkan bagaimana suatu fungsi perilaku seseorang untuk menentukan penguatan (Sarafino, 2012).

Para guru, psikolog, dan staf akademik sekolah mestilah mendefinisikan dengan jelas dan detil apa saja perilaku yang menjadi target dan perilaku yang harus dikurangi, dihilangkan atau bahkan didorong untuk dimunculkan atau ditingkatkan dari siswa. Oleh karena itu, sebelum memulai suatu program modifikasi perilaku, langkah utama dan paling awal yang harus ditempuh adalah asesmen perilaku (Ohio State Department of Education. 2014).

Ada dua tipe perilaku yang harus diperhatikan, yaitu perilaku berlebih (excess) dan perilaku yang kurang (deficit). Perilaku berlebih adalah perilaku yang tidak diharapkan, yang sangat sering terjadi, sangat kuat, maupun terlalu lama, misalnya siswa yang sering berbicara dengan suara keras saat guru sedang menerangkan. Perilaku deficit adalah perilaku yang diharapkan, yang kurang sering muncul atau dilakukan atau kurang kuat, misalnya siswa yang kurang percaya diri untuk menyampaikan pendapat, siswa yang jarang oleh raga, dll (Sarafino, 2012).

Asesmen perilaku dapat dilakukan baik secara langsung, tidak langsung dan melalui penelitian eksperimen laboratorium. Secara tidak langsung yaitu dengan menggunakan teknik wawancara maupun kuesioner. secara langsung yaitu observasi secara langsung dalam konteks kelas yang natural. Secara experiment laboratorium adalah dengan manipulasi lingkungan yang sistematis (Sarafino, 2012).

Ramsay, Reynolds dan Kamphaus (2002) menjelaskan bahwa diantara semua teknik asesmen perilaku anak, yang paling tepat adalah secara langsung dalam konteks kelas yang natural. Mereka menjelaskan akan adanya batasan data yang akan diperoleh yang disebabkan oleh filter yang dilakukan oleh informan maupun keterbatasan yang dimiliki oleh anak. ‘Filter dan variabel’ dari informan maupun anak akan mempengaruhi akurasi data yang didapat karena banyak sekali faktor yang mempengaruhi. Salah satu faktor adalah konteks tempat atau lingkungan (environmental contingency).

 

Penguat (Reinforcement)

Teknik modifikasi perilaku yang paling umum adalah dengan menggunakan penguatan. Penguatan diberikan segera setelah suatu perilaku target dilakukan oleh subjek, dalam hal ini adalah siswa. Hal utama yang harus dipahami adalah, penguat adalah relatif bagi setiap siswa. Dengan demikian, siswa diberikan kesempatan untuk menentukan pilihan atas penguatan apa yang diinginkan oleh mereka. Daftar pilihan penguat tersebut berasal dari asesmen awal seperti yang dijelaskan sebelumnya. Pilihan tersebut diberikan oleh pengajar dalam daftar terbatas yang telah disediakan (Ohio State Department of Education. 2014).

Secara keseluruhan, ada empat tipe penguatan, yaitu mengalihkan diri (escape), perhatian (attention), otomatis, dan tangible. Escape sebagai penguat adalah sesuatu atau kesempatan yang memungkinkan seseorang untuk melarikan dirinya dari sesuatu yang tidak disenangi, merasa diperhatikan adalah suatu penguat, otomatis maksudnya adalah suatu penguat yang secara langsung dipersepsikan oleh si pelaku dan tangible adalah suatu benda atau materi yang dapat disentuh seperti pena, buku, pensil atau permen misalnya (Sarafino, 2012).

 

Dalam GBG, penguat yang digunakan pada umumnya berbentuk:

  1. Penguat Sosial (Social Reinforcers). Penguat sosial dapat dipahami sebagai suatu bentuk dari penguatan berupa pujian dan perhatian dari suatu lingkungan sosial. Perilaku target dapat muncul dan bertambah bila diikuti dengan pujian yang antusias, dan sebaliknya bila suatu perilaku tidak diikuti dengan pujian maka perilaku itu akan berkurang. Penguat sosial akan efektif bila ditunjukkan atau disampaikan secara psesifik pada perilaku target (Ohio State Department of Education. 2014; Becker, Bradshaw, Domitrovich dan Ialongo, 2013).
  2. Penguat Berupa Aktifitas. Pengajar dapat menjadikan suatu aktifitas menjadi sebuah penguat. Dalam panduan GBG Ohio (2014), mencontohkan kasus anak yang mengalami masalah yang sulit untuk tetap duduk di bangkunya saat guru menerangkan, yang mana ia ternyata suka menggambar di papan tulis. Guru dapat menjadikan hobi menggambarnya menjadi sebuah penguat dengan cara memberikan peraturan pada siswa bahwa ia boleh menggambar di papan tulis hanya bila siswa tersebut dapat duduk manis selama waktu yang ditentukan oleh guru.

Penguat berupa aktifitas juga dapat berupa waktu istirahat tambahan (Kleinman dan Saigh, 2011).

  1. Penguat Berupa Makanan. Makanan adalah penguat yang paling dasar dan umum digunakan sebagai penguat. Penguat dapat berupa permen, pizza, kue dll (Kleinman dan Saigh, 2011).
  2. Penguat Berupa Materi (Tangibel). Penguat berupa materi maksudnya adalah penguat yang berupa benda seperti mainan, pernak-pernik, alat-alat tulis, dll (Ohio State Department of Education, 2014).
  3. Penguat Berupa Token. Token atau ekonomi token adalah metode yang menggunakan sistem konsekuensi yang kompleks dan biasanya diterapkan dengan kelompok individu untuk berbagai perilaku sasaran. Ekonomi token secara umum cenderung dicoba digunakan untuk mengubah perilaku kelompok individu (bukan hanya satu orang), memodifikasi perilaku sasaran secara lebih luas dan menggunakan sistem konsekuensi yang relative kompleks (Sarafino, 2012). Sistem token dapat diberikan ketika suatu penguat tidak dapat diberikan secara langsung, tetapi dapat ditukarkan dengan penguat yang sebenarnya di waktu yang ditentukan (Ohio State Department of Education, 2014).
  4. Penguatan Berselang / Tertunda (Intermittent). Penguatan berselang menerapkan prinsip variabel rasio, yang dihitung berdasarkan jumlah respon atau perilaku target dan penguat diberikan tidak secara langsung (Miltenberger, 2012). Penguatan yang diberikan secara berselang atau tertunda membantu subjek untuk mempertahankan perilaku target meskipun program telah berhasil (Ohio State Department of Education, 2014).

BAB III

Rencana Program Good Behavior Game

 

  1. Pendahuluan
    • Tujuan

Program intervensi Good Behavior Game ini bertujuan untuk mengurangi perilaku siswa disruptif, agresif, dan siswa yang pemalu pada siswa kelas lima Sekolah Dasar

  • Definisi operasional Good Behavior Game

Program GBG berbentuk permainan yang berbentuki kompetisi tim untuk memperebutkan hadiah, hak istimewa dan suatu kegiatan khusus. Permaian berdasarkan skor terkecil yang dihitung berdasarkan jumlah cek kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh anggota tim. Terdapat tim pemenang harian dan mingguan.

  • Alat yang Dibutuhkan
    • Papan Skor dan Penghitung Waktu

Dapat dilihat di lampiran tabel

  • Hadiah (Reward)

Dapat dilihat di lampiran tabel

  • Formulir Data
  • Form data anggota kelas
  • Form data anggota tim
  • Form Baseline
  • Buklet catatan skor tiap anak
    • Stempel penanda skor
  • Keperilakuan yang Menjadi Fokus dan Peraturan untuk Tiap-tiap Perilaku
    • Berbicara di kelas atau gangguan suara, yaitu berbicara tanpa seizin guru, bernyanyi, bersiul, berteriak, dan atau membuat gangguan suara lainnya

Peraturan: “Kita akan belajar dengan hening”

  • Agresi atau mengganggu secara fisik, yaitu kontak fisik seperti memukul, menendang, mendorong, menjegal, menarik rambut, memiting, melemparkan sesuatu, mengambil dan merusak benda milik orang lain ataupun alat sekolah.

Peraturan: “Kita harus sopan dan baik kepada orang lain”

  • Meninggalkan tempat duduk, yaitu meninggalkan tempat duduk tanpa izin guru, termasuk berdiri, melompat atau berjalan-jalan di dalam ruangan kelas.

Peraturan: “Kita akan meninggalkan tempat duduk dengan izin”

  • Ketidakpatuhan, yaitu melanggar peraturan atau tidak patuh terhadap instruksi guru

Peraturan: “Kita akan mematuhi peraturan”

  • Komposisi Tim
  • Guru akan membagi kelas ke dalam kelompok tim kecil GBG. Tiap-tiap tim akan terdiri dari siswa dengan perilaku bermasalah yang jumlahnya seimbang (anak pengacau, agresif, terisolasi/pendiam,dll) . Kelas akan dibagi menjadi tiga kelompok.
  • Setiap kelompok tim anak menentukan siapa ketua kelompok mereka maupun berdasarkan atas tunjukan guru. Tugas ketua kelompok adalah menerima hadiah, meletakkan bintang pada papan skor, dan membantu guru dalam urusan keloompok masing-masing. Posisi ketua kelompok dapat digilir oleh masing-masing anggota tim.
  • Guru akan mencatat nama masing-masing anggota kelompok. Status keperilakuan tiap-tiap anak dipantau dalam form isian tepat di sebelah masing-masing nama.
  • Guru juga mencatat status keperilakuan kelompok sebagai sebuah tim.

 

  1. Prosedur
    • Baseline
  • Tiga minggu sebelum kegiatan dilakukan:
    • bagi kelas menjadi tiga kelompok. Pembagian ini belum diumumkan pada siswa.
    • Tempat duduk siswa diatur ulang berdasarkan kelompok yang telah dibentuk oleh guru. Pengaturan tempat duduk disesuaikan untuk memudahkan guru memantau siswa dalam pengumpulan data untuk GBG.
    • Peraturan perilaku kelas harus dibaca bersama-sama setiap paginya.
  • Dua minggu sebelum kegiatan:
    • Pengumpulan data baseline GBG dimulai. Guru menggunakan form baseline GBG. Guru mencatat tanda cek untuk waktu 10 menit pada masing-masing kelompok. (kegiatan ini jangan sampai diketahui oleh siswa)
    • Guru melakukan setidaknya satu kali sesi latihan sebelum mengadakan tiga sesi baseline per minggunya. Guru selanjutnya melakukan baseline selama dua minggu dan memiliki total ada enam sesi.
    • Peraturan perilaku kelas tetap dibaca di kelas setiap pagi.
  • Bila tim yang dibentuk (simulasi) oleh guru selalu gagal karena perilaku siswa yang mengganggu di dalam tim, maka tim harus dibentuk ulang.
    • Minggu Pertama
  • Guru akan menempelkan peraturan perilaku kelas di dinding kelas:
    • “Kita akan belajar dengan hening”
    • “Kita harus sopan dan baik kepada orang lain”
    • “Kita akan meninggalkan tempat duduk dengan izin”
    • “Kita akan mematuhi peraturan”
  • Guru akan menempelkan papan skor
  • Guru akan menempelkan daftar nama dan tim kelas

 

  • Hari I
  • Guru membagikan buklet GBG yang berisi peraturan kelas dan tata permainan
  • Mengumumkan akan melakukan game dengan waktu 10 menit setiap sesi pelajaran
  • Mengumumkan kelompok tim dan pembagian anggota
  • Guru membacakan ulang buklet yang telah dibagikan dan menjelaskan ulang tentang perilaku-perilaku yang dianggap melanggar, dan menyampaikan dampaknya pada papan catatan yang telah ditempelkan
  • Guru akan menyatakan secara verbal perilaku salah apa yang dilakukan oleh siswa, dan mencatat kesalahan tersebut di papan isian.
  • Guru mengumumkan bahwa setiap kelompok yang memperoleh empat tanda cek atau kurang selama 10 menit game dapat menang, dan semua tim dapat menang.
  • Guru menyampaikan bahwa tim yang menang akan memperoleh tanda J dalam bookletnya dan mendapat tanda bintang di papan skor di akhir sesi game.
  • Tim yang menang akan memperoleh hadiah secara langsung setelah sesi game berakhir.
  • Guru akan mengatur waktu 10 menit pada timer dan mengumumkan bahwa permainan dimulai.
  • Guru melanjutkan sesi pelajaran seperti biasa
  • Segera setelah perilaku salah terjadi, maka guru akan:
    • Menyatakan apa perilaku yang dianggap melanggar aturan (dengan suara normal)
    • Menyebutkan siapa siswa yang melakukan kesalahan
    • Memuji tim lain yang anggotanya berperilaku baik.
  • * Perlu menjadi perhatian: permaianan hanya berlaku untuk perilaku siswa di kelas, bukan untuk kegiatan akademik
  • Setelah sesi game 10 menit berakhir, guru meninjau jumlah tanda yang diperoleh oleh masing-masing tim. Menyebutkan persyaratan yang dibutuhkan oleh tim agar dapat menang, dan kemudian mengumumkan tim mana yang menjadi pemenang. Dan kemudian memberikan stempel J di buklet masing-masing siswa. (untuk siswa yang tidak hadir, diberi catatan keterangan absen)
  • Guru mencatat informasi dan data mengenai game dalam form harian dan bulanan.
  • Catatan mengenai waktu (mulai dan berakhir) game adalah penting.
  • Tanda bintang diletakkan oleh ketua tim pada papan skor. Ketua kemudian membagikan hadiah yang diperoleh pada semua anggotanya.

 

  • Hari II GBG
  • Papan skor hari sebelumnya, harus sudah bersih dari catatan hari sebelumnya
  • Guru mengumumkan bahwa mereka akan melakukan game lagi selama 10 menit, dengan tim yang sama dengan hari sebelumnya
  • Mengulangi peraturan perilaku kelas
  • Mengulangi persyaratan agar tim dapat menang
  • Guru menyampaikan bahwa game akan dilakukan selama seminggu dan di akhir minggu akan dihitung tim mana yang paling banyak menang, akan menjadi juara mingguan. Pemenang mingguan akan memperoleh hadiah berupa suatu hak istimewa (misal: jam istirahat tambahan)
  • Selanjutnya, game akan dimainkan sama persis dengan hari sebelumnya.

 

  • Penyelidikan Mingguan

Akan dilakukan penyelidikan GBG satu kali setiap minggunya, selama GBG dilakukan. Penyelidikan ini dilakukan tanpa sepengetahuan siswa dan dengan rentang waktu yang sama dengan GBG

 

  • Pemenang Mingguan
  • Tim yang paling banyak menang (harian) akan mendapatkan tanda J di sebelah papan skornya.
  • Mendapat hadiah berupa hak istimewa baik berupa jam istirahat tambahan, pesta popcorn, atau pesta makan pizza (Kleinman dan Saigh, 2011)
  • Tim yang tidak menang dibiarkan tetap tinggal di bangku dengan tenang, tanpa ada perhatian khusus dari guru
  • Guru mengisi data tim yang menang pada form pemenang mingguan dan menuliskan hadiah apa yang diterima.

 

  1. Prosedur GBG selama Setahun
    • Melanjutkan GBG setelah minggu pertama
  • Pada hari pertama di minggu ke-dua guru dan siswa bersama-sama meriviu perkembangan mereka dan kemudian mengumpulkan pendapat mereka tentang GBG
  • Para siswa kemudian memilih kembali apa hadiah mingguan untuk mereka sesuai dengan list hadiah yang telah disebutkan sebelumnya
  • Pada minggu-minggu awal, hadiah harus berupa tangible. Bila keseluruhan tim (3) secara bersamaan menang terus secara konsisten:
    • hadiah intangible dapat disertakan
    • waktu game dapat diperpanjang dari awalnya hanya 10 menit ke satu jam
    • bila konsistensi menang ke 3 tim tinggi maka guru dapat memulai game mulai dari awal jam sekolah (pagi) hingga akhir jam sekolah (sore) dan menyampaikan bahwa hadiah harian dapat siswa perolah di akhir sesi jam sekolah.

 

  • Bila ketiga tim tidak menang bersamaan secara konsisten

Guru dapat melakukan:

  • Membentuk ulang komposisi tim atau membentuk tim tambahan bila ternyata ada anak yang secara konsisten menjadi penyebab kalahnya suatu tim. Menyampaikan bahwa tim keempat yang baru adalah setara dan tidak memperoleh perhatian khusus.
  • Meninjau ulang jenis hadiah dan waktu pemberian hadiah. Perlakuan dapt berupa memperpendek rentang waktu game dan memberikan hadiah secara langsung ketika suatu perilaku target muncul (tidak ditunda).

 

 

 

 

 

 

 

 

Lampiran

            Form Asesmen

Nama Anak: …
Perilaku Bermasalah ABC Perilaku Target
Gangguan Suara

Berbicara di kelas atau gangguan suara, yaitu berbicara tanpa seizin guru, bernyanyi, bersiul, berteriak, dan atau membuat gangguan suara lainnya

Frekuensi   Belajar dengan tenang dan hening
Durasi  
Intensitas  
Anteseden  
Konsekuensi  
Analisis setting ekologis  
Agresifitas

Agresi atau mengganggu secara fisik, yaitu kontak fisik seperti memukul, menendang, mendorong, menjegal, menarik rambut, memiting, melemparkan sesuatu, mengambil dan merusak benda milik orang lain ataupun alat sekolah.

Frekuensi   sopan dan baik kepada siswa lain

(polite)

Durasi  
Intensitas  
Anteseden  
Konsekuensi  
Analisis setting ekologis  
 
Pemalu (shyness)

 

Frekuensi   Lebih aktif
Durasi  
Intensitas  
Anteseden  
Konsekuensi  
Analisis setting ekologis  
 
Meninggalkan tempat duduk tanpa izin guru

yaitu meninggalkan tempat duduk tanpa izin guru, termasuk berdiri, melompat atau berjalan-jalan di dalam ruangan kelas.

Frekuensi   Meninggalkan tempat duduk dengan izin guru
Durasi  
Intensitas  
Anteseden  
Konsekuensi  
Analisis setting ekologis  
       
Ketidakpatuhan

yaitu melanggar peraturan atau tidak patuh terhadap instruksi guru (response to teacher)

Frekuensi   –          mematuhi peraturan

–          respon pada instruksi guru

Durasi  
Intensitas  
Anteseden  
Konsekuensi  
Analisis setting ekologis  

 

            Daftar Nama dan Tim Kelas

Tim Anggota
1
2
3

 

            Form Data Ketua Tim

Tim Ketua Tim Bulan … Tanggal pergantian Ketua Tim yang Baru
Nama NIS WD RF Nama NIS WD RF
1
2
3

*WD: diisi cek bila ketua tim dipilih karena ia pemalu

*RF: diisi bila ketua tim diganti secara berkala

Form Baseline GBG

  Pemeriksaan
Minggu mulai Pemeriksaan 1 Pemeriksaan 2 Pemeriksaan 3
Tanggal
Waktu mulai
Waktu berakhir
Aktifitas selama game
Tim 1
Tim 2
Tim 3
Minggu mulai Pemeriksaan 1 Pemeriksaan 2 Pemeriksaan 3
Tanggal
Waktu mulai
Waktu berakhir
Aktifitas selama game
Tim 1
Tim 2
Tim 3

*aktifitas selama game: membaca, matematika, dll

 

            Papan Skor

Tim Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Juara Mingguan
1
2
3

 

 

 

 

Form Data GBG Bulanan

  Bulan
Minggu mulai Game 1 Game 2 Game 3 Penyelidikan
Tanggal
Waktu mulai
Waktu berakhir
Aktifitas selama game
Tim 1
Tim 2
Tim 3
Waktu pemberian hadiah
Hadiah
Reaksi terhadap hadiah
Tim pemenang mingguan
Hadiah pemenang mingguan
Minggu mulai Game 1 Game 2 Game 3 Penyelidikan
Tanggal
Waktu mulai
Waktu berakhir
Aktifitas selama game
Tim 1
Tim 2
Tim 3
Waktu pemberian hadiah
Hadiah
Reaksi terhadap hadiah
Tim pemenang mingguan
Hadiah pemenang mingguan

 

 

Hadiah GBG

Bulan I
Tangibel Intangibel
·         Permen ·         Jam istirahat tambahan
·         Stiker ·         Menonton kartun selama setengah jam
·         Pensil
·         Rautan
·         Buku mewarnai
·         Kartu bergambar
·         topeng
Bulan II
Tangibel Intangibel
·         cokelat ·         Jam istirahat tambahan
·         Stiker ·         Menonton kartun selama setengah jam
·         Spidol berwarna
·         Buku mewarnai ·         Mendengarkan cerita dari guru
·         Kartu bergambar
·         kelereng
Bulan III
Tangibel Intangibel
·         Sertifikat juara ·         Menempelkan gambar karya siswa di dinding kelas
·         Yoyo ·         Tim yang juara mendapat tepuk tangan dari seluruh kelas
·         Buku cerpen
·         boneka
Bulan III
Tangibel Intangibel
·         Piala juara bergilir ·         Memainkan game favorit siswa
·         stiker ·         Pelukan dari guru
·         Kartu bergambar ·         Berjabat tangan dengan kepala sekolah
·         Menempelkan karya siswa di mading sekolah
·         Jalan-jalan ke kebun binatang
Bulan IV – …
* disesuaikan dengan konteks dan keinginan siswa, dengan batas pertimbangan guru

 

* Hadiah harus berupa benda yang tangible pada minggu-minggu awal intervensi GBG.

 

Catatan:

Program ini mengikuti Panduan Program Good Behavior Game Departemen Pendidikan Negara Bagian Ohio, Amerika Serikat (Ohio State Department of Education. 2014) dengan penambahan dan penyesuaian konten.

 

 

 

 

Referensi

Becker.K.D., Bradshaw. C.P., Domitrovich.C., dan Ialongo.N.S. 2013. Coaching Teachers to Improve Implementation of the Good Behavior Game. Adm Policy Ment Health (2013) 40:482–493 DOI 10.1007/s10488-013-0482-8.

Daniel H. Tingstrom, Heather E. Sterling-Turner and Susan M. Wilczynski. 2006. The Good Behavior Game: 1969-2002. Behav Modif. 2006 30: 225. DOI: 10.1177/0145445503261165.

Flower.A., McKenna. J.W., Bunuan. R.L., Muething.C.S., dan Vega.R., 2014. Effects of the Good Behavior Game on Challenging Behaviors in School Settings. Review of Educational Research. DOI: 10.3102/0034654314536781.

Kimberly E. Kleinman dan Philip A. Saigh. 2011. The Effects of the Good Behavior Game on the Conduct of Regular Education New York City High School Students. Behav Modif. 2011 35: 95. DOI: 10.1177/0145445510392213

Miltenberger. R.G. 2012. Behavior Modification: Principles and Procedures, 5th ed. Belmont: Wadsworth.

Nelson. J.R. & Roberts. M.L., 2000. Ongoing Reciprocal Teacher-Student Interactions Involving Disruptive Behaviors in General Education Classrooms. Journal of Emotional and Behavioral Disorders. DOI: 10.1177/106342660000800104.

Ohio State Department of Education. The Good Behavior Game Manual. 2014. Diunduh 27 Juni 2014:13.39. https://education.ohio.gov/ getattachment/Topics/Other-Resources/School-Safety/Building-Better-Learning-Environments/Promote-Pro-Social-Behavior/Good-Behavior-Game-Manual.pdf.aspx.

Ramsay. M.C., Reynolds. C.R. & Kamphaus. R.W. 2002. Essentials of Behavioral Assessment. New York: Wiley&Sons.

Sarafino. E.P. 2012. Applied Behavior Analysis: principles and procedures for modifying behavior. Hoboken: Wiley & Son.

 

Hubungan Penggunaan Facebook dengan Narsisme, Self-Esteem dan Kesepian pada Remaja di Indonesia

Posted by kurniadhani on July 07, 2015
Psikologi Teknologi (Media), Uncategorized / No Comments

oleh:

Kurnia Rahmad Dhani

 

Abstrak

Mini-riset ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan penggunaan media sosial facebook dengan tingkat narsisme, self-esteem dan kesepian pada remaja di Indonesia. Data diperoleh dari kuesioner online yang melibatkan 52 orang responden mahasiswa S1 selama April dan Mei 2015. Hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara keseluruhan penggunaan facebook dengan narsisisme, dan secara khusus menunjukkan bahwa skor facebook menyatu dengan kegiatan sehari-hari dengan narsisisme berkorelasi positif dan signifikan; tidak ada korelasi signifikan antara keseluruhan penggunaan facebook dengan self-esteem namun secara khusus walaupun tidak signifikan, komponen waktu menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara waktu dengan self-esteem; selanjutnya, penggunaan facebook dengan kesepian tidak terbukti memiliki hubungan yang signifikan, namun menarik untuk diperhatikan bahwa korelasi terjadi secara negatif.

Kata Kunci facebook, narsisme, self-esteem, kesepian, remaja

 

Latar Belakang

Perkembangan teknologi berupa internet memunculkan beragam ruang untuk berinteraksi baik melalui surat elektronik, blog, maupun media sosial dan masih banyak lagi. Media sosial sendiri merupakan suatu kumpulan aplikasi berbasis internet yang memungkinkan para penggunanya untuk saling berkomunikasi, berbagi konten, menjalin relasi, membangun bisnis, membentuk opini publik, menggalang aksi charity hingga membuat destruksi.

Penggunaan media sosial telah banyak menjadi perhatian para peneliti dan terbukti sangat berhubungan baik dengan ekspresi diri (self expressions), pembentukan diri (self creating /self forming) (Takahashi, 2010) hingga kesejahteraan subjektif penguna (Kim, Chung & Anh, 2014). Selain itu, penggunaan media sosial terbukti berkaitan dengan ciri sifat dan kepribadian tertentu seperti narsisistik (Buffardi & Campbel, 2008; Ahn, Kwolek & Bowman, 2015), self-esteem (van Zalk, Branje, Denissen, van Aken & Meeus, 2011) dan kesepian (Bian & Leung, 2015; Yang& Brown, 2013; Sharabi & Margalit, 2011).

Salah satu aktivitas yang dapat dilakukan di media sosial adalah menulis, baik itu menulis tentang diri sendiri maupun mengenai berbagai hal. Para pengguna dapat menggunakan fitur catatan atau yang paling biasa dan paling sering digunakan yaitu kolom status. Menulis tentang diri sendiri dalam media sosial merupakan suatu cara dalam memahami diri sendiri maupun membentuk hubungan dengan orang lain. Menulis dalam media sosial merupakan aktivitas yang lebih dari sekedar ekspresi sifat narsisistik atau hanya sekedar alat berkomunikasi dengan orang lain karena menulis tentang diri sendiri (self-writing) merupakan sebuah tindakan dalam proses pembentukan diri (self-forming) (Sauter, 2014).

Media sosial sangatlah beragam, sebut saja facebook, twitter, google-plus, instagram, pinterest, dan masih banyak lagi. Diantara semua media sosial tersebut, facebook adalah media sosial yang masih menempati tempat teratas dibanding lainnya dengan rata-rata 936 juta pengguna seluruh dunia perhari pada bulan Maret 2015 (http://newsroom.fb.com/company-info/). Jumlah pengguna Facebook di Indonesia sampai dengan bulan Juni 2014 sudah mencapai angka 69 juta anggota (http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150327061134-185-42245/berapa-jumlah-pengguna-facebook-dan-twitter-di-indonesia/). Meskipun mengalami kemunduran jumlah pengguna karena mulai tersaingi oleh aplikasi media sosial lainnya (http://www.republika.co.id/berita/trendtek/aplikasi/15/02/11/ njlqvx-mulai-jenuh-facebook-kehilangan -100-juta-pengguna-aktif), jumlah pengguna facebook yang masih sangat besar ini patut menjadi sasaran penelitian yang lebih lanjut.

 

Narsisme

Penggunaan media sosial sangat berkaitan erat dengan tingkat narsisistik seseorang. Penelitian Wang & Stefanone (2013) menunjukkan bahwa ciri kepribadian tertentu seperti narsisistik dan ekstraversi dapat mempengaruhi strategi pengungkapan diri para pengguna facebook yaitu secara selektif mengungkapkan lokasi fisik pada audiensnya (jejaringnya) dalam facebook. Hal ini diakibatkan oleh perkembangan teknologi komunikasi yang mobile, yaitu hubungan sosio-spasial telah menjadi suatu faktor yang esensial dalam artikulasi pengungkapan informasi dan identitas.

Kepribadian narsisisik diekspresikan dalam jejaring sosial dan juga sebaliknya, dipersepsikan dari jejaring sosial. Perilaku narsisistik dalam media sosial serupa dengan bagaimana perilaku tersebut di dunia nyata atau off-line (Buffardi & Campbel, 2008). Narsisme adalah sifat kepribadian yang merefleksikan waham kebesaran (grandiose) dan konsep diri yang melambung. Secara khusus, perilaku narsisistik berhubungan dengan pandangan diri yang positif dan meninggi pada sifat-sifat tertentu seperti inteligensia, kekuatan, dan daya tarik diri (Buffardi & Campbel, 2008). Narsisisme grandiose berhubungan positif dengan penggunaan media sosial khususnya facebook, yaitu di mana semakin tinggi tingkat narsisisme maka semakin tinggi pula ketertarikan dan aktivitas dalam facebook (Walters & Horton, 2015).

Hipotesis yang pertama adalah, narsisme akan berkorelasi positif dengan penggunaan facebook.

 

Self Esteem

Self esteem didefinisikan sebagai perasaan seseorang pada nilai diri (self-worth), atau sebesar apa seseorang menilai, menerima, mengapresiasi, menghargai maupun menyukai dirinya sendiri (Hills, Francis, Jennings, 2011). Self-esteem tidak selalu menggambarkan tujuan kemampuan maupun talenta seseorang, atau bahkan bagaimana seseorang dievaluasi oleh orang lain. Selain itu, self esteem pada umumnya dionseptualisasikan sebagai “perasaan bahwa diri seseorang cukup baik”, dan dengan demikian seseorang yang memiliki self esteem yang tinggi tidak merasa perlu untuk merasa bahwa dirinya lebih superior dari orang lain. Dengan demikian, self-esteem melibatkan perasaan penerimaan diri dan menghormati diri sendiri, berkebalikan dengan seseorang dengan pengormatan-diri yang eksesif maupun keagungan diri (self-aggrandizement) yang merupakan karakteristik individu narsisistik (Orth & Robin, 2014).

Seseorang yang memiliki tingkat self-esteem yang rendah cenderung sering meng-update status mengenai pasangan romantis. Mereka dengan tingkat narsisisme yang tinggi menggunakan facebook untuk mencari perhatian (attention-seeking) dan pengakuan (validation), menjelaskan kecenderungan mereka yang tinggi untuk memperbaharui (update) status mereka mengenai apa saja pencapaian mereka, apa makanan mereka dan latihan rutin mereka (Marshall, Lefringhausen & Ferenczi, 2015)

Hipotesis yang ke-dua adalah, self-esteem akan berkorelasi negatif dengan penggunaan facebook.

 

Kesepian / Loneliness

Satu dari empat orang menderita kesepian (Perlman, 1988). Penelitian Bian & Leung (2015) mengungkap bahwa semakin tinggi tingkat kesepian dan perasaan malu (shyness) maka semakin tinggi kecenderungan seseorang akan ketagihan pada penggunaan ponsel pintar, termasuk pada penggunaan aplikasi media sosial. Kesepian merupakan suatu fenomena unik dan multidimensional yang merepresentasikan sejauh mana seseorang mempersepsikan bahwa lingkaran sosialnya yang lebih sempit atau kurang memuaskan dibanding yang mereka harapkan (Betts & Bicknell, 2011). Perasaan kesepian tidaklah sama dengan kondisi sedang sendiri, tetapi lebih pada melibatkan perasaan terisolasi, perasaan terpisah (disconnectedness), dan perasaan tidak memiliki. Perasan tersebut merepresentasikan adanya ketidaksesuaian antara suatu kondisi yang diharapkan dan kondisi hubungan aktual seseorang (Hughes, Waite, Hawkley & Cacioppo, 2004). Secara khusus, penggunaan facebook untuk alasan kompensasi keterampilan sosial (social skills compensation reasons) menghasilkan perasaan kesepian yang terus menerus (Teppers, Luyckx, Klimstra & Goossens, 2014)

Hipotesis yang ke-tiga adalah bahwa tingkat kesepian akan berkorelasi positif dengan penggunaan facebook.

 

Metode

Partisipan

Mini-riset ini dilakukan dengan melibatkan 50 orang mahasiswa S1 pengguna aktif facebook.

 

Desain dan Prosedur

Partisipan diberi informasi mengenai tujuan studi. Partisipan melengkapi kuesioner (self-report measure) yang mengukur self-esteem, narsisisme dan kesepian setelah mereka setuju untuk berpartisipasi sebagai partisipan dalam studi yang diadakan secara online. Kuesioner menggunakan aplikasi survey online Universitas Gadjah Mada (survey.ugm.ac.id) dengan alamat: http://survey.ugm.ac.id/index.php?sid=16335&lang=id. Hanya kuesioner yang terisi penuh yang terpilih untuk dianalisis lebih lanjut.

Pengumpulan data dilakukan mulai 2015-04-20 20:29:26 hingga 2015-05-31 11:53:28.

 

Pengukuran

Penggunaan Facebook. Mini-riset ini menggunakan tujuh belas aitem pertanyaan untuk mengukur intensitas penggunaan facebook yang diadaptasi dari Skala Intensitas Penggunaan Facebook (Ellison, Steinfeld dan Lampe, 2007). Skala ini untuk melihat keaktifan individu dalam facebook, sejauh mana individu terikat secara emosional (sikap keseluruhan terhadap facebook) dan sejauh mana facebook menyatu dengan kegiatan individu sehari-hari (sikap keseluruhan terhadap status facebook). Respon diberikan dalam bentuk skala Likert 5 poin (1 = sangat tidak setuju dan 5 = sangat setuju). Untuk mengukur penggunaan facebook riil, partisipan diminta untuk melengkapi pertanyaan mengenai intensitas penggunaan (memperbaharui status) dalam rentang satu minggu (0, 1-5, 6-10, 11-15, 16-20 dan >20), berapa lama waktu yang dihabiskan dalam facebook (10, 10-30, 31-60 menit, 1-2, 2-3, >3 jam), jumlah teman (<11, 11-50, 51-100, 101-150, 151-200, 201-200, 251-300, 301-400, >400).

Self-Esteem. Skala Self-Esteem Rosenberg (SES – Rosenberg, 1965) digunakan untuk mengukur self-esteem. Skala ini berisi 10 aitem dengan respon skala 4 poin (1 = sangat tidak setuju dan 4 = sangat setuju) di mana skor tinggi menunjukkan self-esteem yang tinggi. RSIS merupakan pengukuran self-esteem yang paling banyak digunakan dewasa ini (Sinclair, Blais, Gansler, Sandberg, Bistis & LoCicero, 2010).

Narsisisme. Narsisisme diukur dengan menggunakan 16 aitem Narcissistic Personality Inventory – 16 (NPI-16 Ames, Rose dan Anderson, 2006).

Loneliness. Kesepian atau loneliness diukur dengan menggunakan Three Item Loneliness Scale yang merupakan versi singkat dari Revised UCLA Loneliness Scale (R-UCLA – Hughes, Waite, Hawkley & Cacioppo, 2004). Skala ini berisi tiga aitem dengan respon 4 poin (1 = tidak pernah dan 4 = sering sekali).

 

Hasil

Hipotesis diuji dengan menggunakan korelasi Pearson dalam perangkat lunak SPSS. Level signifikansi statistik yang digunakan adalah sebesar 0.05. Statistik deskriptif dikalkulasikan untuk mengevaluasi data demografik dan mengevaluasi trend dalam penggunaan facebook. Dalam hal waktu yang dihabiskan dalam facebook, diperoleh mean score sebesar 2.23 (SD=1.89), yang mengindikasikan bahwa partisipan menghabiskan kira-kira 1 jam perhari dalam facebook. Dari rerata jumlah teman, diperoleh mean score 7.83 (SD=0.71) yang mengindikasikan bahwa partisipan memiliki teman lebih dari 400 orang. Dalam hal jumlah memperbaharui status, diperoleh mean score 0.77 (SD=0.96), yang mengindikasikan bahwa partisipan memperbaharui status mereka kira-kira 1-5 kali dalam seminggu.

Korelasi Pearson dikalkulasi untuk mengevaluasi hipotesis.hasil analisis korelasional antara keseluruhan penggunaan facebook dengan konstrak narsisisme, self-esteem dan kesepian disajikan pada tabel berikut.

Tabel 1. Korelasi antar komponen Penggunaan Facebook dengan konstrak Nasisisme, Self-esteem dan Kesepian

Narsisime Self-esteem Kesepian
Teman .141 .106 -.177
Waktu .059 -.221 -.003
Update .200 .069 -.089
Kedekatan emosional thd facebook .173 .154 -.023
Seberapa menyatu facebook dengan kehidupan sehari-hari .318* .273* -.118
* = P<0.05

 

Tabel 2. Korelasi antara Keseluruhan Penggunaan Facebook dengan konstrak Narsisisme, Self-esteem dan Kesepian

Narsisisme Self-esteem Kesepian
Penggunaan Facebook .292* .125 -.134
Narsisisme .317* .036
Self-esteem .260
N=52* = P<0.05

 

Hipotesis yang pertama adalah, narsisme akan berkorelasi positif dengan penggunaan facebook. Sebagaimana diprediksi sebelumnya, terdapat hubungan positif yang signifikan antara penggunaan facebook dengan narsisisme (r=0.292, p<0.05). Dengan demikian, semakin tinggi penggunaan facebook seseorang, semakin tinggi pula narsisismenya. Secara khusus, skor sejauh mana facebook menyatu dengan kegiatan individu sehari-hari berkorelasi secara signifikan dengan facebook (r=.318, p<0.05), yang mengindikasikan bahwa facebook menyatu secara signifikan dengan kegiatan sehari-hari partisipan yang narsisis.

Hipotesis yang ke-dua adalah, self-esteem akan berkorelasi negatif dengan keseluruhan penggunaan facebook. Hipotesis tidak terbukti karena hasil menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara keseluruhan penggunaan facebook dengan self-esteem (r=0.125, p>0.05). Akan tetapi perlu diperhatikan lebih lanjut bahwa secara khusus walaupun tidak signifikan (r= -0.221, p>0.05), komponen waktu menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara waktu dengan self-esteem yang mengindikasikan bahwa orang dengan self-esteem tinggi cenderung menghabiskan waktu lebih sedikit dalam facebook.

Hipotesis yang ke-tiga adalah bahwa tingkat kesepian akan berkorelasi positif dengan penggunaan facebook. Hipotesis tidak terbukti karena hasil menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan facebook dengan kesepian. Namun demikian, perlu diperhatikan lebih lanjut bahwa nilai korelasinya menunjukkan sebaliknya yaitu korelasi terjadi secara negatif (r= -0.134) yang mengindikasikan bahwa semakin tinggi penggunaan facebook maka semakin rendah kesepian seseorang.

 

Kesimpulan dan Diskusi

Kembali pada pertanyaan penelitian, kita memperoleh bukti bahwa sesuai prediksi hipotesis pertama, terdapat hubungan positif yang signifikan antara keseluruhan penggunaan facebook dengan narsisisme dan secara khusus menunjukkan bahwa skor facebook menyatu dengan kegiatan sehari-hari dengan narsisisme berkorelasi positif dan signifikan.

Hasil menunjukkan bahwa tidak ada korelasi signifikan antara keseluruhan penggunaan facebook dengan self-esteem. Akan tetapi perlu diperhatikan lebih lanjut bahwa secara khusus walaupun tidak signifikan, komponen waktu menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara waktu dengan self-esteem yang mengindikasikan bahwa orang dengan self-esteem tinggi cenderung menghabiskan waktu lebih sedikit dalam facebook.

Penggunaan facebook dengan kesepian tidak terbukti memiliki hubungan yang signifikan, namun menarik untuk diperhatikan lebih lanjut bahwa korelasinya menunjukkan arah sebaliknya yaitu korelasi terjadi secara negatif, yang mengindikasikan bahwa semakin tinggi penggunaan facebook maka semakin rendah kesepian seseorang. Penelitian-penelitian sebelumnya memang menyarankan bahwa hubungan antara penggunaan facebook dan kesepian berkorelasi secara positif di mana orang yang kesepian akan menggunakan facebook secara lebih banyak dan bermakna negatif. Akan tetapi, arah hubungan yang negatif ini dapat kita pahami melalui penelitian Ellison et al. (2007), yaitu bahwa facebook membantu memelihara hubungan seseorang sebagaimana halnya pada komunitas offline. Media sosial seperti facebook memfasilitasi dengan cara yang sama dengan komuitas offline misalnya ketika siswa satu sekolah yang telah menjadi alumni tetap menjaga hubungan dengan teman-teman mereka secara online di media sosial. Dengan demikian, penggunaan media sosial seperti facebook dapat mendukung siapa saja untuk menjaga suatu ikatan atau hubungan.

Penelitian mengenai tingkat narsisme, self-esteem dan kesepian pada media sosial harus diperluas lagi pada media-media sosial lain untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif. Media sosial seperti facebook diyakini saat ini mulai mengalami masa penurunan jumlah pengguna karena kemunculan berbagai media sosial lain seperti Instagram, Tumblr dan lain-lain (http://www.republika.co.id/berita/trendtek/aplikasi/15/02/11/njlqvx-mulai-jenuh-facebook-kehilangan-100-juta-pengguna-aktif). Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan media-media sosial yang berbeda secara simultan.

 

 

Referensi:

Ahn, H., Kwolek, E.A., & Bowman,N.D., 2015. Two faces of narcissism on SNS: The distinct effects of vulnerable and grandiose narcissism on SNS privacy control. Computers in Human Behavior 45 (2015) 375–381. http://dx.doi.org/10.1016/j.chb.2014.12.032

Ames, D.R., Rose, P. & Anderson, C.P., 2006.

Betts, L.R., & Bicknell, A.S., 2011. Experiencing Loneliness in Childhood: Concequences for Psychosocial Adjustment, School Adjustment, and Academic Performance dalam Bevin, S.J. (ed), 2011. Psychology of Loneliness: Psychology of Emotions, Motivations and Action. New York: Nova Science Pub.

Bian, M., & Leung, L., 2015. Linking loneliness, shyness, smartphone addiction symptoms, and patterns of smartphone use to social capital. Social Science Computer Review 2015, Vol. 33(1) 61-79. DOI: 10.1177/0894439314528779

Buffardi, L.E. & Campbell, W.K., 2008. Narcissism and Social Networking Web Sites. PSPB, Vol. 34 No. 10, October 2008 1303-1314. DOI: 10.1177/0146167208320061

Cnnindonesia. 2015. http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150327061134-185-42245/berapa-jumlah-pengguna-facebook-dan-twitter-di-indonesia/ diakses pada 13 Juni 2015 pukul 09:42

Ellison, N.B., Steinfield, C. & Lampe, C., 2007. The Benefits of Facebook ‘‘Friends:’’ Social Capital and College Students’ Use of Online Social Network Sites. Journal of Computer-Mediated Communication. doi:10.1111/j.1083-6101.2007.00367.x

Facebook. 2015. http://newsroom.fb.com/company-info/. diakses pada 7 Juli 2015 pukul 04:21

Hils, P.R., Francis, L.J., Jennings. P., 2011. The Shool Short Form Coopersmith Self-Esteem Inventory: Revised and Improved. Canadian Journal of School Psychology 26(1) 62–71 26(1) 62–71

Hughes, M.E., Waite, L.J., Hawkley, L.C. & Cacioppo, J.T., 2004. A Short Scale for Measuring Loneliness in Large Surveys: Results from Two Population-Based Studies. Research on Aging, Vol. 26 No. 6, November 2004 655-672. DOI: 10.1177/0164027504268574

Kim, J.Y., Chung, N., & Ahn, K.M., 2014. Why people use social networking services in Korea: The mediating role of self-disclosure on subjective well-being. Information Development 2014, Vol. 30(3) 276–287. DOI: 10.1177/0266666913489894

Marshall, T.C., Lefringhausen, K. & Ferenczi, N., 2015. The Big Five, self-esteem, and narcissism as predictors of the topics people write about in Facebook status updates. Personality and Individual Differences 85 (2015) 35–40 http://dx.doi.org/10.1016/j.paid.2015.04.039

Orth, U. & Robins, R.W., 2014. The Development of Self-Esteem. Current Directions in Psychological Science 2014, Vol. 23(5) 381–387. DOI: 10.1177/0963721414547414

Perlman, D., 1988. Loneliness: A life-span, family perspective dalam R. M. Milardo (Ed.), Families and social networks. Newbury Park, CA: Sage.

Republika, 2015. http://www.republika.co.id/berita/trendtek/aplikasi/15/02/11/njlqvx-mulai-jenuh-facebook-kehilangan-100-juta-pengguna-aktif. diakses pada 29 Juni 2015 pukul 22.00

Sauter, T., 2014. What’s on your mind? Writing on Facebook as a tool for self-formation. new media & society, Vol. 16(5) 823–839 DOI: 10.1177/1461444813495160

Sharabi, A & Margalit, M., 2011. The Mediating Role of Internet Connection, Virtual Friends, and Mood in Predicting Loneliness Among Students With and Without Learning Disabilities in Different Educational Environments. Journal of Learning Disabilities
44(3) 215–227. DOI: 10.1177/0022219409357080

Sinclair, S.J., Blais, M.A., Gansler, D.A., Sandberg, E., Bistys, K., & LoCicero, A., 2010. Psychometric Properties of the Rosenberg Self-Esteem Scale: Overall and Across Demographic Groups Living Within in the United States. Evaluation & the Health Professions
33(1) 56-80. DOI: 10.1177/0163278709356187

Takahashi, T., 2010. MySpace or Mixi? Japanese engagement with SNS (social networking sites) in the global age. new media & society 12(3) 453–475. DOI: 10.1177/1461444809343462

Teppers, E., Luyckx, K., Klimstra, T.A. & Goossens, L., 2014. Loneliness and Faceboo k motives in adolescence : A longitu dinal inquiry into directionality of effects. Journal of Adolescence 37 (2014) 691–699. http://dx.doi.org/10.1016/j.adolescence.2013.11.003

Toma, C.L., & Hancock, J.T., 2013. Self-Affirmation Underlies Facebook Use. Personality and Social Psychology Bulletin 39(3) 321 –331 DOI: 10.1177/0146167212474694

Van Zalk, M.H., Branje, S.J., Denissen, J., van Aken, M.A., & Meeus, W.H., 2011. Who benefits from chatting, and why? The roles of extraversion and supportiveness in online chatting and emotional adjustment. Personality and Social Psychology Bulletin 37(9) 1202–1215. DOI: 10.1177/0146167211409053

Walters, N.T. & Horton, R., 2015. A diary study of the influence of Facebook use on narcissism among male college students. Computers in Human Behavior 52 (2015) 326–330. http://dx.doi.org/10.1016/j.chb.2015.05.054

Wang, S.S & Stefanone, M.A., 2013. Showing Off? Human Mobility and the Intyerplay of Traits, Self-Disclosure, and Facebook Check-ins. Social Science Computer Review. 31(4) 437-457. DOI: 10.1177/0894439313481424

Yang, C & Brown, B., 2013. Motives for using facebook, patterns of facebook activities, and late adolescents’ social adjustment to college. J Youth Adolescence (2013) 42:403–416. DOI 10.1007/s10964-012-9836-x

Psychology of Cybercrime

Posted by kurniadhani on November 15, 2014
Uncategorized / No Comments

Teknologi merupakan “perpanjangan” indra dan lebih jauh lagi merupakan “perluasan” realitas manusia. Perkembangan teknologi yang kita saksikan, mulai dari jaman Guttenberg hingga internet, merevolusi cara-cara tradisional kita dalam berinteraksi. Sebagaimana lingkungan tradisional, internet sebagai teknologi berinteraksi yang terbaru, membuka jalan ke arah positif dan negatif. Kita tidak akan mempersoalkan sisi positif yang dibawanya, kali ini mari kita beri perhatian lebih pada sisi negatifnya: kriminalitas di dunia maya.

Donner, Marcum, Jennings, Higgins, & Banfield (2014) menjelaskan bahwa kemutakhiran teknologi internet tidak hanya mampu membuat perilaku kriminal yang telah ada di lingkungan tradisional sebelumnya (misalnya transaksi obat terlarang, pencurian, dll) menjadi dapat dilakukan melalui ruang lain, tetapi juga menciptakan serangkaian perilaku-perilaku antisosial yang baru (misalnya menciptakan dan menyebarkan malware) yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan sebelum adanya perkembangan teknologi ini. Dengan demikian, tak heran bila sejak awal perkembangan teknologi internet, berbagai perilaku menyimpang terkait komputer meningkat. Perilaku menyimpang itu beberapa diantaranya seperti hacking, pembajakan, cyberbullying, dan penggunaan akun tanpa izin.

Potensi kriminal yang sangat besar dalam dunia maya menarik minat banyak ahli dari berbagai disiplin keilmuan. Psikologi dan kriminologi merupakan beberapa diantaranya. Donner dkk (2014) menjelaskan bahwa studi-studi kriminalitas dalam dunia maya menggunakan beberapa teori mainstream yang digunakan dalam kriminologi untuk menjelaskan perilaku kriminal dunia maya, seperti teori kontrol diri, teori belajar sosial, dan teori aktivitas rutin. Meskipun masih sangat terbatas dalam menjelaskan kriminalitas di dunia maya yang sangat luas, teori-teori kriminologi tradisional berguna juga untuk menjelaskan cybercrime dan perilaku menyimpang online (online deviance) lainnya.

Donner dkk (2014) menjelaskan bahwa cybercrime secara luas dapat dipahami sebagai perilaku destruktif, pencurian, penggunaan secara illegal, tanpa izin memodifikasi atau mengopi informasi, program, aplikasi, peralatan maupn jaringan komunikasi. Secara sederhana, cybercrime merupakan segala bentuk perilaku online menyimpang yang menggunakan teknologi baik berupa komputer, telefon pintar, maupun perangkat lainnya.

 

Siapa saja dan apa saja yang mendorong perilaku ini?

 

Kategori Pelaku Cybercrime

Kejahatan dapat dilakukan di mana saja, tak terkecuali dunia cyber. Bagi ilmuwan psikologi dan kriminologi, adalah penting untuk memahami pola pikir psikologis seseorang terkait perilaku yang terintegrasi dengan pengalaman teknologi, sehingga dapat mencapai cara mitigasi maupun prevensinya.

Perilaku cybercrime dijelaskan oleh Rogers (2010) melalui kategori yang berupa kontinum taksonomis yang berkisar dari orang baru (novice) dan amatir yang berupa kenakalan biasa hingga tindakan terorisme besar. Kategori tersebut, yaitu:

  • Script Kiddies (SK), adalah individu dengan kemampuan teknis yang terbatas, tanpa benar-benar memahami apa dampak dari perilakunya. Faktor-faktor utama kategori ini adalah ketidakdewasaan (immaturity), peningkatan ego dan pencarian sensasi: efek adrenalin, memiliki rasa moralitas yang belum berkembang (dapat dilihat dari skala moralitas Kohlberg – hedonism instrumental naïf). Ciri yang kentara adalah kerap sesumbar atau pamer tentang eksploitasi yang mereka lakukan, mencari-cari perhatian hingga menyerang ego dari pihak lain.
  • Cyber-punks (CP), yaitu kelompok yang “memperluas” mentalitas punk ke dunia maya. Kelompok ini tidak memiliki rasa hormat dan tidak perduli pada wewenang, simbol-simbol dan norma-norma sosial. Dorongan utama perilaku mereka adalah kebutuhan atas pengakuan atau ketenaran dari rekan-rekan (peers) dan masyarakat. Demografi kategori ini didominasi oleh laki-laki berusia 12 hingga 18 tahun. Mereka telah memahami konsekuensi dari tindakan mereka pada pihak lain, tetapi masih kurang peduli karena konsekuensi atas diri mereka masih sangat ringan (misal, hanya ditampar bila tertangkap). Mirip dengan SK, kelompok ini juga memiliki rasa moralitas yang sangat rendah. Rasa takut bukan merupakan penghalang, karena status pernah ditangkap atau semakin sering tertangkap membuat mereka semakin bangga: identik dengan lencana kehormatan dan dapat mengangkat reputasi mereka sebagai pahlawan komputer bawah tanah (underground folk hero).
  • Hacktivist (H), yaitu istilah yang digunakan untuk individu ataupun kelompok yang melakukan perilaku menyimpang, tetapi dengan kamuflase semantik untuk menyamarkan tindakannya. Para pelaku cenderung membenarkan perilaku destruktifnya dengan label ‘pembangkangan publik’ dan pembenaran politik dan moral atas perilakunya. Data empiris menunjukkan bahwa moticasi politik merupakan dorongan yang tidak terlalu menentukan. Motif yang lebih mendasar adalah balas dendam, kekuasaan, keserakahan, pemasaran, atau perhatian media.
  • Thieves (T) termasuk kategori penjahat pada umumnya. Motivasi utamanya adalah perolehan finansial dan keserakahan. Target serangan kelompok kategori ini biasanya adalah kartu kredit dan rekening bank yaitu penipuan transfer bank dan penyalahgunaan nomer kartu kredit. Sejalan dengan kejahatan pencurian ini adalah pencurian identitas.
  • Virus Writers (VW), dimulai dari masa remja dan berkembang hingga menjadi kategori mantan pembuat (ex-writer) sejalan dengan perkembangan dan kedewasaan kognitif dan kronologisnya. Terdapat sensasi pada tantangan mental dan latihan akademik (belajar) pada proses pembuatan virus. Latihan akademik/intelektual terkait konsekuensi virus buatannya biasanya terjadi setelah virus itu tersebar luas. Sering kali, orang yang menyebarkan virus bukanlah orang yang memciptakannya. Orang yang menyebarkan virus memiliki karakteristik dan motivasi yang mirip dengan kelompok CP, yang menginginkan perhatian, pencarian sensasi, dan tidak takut sanksi.
  • Profressional (P) merupakan kelompok kategori yang paling elit dalam kelompok penjahat cyber, yang memiliki inteligensi kompetitif dan aktivitas yang abu-abu. Individu P ini dapat terlibat dalam penipuan tingkat tinggi hingga spionase korporat. Mereka akan menjual informasi dan property intelektual pada penawar tertinggi. Sangat sedikit informasi terkait kelompok klandestin ini karena mereka menggunakan anonimitas yang sangat ketat untuk menutupi aktivitasnya. Bagi kelompok ini, aktivitas ini merupakan sebuah pekerjaan dan mereka adalah benar-benar profesional.
  • Cyber-terrorist (CT) dapat berupa bagian dari militer atau paramiliter sebuah negara dan diposisikan sebagai tentara maupun sebaliknya sebagai pejuang pembebasan dalam medan perang dunia maya. Tujuan mereka sama seperti militer tradisional, yaitu untuk memenangkan pertempuran atau peperangan. CT menjalankan dua fungsi yaitu menyerang sistem pertahanan dan masyarakat musuh dan melindungi sistemnya sendiri dari serangan serupa dari pihak lawan.

 

Untitled

Taksonomi perilaku-perilaku cybercrime (Rogers, 2010)

 

Mengapa Pelaku Tertarik Melakukan Cybercrime?

Seseorang dapat tertarik untuk melakukan cybercrime secara sederhana dapat dipahami dari motivasi dasar sebagaimana telah saya jelaskan satu per satu di tiap kategori pelaku. Perilaku cybercrime secara lebih lanjut dapat dijelaskan secara teoritik melalui social learning theory, moral disengagement theory dan anonymity sebagaimana dijelaskan Rogers (2010) berikut:

Social Learning Theory

Proses belajar sosial bekerja dalam konteks struktur sosial, interaksi dan situasi. Perilaku kriminal merupakan sebuah fungsi dari variabel proses belajar sosial, khususnya penguatan/reinforcement. Mekanisme utama dalam belajar sosial adalah termasuk oenguatan diferensial dan peniruan (imitation). Definisi-definisi dalam lingkungan sosial seseorang dicapai dari belajar melalui imitasi dan observasional. Reinforcement capat berbentuk tangible dan intangible rewards berupa aktivitas itu sendiri, uang, atau reward sosial termasuk naiknya status dalam pergaulan sosialnya. Sejalan dengan waktu, imitasi tidak lagi penting karena yang menentukan perilaku selanjutnya adalah reinforcement atau konsekuensinya.

Pelaku cybercrime berasosiasi dengan pelaku lain yang memiliki opini yang mirip atas etika dan moralitas terkait perilaku menyimpangnya. Bagi para pelaku cybercrime, hubungan yang dimediasi oleh komputer (computer mediated communication – CMC) sama pentingnya dengan hubungan oleh orang biasa. Sebelumnya banyak penelitian yang mengungkap hal menarik mengenai para pelaku, seperti kurangnya keterampilan sosial yang dimiliki seperti komunikasi dan interaksi tatap muka. Tetapi penelitian selanjutnya kemudian mengungkapkan bahwa sebaliknya, para pelaku memiliki keterampilan sosial berbasis CMC yang lebih tinggi, yaitu “netiquette”, dibandingkan orang-orang yang tidak atau kurang familiar dengan CMC.

Sosialisasi dan relasi sesama (peer) tidak seallau terbatas pada CMC, tetapi juga terdapat kopi darat bersama (gathering). Pertemuan tersebut di Eropa adalah Chaos Computer Champ, Las Vegas dengan DEFCon dan Blackhat Briefings.

Individu dalam lingkungan komputer ‘bawah tanah’ sangat nyaman dalam dunia dengan interaksi non-tatapmuka. Banyak dari mereka yang memelihara pertemanan, terlibat dalam mentoring, yaitu membantu para pendatang baru atau ‘newbie’ untuk memahami teknologi dan perangkat lunaknya, dan beberapa diantaranya bahkan menemukan hubungan romantik. Banyak saluran di dunia maya yang digunakan sebagai ‘kafe’ virtual, yang dikunjungi, saling mempertukarkan kesenangan, berargumen, dan berbagi informasi. Saluran-saluran tersebut juga dapat digunakan untuk mengkoordinasikan serangan, memperdagangkan barang-barang haram, termasuk nomer kartu kredit dan informasi akun yang dicuri dan perilaku menyimpang lainnya.

CMC memungkinkan para penggunanya untuk berinteraksi satu sama lain serta membentuk lingkungan di mana reinforcement dan punishment dapat dilakukan. Karena komunitas CMC sangat signifikan bagi para penggunanya, opini dan reaksi komunitas akan mempengaruhi lanjut tidaknya keterlibatan individu pada perilaku kriminal. Reinforcement positif akan meningkatkan tendensi keterlibatan dan sebaliknya. Reinforcement positif adalah berupa pujian, dorongan, dan pencapaian status folk hero dalam komunitas. Punishment berupa pengasingan, pengacuhan, menutup arus informasi, dan mengunci saluran spesifik. Reinforcement dari dunia riil adalah ketika aksinya mendapat perhatian dari media atau masyarakat dan lain-lain, dan sebaliknya punishment yaitu ketika tidak mendapat perhatian atau apresiasi dari komunitasnya terkait aksinya.

 

Moral Disengagement – moral justification

Para pelaku cybercrime secara umum digambarkan sebagai modern Robin Hood, yang membawa fungsi bernilai dalam masyarakat. Banyak artikel, editorial dan wawancara dan halaman web yang mengklaim bahwa tanpa adanya para hacker, tidak aka nada keamanan ‘riil’ dalam dunia maya. Hacker yang diwawancarai berpendapat bahwa mereka bertindak sebagai ‘anjing penjaga’nya masyarakat, mempertahankan ‘mata waspada’ pada vendor tak bermoral dan pemerintahan tirani. Sayangnya, banyak masyarakat yang menerima retorik nilai permukaan cybercrime.

Bagi banyak generasi muda, cybercriminal telah menjadi role model yang aktivitasnya adalah untuk dicapai dan disaingi. Dengan demikian dapat kita pahami bagaimana ‘copycat’ atau para peniru semakin banyak sehingga trend dan frekuansi serangan cyber meningkat setiap tahunnya.

Media massa telah bertindak salah dengan menyamakan “hacker” ramah dengan pelaku cybercrime yang kejam. Definisi original hacker tidak memiliki hubungan secara langsung dengan tindakan kriminal dan istilah hacker tidak berbagi konotasi negatif dengan cybercrime. Konotasi yang dibuat oleh media massa ini membuat para pelaku cybercrime dapat bersembunyi di balik istilah hacker yang lebih netral.

Perilaku cybercrime merasa perlu untuk membenarkan tindakan menyimpang mereka. Hal ini dapat dipahami karena manusia biasanya tidak terlibat pada suatu tindakan tercela kecuali bila berhasil meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa tindakannya benar. Proses justifikasi moral membuat perilaku yang merusak menjadi terbebas secara personal dan secara sosial dapat diterima dengan cara menggambarkan tindakannya sebagai suatu pekerjaan sosial yang bernilai, atau memenuhi tujuan moral yang lebih tinggi.

Proses kompleks tersebut dapat dipahami melalui teori kognitif sosial Albert Bandura dan konsep pembebasan moral (moral disengagement). Berdasarkan teori kognitif sosial, manusia cenderung untuk menahan diri secara alamiah dari perilaku yang menyalahi standar moralnya dan memiliki perasaan bersalah dan kecaman pada diri sendiri (self-censure). Standar moral diperoleh dari agensi moral dan termanifestasi dalam mekanisme regulasi diri, yang terdiri dari tiga hal, yaitu pengawasan diri (self-monitoring), penilaian (judgmental), dan reaksi diri (self-reactive).

Menurut teori Bandura tersebut, seseorang dapat mengalahkan sistem regulasi diri dengan cara memisahkan kontrol moral internal dari perilaku merusak yang dilakukannya melalui empat mekanisme, yaitu:

  1. mengonstruksi ulang perilakunya (melalui bahasa dan label, dll);
  2. menyamarkan agen kausal personal atau mendistorsi antara perilaku dengan konsekuensinya. Cassidy, Faucher dan Jackson (2013) menjelaskan bahwa dunia cyber membuat penggunanya terlepas dari kontak emosional dan mengakibatkan deindividuasi. Hal ini kemudian mengakibatkan putusnya atau tumpulnya respons empatetik yang ditimbulkan dari rasa sakit yang diperbuat.;
  3. misrepresenting atau mengelirukan konsekuansi negatif dari perilakunya;
  4. menjelek-jelekkan atau menyalahkan atau menurunkan derajat korban.

 

Anonymity dan Social Control Theory

Perilaku cybercrime dapat dijelaskan melalui teori kontrol sosial terkait anonimitas. Teori ini menyatakan bahwa seseorang menahan diri dari perilaku kriminal atau menyimpang karena adanya kontrol sosial, termasuk norma kepatutan, hukum, polisi, dll. Ketika kontrol hilang, maka perilaku menyimpang akan naik. Di dunia riil, perilaku individual dimoderasi oleh identitas sosial yang merupakan bagian dari norma sosial dan moral kultural, sehingga perilaku lebih konservatif dan sejalan dengan toleransi sosial yang ada.

Penelitian pada perilaku online menemukan bahwa orang-orang berperilaku secara berbeda dalam cyberspace daripada di dunia riil. Individu cenderung untuk lebih agresif, kurang toleran, lebih sembarangan, dan opininya cenderung lebih terpolarisasi ke titik ekstrim dalam kontinum. Peneliti menghipotesiskan bahwa anonimitas cenderung memunculkan kepribadian yang terburuk pada diri individual ketika ia online, karena mereka yakin bahwa mereka anonymous dan dapat berpura-pura menjadi persona-persona samaran. Secara sederhana dapat kita pahami bahwa perilaku online merefleksikan diri individu yang sebenarnya dalam kondisi tanpa kontrol diri dan tanpa norma atau tekanan sosial.

 

 

Strategi untuk Menahan Perilaku Cybercrime: Prevensi dan Intervensi

Berikut adalah strategi untuk menahan perilaku destruktif di cyberspace (Rogers, 2010):

Cybercrime Laws

Secara psikologis, banyak pihak yang mengkritisi bahwa sistem legal merupakan tindakan reaktif dan kurang preventif, tetapi bila ditilik lagi sistem legal merupakan penghalang vikarius (vicarious deterrence) dengan penilaian hukuman yang tepat. Penghalang vikarius ini dipandang sebagai sebuah proses utama dalam mencegah seseorang untuk terlibat pada suatu perilaku kriminal karena mempertimbangkan sanksi yang akan diperoleh.

Beberapa kelemahan dari pendekatan legal adalah:

  • para perumus kebijakan itu sendiri. Kebanyakan politisi, hakim dan pengacara senior (fungsi yudikatif) adalah generasi pra-komputer. Miskinnya pengetahuan atas prinsip kerja dan keterampilan teknologi komputer mengakibatkan tumpulnya kebijakan yang dihasilkan, terlebih lagi perkembangan teknologi sangat cepat sepanjang waktu.
  • kita sebenarnya belum memiliki hukum yang kuat, jelas dan efektif untuk perilaku cybercrime. Bagi kategori pelaku SK dan CP (yang dominan di bawah usia 18 tahun) hukum tidak menjangkau mereka secara efektif, selain itu, orang tua maupun pengasuh pun tidak dapat dihukum atas perilaku yang dilakukan oleh anaknya.
  • Hukum dapat bekerja bila ada laporan pelanggaran dari korban. Banyak dari korban cybercrime enggan melaporkan kerusakan atau kerugian yang dialami. Kekhawatiran akan penilaian dari publik adalah alasan terbesar. Bagi perusahaan atau institusi ekonomi misalnya, bobolnya informasi korporat dapat berdampak pada penurunan tingkat kepercayaan publik dan berujung pada kredibilitas dan nilai saham.

 

Social Sanctions

Kata kunci dari pendekatan sanksi sosial adalah konsistensi. Masyarakat harus konsisten untuk memposisikan perilaku cybercrime sebagai perilaku yang tidak dapat diterima dan ditoleransi dalam masyarakat. Sebagaimana kriminal di dunia riil, seperti itulah masyarakat harus memposisikan pelaku cybercrime. Penolakan dan pengasingan (refusing and ostracizing) secara sosial dapat dilakukan. Strategi berdasarkan pendekatan ini dapat dilakukan melalui:

  1. berhenti memberikan perhatian bagi perilaku cybercrime, mengingat salah satu dorongan dasar pelaku adalah perhatian dan pengakuan (khususnya melalui media massa).
  2. Penerbit buku, berhenti menerbitkan buku panduan maupun tulisan tentang keberhasilan cybercrime yang ditulis oleh para pelaku. Banyak kita temukan kini buku panduan membuat virus atau cara membobol keamanan, menunjukkan inkonsistensi sanksi sosial.
  3. Melalui gerakan komunitas komputer (online community). Berikan penolakan dan opini tentang kerusakan/kerugian yang diakibatkan oleh perilaku cybercrime: sanksi sosial dalam lingkungan sosial cyber itu sendiri.
  4. Dengan pendekatan tradisional, di mana pelaku diminta (dipaksa) untuk menyaksikan dan memahami kerusakan yang diakibatkan oleh perilakunya. Penelitian tentang para pelaku kejahatan yang diminta untuk menyaksikan secara langsung kerusakan yang diakibatkan oleh perbuatannya, menunjukkan penurunan tingkat residivisme. Pendekatan ini dapat diterapkan dengan cara pelaku diminta untuk bertemu administrator sistem, turut merasakan bagaimana banyak usaha, waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk mengembalikan sistem seperti semula dan merasakan kerusakan dan kerugian dari terbukanya informasi yang dilindungi sistem tersebut.

 

Education

Kata sakti dari prevensi dari seluruh perilaku menyimpang: pendidikan. Efektivitas maksimal dari prevensi ini adalah pendidikan harus dilakukan selama masa kritis proses perkembangan individual, khususnya perkembangan moral masa remaja dan dewasa awal. Dalam tahun-tahun pembentukan tersebut, individu terbuka pada ide-ide, konse-konsep, dan pendekatan-pendekatan konstruktif yang menjadi “bibit” opini atas moralitas, etika dan benar-salah kelak.

Pendidikan yang diberikan harus terkait pada konsep-konsep sebagai berikut:

  1. Pemahaman tentang hubungan antara tindakan online dan cyberspace pada manifestasinya dalam dunia riil
  2. Mengembangkan bahwa moralitas dan etika cyber merupakan cerminan dan bagian dari moralitas dan etika dunia riil
  3. Internalisasi norma-norma sosial, kultural dan parental yang positif terkait penggunaan teknologi dan cyberspace.

 

Kesimpulan

Hingga kini, strategi yang diambil oleh masyarakat kita adalah berfokus pada pendekatan teknis berupa perlindungan perangkat lunak yang selalu diperbaharui (firewall), sistem deteksi pengacau atau penyusup, anti virus dan keamanan sandi yang kian ketat (password), hingga penciptaan hukum (cyberlaw) yang keras. Masyarakat kita telah lupa bahwa sumber semua masalah bukanlah teknologi, melainkan kita manusia, sebagai pencipta dan penggunanya.

 

 

 

Referensi

Donner. C.M., Marcum. C.D., Jennings. W. G., Higgins. G.E., & Banfield. J., 2014. Low self-control and cybercrime: Exploring the utility of the general theory of crime beyond digital piracy. Computers in Human Behavior 34 (2014) 165–172. ttp://dx.doi.org/10.1016/j.chb.2014.01.040

Cassidy. W., Faucher. C., Jackson., M. 2013. Cyberbullying among youth: A comprehensive review of current international research and its implications and application to policy and practice. School Psychology International. 34(6) 575–612.

Rogers. M.K. 2010. The Psyche of Cybercriminals: A Psycho-Social Perspective dalam Ghosh. S. & Turrini. E. (Ed). Cybercrimes: A Multidisciplinary Analysis. New York: Springer.

 

Political Cyberbullying: Lingkaran Laten

Posted by kurniadhani on November 04, 2014
Curhatan / 3 Comments

Pembahasan kali ini terkait dengan diskusi di kelas psikologi teknologi Bu Neila Ramdhani. Diskusi kelas dimulai dari isu cyberbullying:

“Cyber bullying akhir-akhir ini semakin meningkat kejadiannya. Kadang seseorang membully orang lain tanpa tahu hal yang sesungguhnya terjadi pada target bully nya. Contoh kasus ibu menteri Susi yang semakin banyak di cyber-bully merupakan salah satu yang harus anda bahas. Mengapa demikian? Contoh lain, masih seputar kasus pilpres yang hingga saat ini berbuntut panjang, apa yang terjadi dengan media/media sosial sehingga hal ini bisa merebak demikian dahsyat?”

 

Political Cyberbullying

Cerita demokrasi Indonesia adalah narasi saling cela yang unik sepanjang sejarah. Antar kelompok kepentingan dan partai politik saling menjatuhkan dengan berbagai cara: gossip ringan hingga fitnah. Mulai dari cerita Sukarno dan istri-istrinya sampai yang terkini, seteru Pak Joko dan Pak Bowo. Masih terkait isu duet maut tersebut, publik kini sibuk dengan sensasi Susi. Bukan Susi Similikiti istri komedian kondang Tukul Arwana, tetapi menteri kontroversial, Ibu Susi Pudjiastuti.

Cyberbullying terjadi juga pada figur pejabat ataupun pejabat politik. Pemrotes, baik individu maupun kelompok, membanjiri halaman-halaman kolom opini surat kabar hingga sosial media. Tindakan ini adalah usaha untuk mempermalukan figur publik secara politis. Bila dikaji lebih lanjut, cara-cara cyberbullying politis ternyata masih identik dengan taktik cyberbullying sejenis pelecehan pribadi (personal harassment) yang dilakukan secara luas oleh para remaja (Scherer, 2012).

Sepertinya akan lebih menarik bila fenomena cyberbullying ini kita bahas melalui kacamata psikologi media dan sosial.

 

Cyberbullying

Cyberbullying adalah semua perilaku yang dilakukan melalui media elektronik atau digital oleh individu maupun kelompok yang secara berulang menyampaikan pesan yang bermusuhan (hostile) atau agresif, yang bertujuan untuk menimbulkan kerusakan atau ketidaknyamanan orang lain (Berne, Frisen, Schultze-Krumbolz, Scheithauer, Naruskov, Luik, Katzer, Erentaite, Zukauskiene, 2013; Wong-Lo dan Bullock, 2014).

Vandenbosch dan Van Cleemput (2009) menjelaskan bahwa cyberbullying dapat berbeda-beda tergantung pada media atau aplikasi spesifik yang digunakan (internet pc, telefon seluler, pesan instan, email, dan aplikasi lainnya). Secara umum, cyberbullying dapat dibedakan menjadi cyberbullying secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung: dalam hal fisik pembully dapat mengirimkan virus; serangan berupa hinaan atau ancaman verbal; serangan non-verbal misalnya berupa gambar atau ilustrasi cabul dan lainnya; secara sosial dapat berupa mengeluarkan seseorang dari grup online, dan lain-lain. Secara tidak langsung: membocorkan informasi rahasia; berpura-pura menjadi orang lain – pretending; menyebarkan gossip; ambil bagian dari pengambilan suara atau website polling yang bersifat memfitnah.

 

Psikologi Cyberbullying: antara Deindividuasi, Anonimitas dan Massa Tak Terbatas

Apa yang terjadi dengan media/media sosial sehingga cyberbullying bisa merebak demikian dahsyat?

Cassidy, Faucher dan Jackson (2013) menjelaskan bahwa dunia cyber membuat penggunanya terlepas dari kontak emosional dan mengakibatkan deindividuasi. Hal ini kemudian mengakibatkan putusnya atau tumpulnya respons empatetik yang ditimbulkan dari rasa sakit yang diperbuat. Selain itu anonimitas juga menjadi faktor yang sangat berpengaruh pada terjadinya cyberbullying.

Cassidy dkk (2013) lebih lanjut mengatakan bahwa cyberbullying menjadi sangat berbahaya karena cyberbullying memiliki potensi untuk diulangi tanpa ada keterkaitan dari cyberbully awal. Maksudnya adalah, cyberbully seperti sifat teknologi komunikasi dan informasi lainnya, dapat direplikasi, di-forward atau dikirim ulang ke banyak pengguna lainnya baik secara parsial maupun langsung pada publik secara luas. Dengan demikian, korban cyberbully dapat menjadi korban berulang kali dan oleh massa yang berjumlah tak terbatas. Kita masih ingat kasus Florence Sihombing yang umpatannya di-share atau di-forward oleh temannya, dari teman ke temannya lagi, begitu seterusnya hingga menjangkau publik luas.

Potensi saling share dan forward dalam dunia cyber membuat power dari korban bullying menjadi mentah. Lebih lanjut lagi dalam kasus ekstrim, pengguna dengan tingkat keahlian teknologi informasi yang tinggi (high skill) dapat menggunakan keahliannya untuk tujuan tertentu yang lebih merusak, misalnya dengan cara cracking, hacking, hijacking dan lain lain. Dalam komunikasi dua arah, atau dalam grup milis tertutup, seorang korban cyberbullying dapat saja menghentikan interaksi kapanpun ia mau ketika ia merasa tidak nyaman, tetapi tidak demikian adanya dalam interaksi media sosial. Setiap pengguna dalam media sosial dapat mengirimkan ulang (share atau forward) ke pengguna lainnya, dan pengulangan tersebut dapat berlanjut dan dilihat oleh publik dengan jumlah tidak terbatas yang tidak ada kaitannya lagi dengan pelaku cyberbullying asli atau awal.

 

Laskar Cyber: Perang Bully di Dunia Maya

Dua surat kabar besar nasional, Kompas dan Republika, mengungkap bahwa terdapat laskar maya atau pasukan cyber yang bertarung untuk kepentingan politik. Terlepas dari keberpihakan media massa tersebut, kedua sama-sama menyampaikan bahwa masing-masing kubu politik, baik kubu Koalisi Indonesia Hebat maupun Koalisi Merah Putih memiliki kepanjangan tangan untuk mengelola isu di media sosial. Lebih jauh, terdapat usaha disengaja dalam black campaign atau kampanye hitam yang destruktif (lihat republika.co.id dan kompas.com).

Pasukan cyber berbentuk tim-tim khusus bertugas untuk membentuk opini masyarakat di dunia maya. Tim khusus ini menyampaikan visi-misi calon yang didukungnya, menyampaikan keberhasilan-keberhasilan dan sisi positif kandidatnya, menyindir kandidat lain, menyebarkan isu, gosip, hingga kampanye hitam. Kampanye-kampanye negatif sama-sama dilakukan oleh kedua belah kandidat yang bertarung (Republika.co.id).

 

Renungan

Tidak jauh berbeda dengan perilaku anak-anak, seperti itu lah tingkah laku elit bangsa ini: saling membully. Perilaku kekanak-kanakan ini lah yang harus kita waspadai, karena seperti disampaikan Scherer (2012) di akhir tulisannya, kita adalah model bagi anak-anak kita. Dengan jangkauan tak terbatas dari internet, potensi replikasi dan jangkauan pada pengguna yang tak terbatas, bukannya tidak mungkin perilaku saling membully ini tersosialisasikan dan ditiru oleh generasi muda Indonesia.

Memang belum ada penelitian psikologis maupun sosial terkait efek political cyberbullying ini, tetapi secara singkat dapat kita pahami bahwa taktik cyberbullying kampanye hitam dapat membuat anak-anak yang tidak berdosa terkena imbasnya: menjadi copycat dan lingkaran setan akan terus beregenerasi.

 

***

 

 

 

Referensi:

Berne.S., Frisen. A., Schultze-Krumbolz. A., Scheithauer. H., Naruskov. K., Luik. P., Katzer. C., Erentaite. R., Zukauskiene. R. 2013. Cyberbullying assessment instruments: A systematic review. Aggression and Violent Behavior 18 (2013) 320–334 advance publikasi online http://dx.doi.org/10.1016/j.avb.2012.11.022

Cassidy. W., Faucher. C., Jackson., M. 2013. Cyberbullying among youth: A comprehensive review of current international research and its implications and application to policy and practice. School Psychology International. 34(6) 575–612 DOI: 10.1177/0143034313479697

Kompas.com, 2014, 5 Juni. Prabowo-Hatta Kerahkan Pasukan Siber dari Gerindra dan PKS. Diunduh dari http://nasional.kompas.com/read/2014/06/05/1509220/Prabowo.Hatta.Kerahkan.Pasukan.Siber.dari.Gerindra.dan.PKS

Republika.co.id, 2014, 24 April. Jokowi dan Pasukan Nasi Bungkus. Diunduh dari http://www.republika.co.id/berita/pemilu/menuju-ri-1/14/04/24/n4hqk3-jokowi-dan-pasukan-nasi-bungkus

Republika.co.id, 2014, 27 April. Semua Capres Siapkan Pasukan Udara. Diunduh dari http://www.republika.co.id/berita/pemilu/menuju-ri-1/14/04/27/n4o4ls-semua-capres-siapkan-pasukan-udara

Scherer. M, 2012, 28 Maret. Political Cyberbullying . time.com. diunduh dari http://swampland.time.com/2012/03/28/the-problem-with-political-cyberbullying/

Vandenbosch. H., Van Cleemput. K., 2009. Cyberbullying among youngsters: profiles of bullies and victims. New Media Society 2009 11: 1349 DOI: 10.1177/1461444809341263

Wong-Lo. M. & Bullock. L.M. 2014. Digital metamorphosis: Examination of the bystander culture in cyberbullying. Aggression and Violent Behavior 19 (2014) 418–422 advance publikasi online http://dx.doi.org/10.1016/j.avb.2014.06.007

Merokok = Keren

Posted by kurniadhani on October 29, 2014
Psikologi Teknologi (Media) / No Comments

Merokok biar kelihatan keren… ya kelihatan… kelihatan kalau korban film…

 

yuk kita bahas jurnal Heatherton dan Sargent (2009) berikut…

 

Apakah Menonton Adegan Merokok dalam Film Mempromosi Remaja untuk Merokok?

 

Latar Belakang

Penelitian ini mengobservasi efek paparan adegan merokok dalam film pada inisiasi remaja untuk merokok. Karena, hampir semua orang tau bahwa merokok adalah penyebab utama kematian di dunia. Setidaknya di Amerika Serikat 2.000 remaja mencoba rokok pertama setiap harinya dan banyak diantaranya yang menjadi perokok regular dan yang kemungkinan besar berkontribusi pada kematian dini. Sehingga, mengapa para remaja mencoba merokok? Adalah hal yang jelas bila pengaruh sosial, seperti teman sebaya atau orangtua yang merokok, memainkan peranan penting dalam inisiasi merokok. Bagaimanapun, banyak anak yang mencoba merokok tampak memiliki beberapa faktor risiko. Sebagai pertanyaan terbuka, apakah seperti faktor lingkungan yang lainnya mendukung remaja untuk merokok.

Film membentuk pandangan tentang apa itu “keren”, apa yang menarik (attractive) dan apa yang berbau “orang dewasa”, yang para remaja ingin lakukan atau menjadi. Sebenarnya, casual observance at any local mall demonstrates bahwa media visual mempengaruhi bagaimana remaja usia belasan berbicara, bagaimana mereka berpakaian dan bagaimana mereka berperilaku. Hal tersebut tampak masuk akal bahwa paparan media dapat mempengaruhi perilaku lainnya. Pendapat penelitian ini (Todd F. Heatherton dan James D. Sargent , 2009) adalah semakin anak mengobservasi adegan merokok dalam film – khususnya ketika merokok ditampilkan oleh actor yang sangat popular yang merupakan role model remaja – semakin tinggi pula kecenderungan mereka untuk merokok.

 

Paparan Adegan Merokok dalam Film

Sekitar 70% film yang diproduksi di AS saat ini mengandung adegan merokok. Sejumlah analisis isi telah menunjukkan bahwa persentase orang dewasa perokok dalam film adalah paling tidak 20 – 25% dari seluruh karakternya, bahwa merokok jarang sekali diasosiasikan pada kesehatan yang buruk dan bahwa para perokok dalam film adalah lebih makmur daripada para perokok AS pada khususnya. Rata-rata, adegan merokok dalam film adalah 1 hingga 2 menit per filmnya. Secara luas anak-anak sangat rentan pada paparan adegan merokok ini. Dapat dikatakan bahwa mayoritas kegiatan merokok yang dilakukan dalam film ditujukan pada para remaja yang lebih tua (i.e.,PG-13 and R films), anak usia kurang dari 14 tahun mungkin mengalami paparan yang lebih rendah pada adegan merokok dalam film. Namun, bukti yang ada menunjukkan bahwa anak pada usia ini menjadi penonton adegan tersebut secara sering meski adegan ini bukan ditujukan untuk audiens muda – televisi satelit, chanel tv kabel, video dan dvd, sangat meningkatkan peluang anak-anak untuk mengakses gambaran dunia dalam layar film.

Hanya baru-baru ini saja bagaimana anak-anak menonton film terdokumentasikan secara luas. Salah satu studi menunjukkan ketersebarluasan penonton film rating-R pada anak-anak usia 10 hingga 14 tahun, dengan beberapa khususnya film kekerasan (seperti film scream) dilaporkan telah ditonton oleh paling tidak separuh dari anak kelas 5 pada sample yang luas (Sargent,Heatherton, et al., 2002). Hampir serupa, studi dengan representasi nasional (using random-digit dialing) pada 6.522 remaja, ditemukan bahwa diperkirakan satu juta orang Amerika berumur 10 tahun dilaporkan telah menonton Scary Movie, yang mana dalam film tersebut kepala seorang cheerleader dipenggal dan kemudian ditemukan dalam loker sekolah (Worth, Chambers, Nassau, Rakhra, & Sargent, 2008). Yang berarti, anak-anak tersebut menonton banyak lagi film-film yang lain (dan banyak sekali kekerasan) – tetapi berapa banyak kah adegan merokok yang mereka tonton dalam film? Studi ini mampu menjawabnya dengan menghubungkan respons remaja pada film yang mereka tonton pada sebuah analisis isi yang mengukur adegan merokok dalam 1000 film (menggunakan pengukuran tervalidasi dengan cermat). Teknik survey membuat peneliti mampu mengestimasi persentase anak-anak yang telah menonton film-film tersebut pada sample nasional yang representative. Pengaplikasian teknik dari bidang pemasaran dan periklanan, kami memperkirakan bahwa 500 film menyampaikan pesan impresi merokok sekitar 144 juta kali pada anak-anak AS usia 10 hingga 14 tahun (Sargent, Tanski, & Gibson, 2007). Singkatnya, anak-anak terpapar dengan tinggi adegan merokok dari film yang mereka tonton.

Tentu saja, konteks gambaran adegan merokok kemungkinan besar berpengaruh secara luas yang mendorong anak-anak untuk merokok. Menyadari salah satu faktor penting: bintang perokok. Pada studi yang sebelumnya dijabarkan, masing-masing dari 30 aktor menyampaikan lebih dari 50 juta impresi adegan merokok. Sebagai contoh, 21 episode Mel Gibson menyampaikan lebih dari 90 juta impresi adegan merokok karena popularitas filmnya. Dalam studi terkini, status merokok pada bintang favorit remaja berrelasi pada sikap remaja dalam merokok (pada remaja yang tidak merokok) dan status merokok remaja (Distefan, Pierce, & Gilpin, 2004; Tickle, Sargent, Dalton, Beach, & Heatherton, 2001).

 

Menonton Film dan Remaja yang Merokok

Beberapa studi meneliti relasi antara adegan merokok yang ditonton remaja dalam film (berdasarkan perkiraan paparan konten merokok dalam film) dan remaja yang merokok. Sebuah penelitian awal pada tahun 2001 menemukan bahwa ada relasi yang kuat antara paparan adegan merokok dalam film dengan inisiasi merokok pada sample yang besar dari remaja Bagian Utara New England (kelas 5 – 8) dan asosiasi statistic ini tetap setelah mengontrol sejumlah faktor risiko tradisional atas merokok (Sargent et al., 2001). Pada remaja yang tidak pernah mencoba rokok, paparan adegan merokok dalam film diasosiasikan pada sikap positif pada penggunaan tembakau dan persepsi pada orang dewasa yang merokok. Studi lanjutan pada remaja yang tidak merokok ditemukan bahwa paparan adegan merokok dalam film sebagai dasar memprediksi inisiasi merokok 1 hingg 2 tahun kemudian (Dalton et al., 2003). Studi follow up menunjukkan bahwa paparan mendahului perilaku – sebuah syarat penting dalam pembentukan argument sebab-akibat. Tentu saja, kira-kira 20% anak dengan paparan tinggi yang mencoba merokok dibandingkan 3% anak dengan paparan rendah yang merokok; relasi ini tetap setelah mengontrol saudara atau teman yang merokok, kecenderungan pengambilan keputusan pada remaja dan kehangatan maternal dan setting terbatas (seperti variable demografi lainnya). Yang menarik, efeknya lebih besar pada anak non-perokok daripada anak yang merokok, menghasilkan pemahaman bahwa efek paparan media berpotensi pada absennya faktor tradisional lainnya.

Untuk menggeneralisasi antara rasa tau kelompok etnik yang berbeda dari region geografis lainnya, survey random-digit-dial telephone longitudinal dilakukan pada 6.522 remaja AS berusia 10 hingga 14 tahun (Sargent et al., 2005). Sample ini merupakan sample representative secara nasional dari poplasi remaja AS. Sekali lagi, remaja dengan tingkat paparan tinggi atas adegan merokok dalam film lebih cenderung untuk mencoba merokok, bahkan setelah secara statistic mengontrol sosiodemografi , teman sebaya yang merokok, kepribadian, gaya asuh dan faktor sosial lainnya. Hasil dari studi ini, dibawah tinjauan, secara luas merefleksikan hasil yang didapat dari sampel New Englan Utara. Pada sample representative AS, telah dikonfirmasi bahwa paparan adeganmerokok dalam film berasosiasi dengan perokok aktif (telah merokok lebih dari 100 batang rokok) diantara remaja selama waktu 2 tahun (Sargent, Stoolmiller, et al., 2007).

Kelompok peneliti lainnya melakukan studi pada remaja North Carolina dan menemukan hubungan longitudinal antara menonton film PG-13 dan rating-R dengan inisiasi merokok (Jackson, Brown, & L’Engle, 2007). Studi yang lain menemukan bahwa remaja Jerman memiliki level paparan yang hampir sama atas adegan merokok dalam film seperti pada remaja AS (sekitar 80% film yang mereka tonton diproduksi dan didistribusikan oleh studio film AS). Remaja Jerman memiliki tingkat merokok yang lebih tinggi, karena Negara tersebut memiliki pembatasan yang lebih sedikit dalam pemasaran tembakau dan merokok di ruang public. Meski demikian, perbedaan cultural dalam pendekatan control tembakau. Remaja Jerman menunjukkan respons yang sama pada adegan rokok dalam film seperti halnya rekan mereka di AS (Hanewinkel & Sargent, 2008). Dengan demikian, ada konsistensi dan reliable fakta yang menunjukkan hubungan kuat antara paparan adegan merokok dalam film dengan perilaku merokok remaja dalam studi longitudan dan antar cultural.

 

 

Efek Moderasi

Untuk menentukan kelompok remaja tertentu yang lebih atau kurang terpapar adegan merokok dalam film dalam studi tersebut, peneliti mencari efek moderasi. Dalam studi longitudinal di New England, remaja dengan tingkat paparan rendah atas orangtua yang merokok secara signifikan lebih responsive pada efek film (Dalton et al., 2003). Pola yang sama juga diobservasi dalam studi longitudinal pada remaja Jerman, menyediakan validasi cross-cultural dari efek moderasi tersebut (Hanewinkel & Sargent, 2008). Efek tersebut menyarankan bahwa remaja yang terekspos gambaran dunia nyata memiliki responsifitas yang lebih sedikit pada gambaran glamor yang ditampilkan oleh film. Dengan cara yang sama, remaja dengan pencarian sensasi rendah kira-kira 12 kali lebih responsive pada gambaran merokok dalam film, moderasi negative lainnya yang merendahkan argument bahwa anak-anak yang banyak menonton adegan merokok berada pada risiko tinggi untuk merokok dikarenakan oleh faktor risiko lainnya yang tidak diukur (Sargent,Stoolmiller, et al., 2007; see Fig. 2). Malahan, hal tersebut tampak bahwa emaja yang berisiko rendah adalah yang paling responsive pada adegan merokok dalam film.

Peneliti lainnya menemukan moderasi yang terlihat melalui ras, dengan remaja Afro Amerika memiliki sedikit atau tidak ada respons sama sekali pada adegan merokok dalam film meskipun pada kenyataannya mereka lebih tinggi 20% hingga 30% untuk terpapar dibanding remaja Kaukasia (Jackson et al., 2007). Fakta bahwa remaja Afro-Amerika tidak responsive dapat dijelaskan, sebagiannya, mengapa mereka memiliki tingkat yang rendah untuk merokok selama masa remaja dibandingkan remaja Kaukasia.

 

Variabel Mediasi

Penelitian terkini mulai mengeksplorasi variable mediasi yang dapat memberikan pemahaman dalam hal bagaimana film mempengaruhi perilaku. Mediator yang dipostulasikan termasuk sikap dan kognisi, seperti halnya faktor lain seperti kegiatan merokok oleh teman-teman sebaya. Sebuah model structural longitudinal yang termasuk sebagai identifikasi variable endogenus sebagai seorang perokok, keyakinan normative tentang merokok dan ekspektansi yang positif terhadap merokok dikembangkan (Tickle, Hull, Sargent, Dalton, & Heatherton, 2006); alur paparan adegan merokok dalam film pada perilaku merokok remaja ditemukan melalui identifikasi sebagai perokok dan melalui ekspentansi positif dan peneliti telah mereplikasi temuan ini dalam penelitian longitudinal ini (Wills, Sargent, Stoolmiller, & Gibbons, 2007; Wills, Sargent, Stoolmiller, Gibbons, & Gerrard, 2008). Hal tersebut secara teoritis masuk akal bahwa melanjutkan paparan adegan merokok dalam film oleh bintang film dapat menambah ekspektansi positif sepanjang waktu, dan hal ini cocok dengan temuan pada asosiasi yang kuat antara melihat adegan merokok dalam film dan sikap yang lebih disukai melalui merokok diantara mereka yang belum pernah merokok (Sargent, Dalton, et al., 2002).

Mediasi menarik lainnya adalah terkait perilaku merokok oleh teman sebaya. Para remaja menonton film bersama teman-teman mereka, karena itu mereka terpapar film secara berkelompok, tidak hanya sendiri. Melihat actor merokok dapat mempengaruhi norma kelompok mengenai merokok. Seorang remaja dalam kelompok yang dengan pertahanan diri yang rendah dapat terdorong untuk mencoba merokok dan menjadi pengaruh yang dekat untuk anggota kelompok lainnya. Dalam scenario ini, kita dapat melihat alur mediasional melalui peningkatan persepsi remaja pada jumlah teman sebaya mereka yang merokok dan hal inilah yang tepatnya apa yang ditemukan (Willset al., 2007, 2008). Namun demikian, dalam poin ini tidak jelas apakah alur mediasional ini berkaitan dengan semakin banyak teman sebaya yang merokok dalam kelompok teman sebaya yang stabil atau pada pergantian afiliasi teman sebaya yang dipengaruhi oleh paparan adegan merokok dalam film.

 

Metode

Studi Eksperimental

Beberapa studi telah menguji efek film atau klip film dengan merokok pada sikap dan kognisi remaja dan dewasa awal. Hasilnya mengindikasikan bahwa paparan singkat atas adegan merokok dalam film dapat mempengaruhi kayakinan dan kognisi mengenai merokok diantara actor, perilaku merokok pada orang lain, dan intensi personal pro-merokok.

Pechman dan Shih (1999) menunjukkan scene remaja pada film Reality Beats; grup control menonton film tersebut tetapi dengan scene merokok yang telah dipotong. Remaja yang menonton scene merokok secara umum memberikan atribut status sosial lebih tinggi pada remaja yang merokok dan juga dilaporkan bahwa ada peningkatan intensi personal untuk merokok. Menariknya, efek yang ditunjukkan keseluruhan film pada intensi personal ditumpulkan dengan menunjukkan tayangan iklan anti merokok sebelum menonton film tersebut. Temuan-temuan itu perlu untuk direplikasi, tetapi mereka memberikan basis untuk mendesak para pembuat film untuk memasukkan iklan anti-rokok di DVD yang terdapat konten merokok. Dal Cin and colleagues (Dal Cin, Gibson, Zanna, Shumate, & Fong, 2007) barubaru ini mempublikasikan sebuah manuskrip yang penting secara teoritik berbasarkan teori transportasi, ide bahwa para penonton dipengaruhi oleh cerita adalah karena identifikasi mereka pada jalan cerita dan karakter. Mereka melihat pada asosiasi implicit antara diri dengan merokok sebagai sebuah fungsi identifikasi pada peran utama yang merokok dan menemukan bahwa identifikasi yang lebih kuat memprediksi sosiasi yang lebih kuat antara diri dengan merokok (baik pada perokok maupun yang tidak) dan menambah intensi untuk merokok(pada perokok). Sebagai tambahan, asosiasi implicit yang lebih kuat antara diri dan merokok secara unik memprediksi peningkatan intensi merokok pada para perokok. Secara bersamaan, penelitian eksperimental yang dipublikasikan hingga kini menambah dukungan pada studi epidemiologi.

 

Kesimpulan

Temuan-temuan yang terangkum di atas memiliki implikasi penting bagi kesehatan public. Pertama, bila film memang merupakan elemen penyebab pada perilaku merokok pada remaja, maka film harus dimonitor sebagaimana kita memonitor paparan lingkungan yang berdampak buruk bagi kesehatan. Peneliti (Todd F. Heatherton dan James D. Sargent , 2009) bekerjasama dengan American Legacy Foundation untuk mempublikasikan laporan tahunan tentang merokok pada hits top box-office di tiap tahunny. Laporan tersebut menyediakan metric yang valid untuk menentukan apakah suatu kemajuan tercipta dengan pengurangan tambilan gambaran merokok pada industry hiburan atau tidak. pada Publikasi terakhir peneliti (Todd F. Heatherton dan James D. Sargent , 2009) menunjukkan penurunan signifikan pada pengurangan penggambaran karakter merokok, khususnya untuk film dengan rating-R.

Isu lain adalah identifikasi dan promosi kebijakan yang dapat mengurangi paparan pada remaja. Berbagai kelompok advokasi kesehatan public (e.g., Smoke Free Movies, http://smokefreemovies.ucsf.edu/) telah mendorong industry film untuk melakukan tindakan sukarela yang akan mengurangi paparan, seperti memberikan rating-R pada film yang berkonten merokok, menyatakan bahwa ada dana yang disediakan oleh industry tembakau, membutuhkan tayangan iklan anti-rokok sebelum diputarnya scene film. Beberapa studio film perorangan telah menerapkan pedoman internal yang dirancang untuk membatasi penggambaran merokok dalam film yang ditujukan untuk remaja, mesipun sebagian besarnya belum. Kelompok lain yang mempromosikan kebijakan untuk mengurangi tayangan merokok dalam film adalah the National Association of Attorneys General (NAAG). NAGG bertugas untuk mensahkan Master Settlement Agreement antara the State Attorneys General dan industry tembakau yang berisi larangan untuk membayar penayangan merek pada filom oleh tiap perushaan tembakau besar.

Sejak kebijakan ini diadopsi, tayangan merek rokok dalam film menurun hingga hampir nol. Barubaru ini, yang sebagian berdasar pada hasil penelitian peneliti (Todd F. Heatherton dan James D. Sargent , 2009), NAGG telah meminta studio film besar untuk menempatkan iklan anti-rokok pada tiap DVD dengan konten merokok. Saran ini telah diterapkan oleh Weinstein Brothers, sebuah perusahaan produksi yang sekarang menempatkan iklan Legacy Founda tion Truths pada semua DVD berkonten merokok. Kita berbahagia untuk mengetahui bahwa temuan penelitian sangat cepat diterapkan pada isnisiatif kebijakan untuk melindungi anak-anak dari film berkonten merokok.

 

Sumber Jurnal:

Todd F. Heatherton and James D. Sargent (2009). Does Watching Smoking in Movies Promote Teenage Smoking?. Current Directions in Psychological Science 2009 18: 63http://cdp.sagepub.com/ content/18/2/63

 

Paparan Konten Seksual yang Lebih Tinggi dalam Film Populer Memprediksi Debut Seksual Dini dan Meningkatkan Perilaku Seksual Berisiko

Posted by kurniadhani on October 29, 2014
Psikologi Teknologi (Media) / No Comments

Apa iya sih?

Yuk kita bahas jurnal penelitian O’Hara, Ross E., Frederick X. Gibbons, Meg Gerrard, Zhigang Li,dan James D. Sargent (2012) berikut.

 

Greater Exposure to Sexual Content in Popular Movies Predicts Earlier Sexual Debut and Increased Sexual Risk Taking

 

Latar Belakang

Penelitian ini mempelajari tentang pengaruh media pada perilaku seksual remaja, termasuk usia mereka pada debut seksualnya, dan pengambilan risiko seksual selanjutnya. Debut seksual dini berhubungan dengan bertambahnya jumlah pasangan seksual dan penggunaan kondom yang inkonsisten, serta peningkatan risiko penularan infeksi seksual (Sexual Transmitted Infections – STIs; Kaestle, Halpern, Miller, & Ford, 2005).

Salah satu pengaruh signifikan pada perilaku seksual berisiko kemungkinan adalah media (Wright, 2011) – khususnya paparan konten seksual film atau movie sexual exposure (MSE). Pada studi yang dilaporkan berikut ini, Ross E. O’Hara, Frederick X. Gibbons, Meg Gerrard, Zhigang Li,and James D. Sargent (2012), meneliti hubungan MSE dengan debut seksual dan perilaku seksual berisiko, baik secara langsung atau tidak melalui perubahan pencarian sensasi. Efek media pada perilaku berisiko remaja, termasuk penggunaan tembakau (National Cancer Institute, 2008), penggunaan alcohol (P. Anderson, de Bruijn, Angus, Gordon, & Hastings, 2009), dan agresi (C. A. Anderson et al., 2003), telah didokumentasikan secara luas. Akantetapi pengaruh media pada perilaku seksual remaja masih belum banyak dikenal.

Wright (2011) mengemukakan bahwa pengaruh media pada perilaku seksual didorong oleh adanya akuisisi dan aktivasi skrip seksual. Skrip tersebut menyediakan pilihan perilaku dalam situasi sosial, termasuk yang mendorong pada perilaku seksual dan konten skrip seringkali dipengaruhi oleh media. Film umumnya menawarkan pesan seksual yang permisif dan berisiko (Gunasekera et al., 2005; Nalkur et al., 2010), dan paparan konten seksual yang tinggi telah terbukti lebih dapat memprediksi sikap seksual yang permisif (Bleakley, Hennessy, Fishbein, Coles, & Jordan, 2009; Brown, Halpern, & L’Engle, 2005). Lebih lanjut, para remaja seringkali mencari media seksual, mungkin untuk mempelajari skrip tersebut (Brown et al., 2005). Bahkan, 57% remaja AS (usia 14-16 tahun) dilaporkan menggunakan media sebagai media primer untuk mencari informasi seksual (Bleakley et al., 2009).

Pencarian sensasi meningkat semasa remaja, memuncak antara umur 10 dan 15 tahun, dan kemudian menurun hingga remaja akhir (Steinberg et al., 2008). Pencarian sensasi yang terbesar diasosiasikan pada dua hal yaitu debut seksual dini (Donohew et al., 2000) dan kemudian lebih sering berpengaruh pada seks kasual masa dewasa (Arnett, 1994). Penting untuk dipahami bahwa pencarian sensasi meningkat karena faktor biologis dan sosialisasi (Arnett, 1994), yang mengatakan bahwa lingkungan mempengaruhinya, seperti MSE, dapat mempengaruhi perkembangan ciri atau sifat ini.

Studi efek film pada perilaku seksual telah dilakukan secara longitudinal. Durasi analisis data yang terkumpul pada studi ini membuat penelitian ini mampu menguji debut seksual dan keluaran dari debut seksual yang dapat ditunjukkan pada STi atau kehamilan yang tidak diinginkan. Dan terakhir, studi ini adalah yang pertama dalam menguji apakah efek media yang berpengaruh dalam perilaku seksual berisiko dimediasi oleh perubahan pencarian sensasi. Secara khusus, hipotesis penelitian ini adalah:

  • Hipotesis 1: MSE awal memprediksikan usia saat debut seksual, sebuah efek yang dimediasi oleh bertambahnya pencarian sensasi.
  • Hipotesis 2: MSE awal memprediksikan keterkaitan dalam perilaku seksual berisiko (seperti bertambahnya jumlah pasangan seksual dan frekuensi seks kasual tanpa kondom) setidaknya kira-kira 6 tahun kemudian, sebuah efek yang dimediasi oleh usia saat debut seksual.

 

Metode

Subjek dan Prosedur

Data dikumpulkan dalam enam gelombang studi longitudinal yang berputar dari Juni 2003 hingga Oktober 2009. Pada Waktu 1, data dikumpulkan dalam random-digit-dial telephone survey pada 6.522 remaja dari usia 10 hingga 14 tahun, yang tinggal di AS. Berikutnya, tiga survey follow up diadakan kira-kira setiap 8 bulan; follow up final kedua diadakan kira-kira 5 hingga 7 tahun setelah Waktu 1. Pada Waktu 6, 2.718 partisipan merespon (38,2% yang berhak), tetapi hanya partisipan yang berusia 18 tahun atau lebih (n=1.300) yang ditanya untuk melaporkan perilaku seksual mereka. Untuk memastikan bahwa MSE telah terjadi sebelum debut seksual, kami mengghilangkan dari partisipan analisis siapa yang debut seksualnya terjadi sebelum Waktu 2 (n=72), di mana menyisakan sample akhir 1.228 partisipan. Patisipan pada sample akhir adalah antara 12 dan 14 tahun pada Waktu 1 (M= 12,89 tahun, SD:0,79) dan antara 18 dan 21 tahun pada Waktu 6 (M= 19,90 tahun, SD=0,81). Sample itu terdiri dari 611 orang laki-laki (49,8%) dan 617 wanita (50,2%); 891 adalah European American (72.6%), 159 adalah Hispanic (12.9%), 71 adalah African American (5.8%), and 107 berlatarbelakang rasa tau etnik (8.7%). Partisipan yang hilang pada saat follow up berisiko lebih tinggi pada debut seksual dini dan keterkaitannya dengan perilaku seksual berisiko pada Waktu 1 daripada mereka yang tetap sebagai sample. Partisipan yang tidak bertahan dilaporkan memiliki MSE dan pencarian sensasi yang lebih tinggi dan tanggapan maternal yang lebih rendah, dan lebih mungkin untuk memiliki televisi di kamarnya (ps, 0,01). Juga, secara signifikan lebih minoritas dari daripada Eropean American yang hilang pada follow u0 (p, 0,02).

 

Teknik Pengumpulan Data

MSE diukur dengan menggunakan metode Beach. Pada Waktu1, 523 film top-grossing rilis antara 1998 dan 2003 dikoding pada sejumlah konten seksual kedua, yang didefenisikan sebagai contoh perilaku seksual, seperti ciuman berat atau senggama. Setiap film di-rate oleh satu dari dua coder yang terlatih, dan 10% dari subsample film yang random di koding ganda (double-coded) (interrated agreement: r=0,92). Setiap partisipan menerima daftar unik dari 50 film yan dipilih secara random dari kelompok yang lebih besar dan partisipan melaporkan film mana saja yang telah mereka tonton.

Pencarian Sensasi (sensations seeking) diukur dengan skala empat-item yang didesain untuk anak-anak (Waktu 1: α = .60; Waktu 2: α = .58;   Stephenson, Hoyle, Palmgreen, & Slater, 2003). Partisipan memberikan respon pada tiap item menggunakan skala mulai 1 hingga 4, dengan nilai lebih tinggi mengindikasikan tingginya pencarian sensasi.

Usia saat debut seksual dilaporkan oleh partisipan pada saat Waktu 6. Perilaku seksual berisiko diukur pada Waktu 6 dan terdiri dari dua komponen, yaitu: jumlah seumur hidup dari rekan seksual oral dan vaginal (respons terbuka) dan jumlah seks kasual (didefinisikan sebagai seks vaginal yang tidak dengan “pasangan kencan serius”) tanpa kondom (dilaporkan menggunakan skala mulai dari 0, tidak pernah, hingga 5, lima kali atau lebih). Skor kedua item direkam kedalam variable ordinal dan dikombinasikan, α = 0,62.

Kovariat yang berhubungan dengan MSE dan perilaku seksual (termasuk pencarian sensasi) diukur pada Waktu 1. Gender, ras dan usia dilaporkan oleh orangtua partisipan. Partisipan melaporkan seberapa sering mereka menghadiri gereja atau yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan, berapa banyak waktu untuk menonton televisi setiap harinya, apakah mereka memiliki televisi di kamar tidurnya, dan dengan siapa mereka tinggal (sebuah ukuran untuk mengkode struktur keluarga sebagai sesuatu yang lengkap atau terbagi).

 

Hasil

Nilai media MSE adalah 0.93 hr (interquartile range: 0.43 hr–1.32 hr). pencarian sensasi secara umum rendah, M = 7.90 (SD = 2.39) Pada Waktu1 dan M = 8.07 (SD = 2.32) pada Waktu2. Pada Waktu6, 774 participan (63.0%) melakukan debut seksual: 40 (5.2%) sebelum usia 15, 79 (10.2%) pada usia 15, 190 (24.5%) pada usia 16, 223 (28.8%) pada usia 17, dan 242 (31.2%) pada usia 18 atau lebih. Diantara Partisipan yang aktif secara seksual, jumlah rata-rata pasangan seksual seumur hidup adalah 2 (interquartile range: 1–4 partners), dan 195 dari participan (25.2%) melaporkan bahwa mereka melakukan seks tanpa kondom.

Perbedaan gender peserta laki-laki dan perempuan sama-sama cenderung memiliki seksual memulai debutnya dengan Waktu6; dan lagi, pria dan wanita secara seksual debutnya di sekitar usia yang sama dan melaporkan MSE yang sama. Lak-laki melaporkan bahwa mereka memiliki partner yang lebih banyak (M = 3.43, SD = 5.94) daripada perempuan (M = 2.48, SD = 3.91), t(1221) = 3.48, p = .001, dan melakukan seks tanpa kondom lebih sering (M = 0.43, SD = 1.14) daripada perempuan (M = 0.29, SD = 0.87), t(1223) = 2.37, p < .02. laki-laki juga dilaporkan melakukan pencarian sensasi yang lebih banyak daripada perempuan pada Waktu1 dan Waktu2, ts(≥ 1195) ≥ 3.70, ps < .001.

MSE yang semakin tinggi diasosiasikan dengan debut seksual dini, partner seksual yang lebih banyak, frekuensi melakukan seks tanpa kondom, dan tingkat pencarian sensasi pada kedua jenis kelamin, ps < .001. Namun, relasi antara MSE dengan debut seksual, lebih tinggi secara signifikan pada laki-laki, r(595) = −.33, daripada perempuan, r(585) = −.21; z = 2.19, p < .03. terakhir, debut seksual dini diasosiasikan jumlah partner seksual dan frekuensi aktifitas seksual tanpa kondom pada kedu ajenis kelamin.

 

Kesimpulan dan Diskusi

Semakin tingginya MSE dini (sebelum usia 16 tahun) memprediksikan semakin berisikonya perilaku seksual (yaitu semakin tingginya jumlah pasangan seksual seumur hidup dan semakin sering seks kasual tanpa kondom) pada masa dewasa, dan hal tersebut terjadi baik langsung maupun tidak, melalui debut seksual yang dini. Hasil ini mendukung temuan sebelumnya bahwa konsumsi media seksual memprediksikan usia saat debut seksual (e.g., Brown et al., 2006), dan hal itu memperluas temuan yang menunjukkan bahwa MSE memiliki pengaruh yang tetap pada perilaku seksual berisiko pada masa dewasa (Ward et al., 2011). MSE juga memprediksi debut seksual secara tidak langsung melalui bertambahnya pencarian sensasi. Temuan ini menyediakan bukti lebih lanjut bahwa paparan film dengan konten seksual dapat memangselerasi pencapaian normal pada pencarian sensasi selama masa remaja (Steinberg et al., 2008), dengan demikian mempromosikan perilaku berisiko pada umumnya (de Leeuw et al., 2011; Stoolmiller et al., 2010).

Terakhir, pengaruh MSE pada debut seksual dan perilaku seksual berisiko pada Waktu 6 adalah lebih kuat pada laki-laki dibanding anak perempuan, meski pengaruhnya pada pencarian sensasi mirip diantara kedua gender tersebut. Hal tersebut tidak berpengaruh pada ukuran efek MSE pada perilaku seksual pada kisaran medium (|.33|) hingga kecil (|.01|). Namun demikian, efek langsung yang terbesar ditemukan dalam pengaruh MSE pada debut seksual. Hasil-hasil tersebut menyarankan bahwa MSE dapat memberikan pengaruh pada mekanisme mediasi potensial lainnya, seperti perubahan sikap (Brown et al., 2005) atau skrip seksual (Wright, 2011). Bahwa dengan prevalensi MSE diantara remana, kita percaya bahwa bahkan efek kecil MSE pun memiliki implikasi penting untuk kesehatan seksual remaja.

Hasil penelitian ini menyarankan bahwa pembatasan MSE pada remaja akan menunda debut seksual mereka dan juga mengurangi keterkaitan mereka pada perilaku seksual berisiko di kehidupan mereka selanjutnya. Strategi ini dapat melemahkan pengaruh langsung media pada perilaku seksual remaja dengan membatasi akuisisi skrip seksual berisiko dan atau mengurangi kemungkinan aktivasi mereka (Wright, 2011). Sebagai tambahan, pembatasan MSE dapat mengurangi kenaikan dalam pengalaman pencarian sensasi normal selama masa remaja (Steinberg et al., 2008), yang mana, pada gilirannya dapat menunda debut seksual dan selanjutnya keterkaitannya dengan perilaku seksual berrisiko (Arnett, 1994; Donohew et al., 2000). Suatu pendekatan yang menjanjikan adalah melibatkan pendampingan pelatihan medialiterasi pada pendidikan seksual.

 

 

Sumber Jurnal:

O’Hara, Ross E., Frederick X. Gibbons, Meg Gerrard, Zhigang Li,and James D. Sargent (2012). Greater Exposure to Sexual Content in Popular Movies Predicts Earlier Sexual Debut and Increased Sexual Risk Taking. Psychological Science 2012 23: 984 originally published online 18 July 2012 http://pss.sagepub.com/content/23/9/984

Studi Efek Media:

Posted by kurniadhani on October 29, 2014
Psikologi Teknologi (Media) / No Comments

Social Cognitive Theory

(Social Learning, Observational Learning, Modelling)

Studi efek media pada perilaku berisiko pada remaja telah banyak didokumentasikan. Efek media tersebut antara lain pada perilaku-perilaku yang berisiko seperti penggunaan tembakau, alcohol, agresi dan seksual. Dalam pembahasan kali ini, kita akan melihat efek media terhadap perilaku remaja dalam hal perilaku seksual dan penggunaan tembakau.

Melalui teori kognitif sosial Bandura, kita ketahui bahwa individu mempelajari perilaku tertentu dengan cara observasi perilaku yang ditunjukkan oleh orang lain dan kemudian melakukan imitasi. Ada empat subfungsi belajar observasional dari media, yaitu adanya paparan media, adanya kemampuan encoding dalam merepresentasikannya secara kognitif, kemampuan menerjemahkan konsep simbolik menjadi tindakan yang tepat dan adanya motivasi yang berkembang karena penguatan internal maupun eksternal untuk membentuk perilaku tertentu (Harris, 2004).

Studi klasik Bandura dengan menggunakan boneka Bobo (1965) menjelaskan bagaimana pembelajaran observasional melalui film, di mana relevansi media terjadi ketika model dalam media menjadi sumber belajar. Anak-anak TK dipilih secara random dengan jumlah yang sama untuk menonton salah satu dari tiga film, di mana seorang pemeran memukuli sebuah mainan plastic berukuran orang dewasa yang dinamakan boneka Bobo. Film pertama pemeran diberi penghargaan dengan permen, minuman ringan dan pujian untuk perilaku agresif. Film kedua, pemeran dikritik dan dipukul untuk perilaku agresif. Film ketiga, tidak ada konsekuensi untuk perilaku agresifannya. Setelah itu, setiap anak ditinggalkan sendiri dalam ruangn yang berisi mainan, termasuk sebuah boneka Bobo. Perilaku anak-anak tersebut diamati melalui sebuah kaca satu arah. Anak-anak yang menonton film pertama (film egresif dengan reward) dan film ketiga (film agresif tanpa konsekuensi apapun) meniru perilaku agresif lebih banyak daripada anak-anak yang menonton film kedua (film agresif dengan punishment), dan anak laki-laki lebih agresif dibandingkan anak perempuan. Hal ini menunjukkan pembelajaran observasional terjadi sama ekstensifnya pada suatu perilaku baik terdapat penguatan atau tidak. dan Bandura juga mengatakan bahwa apabila seorang anak mengamati suatu perilaku tetapi tidak melakukan suatu respons yang dapat diamati, seseorang tetap mendapatkan respons yang dimodelkan secara kognitif (Santrock, 2009).

Meskipun teori kognitif sosial awanya berkembang untuk meneliti efek kekerasan media pada perilaku, tetapi model ini juga memiliki aplikasi lainnya. Adapun teori ini juga digunakan untuk meneliti aplikasi seperti pemodelan perilaku seksual, perilaku prososial, perilaku konsumen, dan lain-lain (Harris, 2004).

 

Referensi:

Harris, Richard Jackson. 2004. A Cognitive Psychology of Mass Communication. 4th ed. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Santrock, John W. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Humanika.

Review: Menemukan Akar Perilaku Agresif Remaja

Posted by kurniadhani on October 29, 2014
Developmental / No Comments

 

Berikut adalah review jurnal penelitian mengenai perilaku agresif remaja, yang dilakukan oleh  Glowacz, Véronneau, Boët dan Born (2013).

 

Finding the roots of adolescent aggressive behaviour: A test of three developmental pathways

 

Abstrak

Penelitian ini meneliti tentang perilaku agresif remaja. Perilaku agresif remaja berasal dari masa perkembangan awal. Penelitian ini menguji tiga masa longitudinal yang dimulai dari masa anak-anak awal pada sampel 325 partisipan orang Belgia (162 diantaranya adalah anak perempuan), yang diuji setiap satu atau dua tahun dari lahir hingga usia 14 tahun. Model Structural equation mendukung asumsi “ketidakpuasan awal ibu” terhadap agresi remaja, tetapi fungsi kognitif dan perilaku agresif awal mendapatkan dukungan yang jelas. Ketidakpuasan awal ibu terhadap anaknya adalah titik awal dari seri persepsi negatif anak, yang memprediksikan agresi fisik dan sosialo anak pada orang dewasa. Temuan penelitian ini mengusulkan bahwa perkembangan normative oleh oleh orangtua dapat menambah persepsi ibu dalam pengalaman awalnya sebagai seorang ibu, pada anak mereka dan pada interaksi orang tua dan anak selanjutnya, yang dapat mengurangi perilaku agresif anak di masa yang akan datang.

 

Ketidakpuasan Awal Ibu dan Perilaku Anak

Beberapa prediktor dalam perilaku agresif remaja antara lain adalah Parenting atau pola asuh dan karakteristik individual seperti karakteristik kognitif. Penelitian ini memiliki rumusan masalah: Apakah laporan ibu tentang fungsi anak (laporan yang sangat tergantung pada persepsi ibu pada anaknya) berpengaruh pada faktor relasional yang berkontribusi pada perkembangan agresif remaja. Sehingga yang diuji adalah persepsi ibu atas anaknya, perilaku agresif dan fungsi kognitif anak.

 

Variabel Kontrol

Faktor lain yang juga mempengaruhi perilaku agresif remaja adalah tingkat pendidikan ibu. Pendidikan ibu sangat berpengaruh dalam hal, yaitu dalam strategi asuhan anak, strategi dalam koping stress, lebih efisien sebagai ibu dan memililiki tingkat kepuasan yang lebih baik dalam menerima perkembangan anaknya di setiap periode perkembangannya. Ibu dengan pendidikan yang lebih tinggi juga memiliki kemampuan dalam memberikan stimulasi lingkungan untuk perkembangan kognitif anak.

 

Metode

Penelitian ini berada pada konteks studi longitudinal yang disebut dengan “Grandir en l’an 2000 (Tumbuh di tahun 2000),” yang dimulai pada tahun 1989 oleh Departemen Pedagogi Eksperimental, Universitas Lie `ge, yang berlangsung di wilayah Lie` ge-Huy-Waremme. Semua tindakan diberikan di Perancis, bahasa pertama keluarga yang berpartisipasi dalam penelitian.

 

Partisipan

Terdapat 325 partisipan yang terlibat dalam penelitian ini, yaitu 163 anak laki-laki dan 162 anak perempuan.

 

Prosedur

Penelitian ini dilakukan secara longitudinal, mulai anak lahir hingga berusia 14 tahun. Ibu diwawancara di rumah mereka masing-masing setiap tahunnya.

 

Data dan Pengukuran:

  • Pendidikan ibu. 3.1% tidak menyelesaikan sekolah dasar,   9.2% menyelesaikan sekolah dasar saja, 18.5% hingga sekolah menengah, 20.3% diploma atau sekolah vokasi, 13.2% mencapai diploma dua dan lanjutan, 35.7% lulus dari program pendidikan tinggi. Pendidikan ibu diukur dengan skala Likert 6 poin yang mencakup tiap level edukasi.
  • Temperamen anak pada masa anak-anak awal. Data ini diperoleh dari laporan ibu atas perilaku anak, melalui dua item yang merefleksikan perilaku anak di malam hari seperti bangun di tengah malam dan adanya mimpi buruk.
  • Perilaku agresif anak. Variabel ini diukur menggunakan dua item pada laporan ibu mengenai dua tipe perilaku yang dieksternalisasi (agresif), berupa tindakan berteriak-teriak dan menghentak-hentakkan kaki ke lantai.
  • Ketidakpuasan awal ibu pada anak, mengukur tingkat kepuasan ibu atas karakteristik anak: dinasmis, rasa aman, ketenangan, temperamen, kepatuhan, keaktivan, afeksi dan agresifitas. Skala 1 diberikan untuk adanya indikasi ketidakpuasan, dan skor 0 diberikan untuk indikasi tidak adanya ketidakpuasan.
  • Persepsi ibu atas kesulitan interpersonal anak, yaitu perilaku dengan teman sebaya anak dan kemampuan kontrol diri anak. Ibu diberikan lima item yang menggambarkan perilaku anak seperti yang biasa mereka amati pada anak mereka sendiri. Item ini menggambarkan beberapa perilaku yang mungkin ditunjukkan anak-anak terhadap teman sebaya mereka dan kemampuan kontrol diri mereka dalam situasi antarpribadi (misalnya, mengganggu permainan anak-anak lain; memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam perkelahian). Setiap item dinilai pada skala Likert 4-poin mulai dari 0 (anak saya sama sekali tidak seperti ini), untuk 3 (anak saya sangat seperti ini).
  • Persepsi ibu atas perilaku anak yang bermasalah, yaitu berkaitan dengan norma, bahasa yang dipakai, perilaku oposisi dan ketidakpatuhan anak, agresi fisik pada orang lain maupun suatu objek. Menggunakan bahasa yang tidak pantas dengan saudara, teman, atau orang tua dinilai pada skala 3-point, dengan jawaban potensial termasuk pernah, kadang-kadang, atau sering
  • Persepsi ibu atas masalah konsentrasi anak, dengan menggunakan skala control diri kognitif, yang mengukur kemampuan kognitif anak, termasuk perhatian, evaluasi, perencanaan, dan pemecahan masalah. Masing-masing dinilai pada skala Likert 7 poin.
  • Intellectual Quotien (IQ) anak, diukur dengan menggunakan Weschler Preschool and Primary Scale of Intelligence-Revised yang didesai untuk anak usia 4-6 tahun.
  • Hambatan kognitif anak. Variabel ini diukur dengan menggunakan tes Stroop (Stroop, 1935), di mana peserta harus mengganti jawaban baru satu sama lain yang sebelumnya dipraktekkan dan membuat otomatis.
  • Fleksibilitas mental anak. Diukur dengan Trail Making Test, yaitu tes neuropsikologi perhatian visual dan beralih tugas. Hal ini membutuhkan anak-anak untuk menggunakan konsentrasi dan kemampuan mereka untuk memulai, mengintervensi, mengganggu kompleks, dan urutan perilaku berdasarkan tujuan.
  • Agresi fisik dan sosial anak. Peserta diminta untuk melaporkan tentang seberapa sering mereka telah terlibat dalam tiga kasus agresi sosial, termasuk mengolok-olok orang lain, menggunakan bahasa yang tidak pantas dengan orang lain, dan menyebarkan rumor, pada skala 3-point (tidak pernah, sekali atau dua kali, atau tiga kali atau lebih). Peserta juga diminta untuk melaporkan tentang seberapa sering mereka telah terlibat dalam empat kasus agresi fisik, termasuk menggunakan kekerasan untuk mengambil uang atau harta orang lain, berkelahi dengan satu atau beberapa orang, atau menggunakan senjata, pada skala 3-point (pernah , sekali atau dua kali, atau tiga kali atau lebih).

 

Hasil Penelitian

Agresifitas anak pada usia 22 bulan berkorelasi dengan persepsi ibu atas kesulitan interpersonal anak pada usia 5 tahun. Agresifitas anak pada usia 22 bulan berkorelasi dengan persepsi atas masalah kognitif dan perilaku anak pada usia 10 tahun. Persepsi ibu atas kesulitan interpersonal anak di usia 5 tahun berkorelasi dengan agresifitas fisik anak di usia 10 tahun. Dan IQ anak pada usia 5 tahun berkorelasi dengan agresifitas fisik anak di usia 10 tahun.

Pada tes efek tidak langsung, terdapat efek tidak langsung yang signifikan dari ketidakpuasan ibu pada anaknya (pada usia 22 bulan) terhadap agresifitas fisik anak pada usia 14 tahun, dan persepsi ibu atas kesulitan interpersonal anak pada usia 5 tahun terhadap masalah kognitif dan perilaku anak pada usia 10 tahun. Persepsi ibu juga memiliki efek tidak langsung yang signifikan terhadap agresifitas sosial anak di usia 14 tahun.

Penelitian ini kemudian juga membandingkan hasil antara anak-laki-laki dan anak perempuan. Dalam hal gender, anak laki-laki menunjukkan hambatan kognitif yang lebih rendah daripada anak perempuan. Ibu yang memiliki anak laki-laki memberikan persepsi yang lebih tinggi dalam hal perilaku bermasalah dan kesulitan berkonsentrasi daripada ibu yang memiliki anak perempuan. Ibu yang memiliki anak laki-laki melaporkan angka yang lebih tinggi pada perilaku anak yang menolak untuk tidur daripada ibu yang memiliki anak perempuan. Anak laki-laki memiliki fleksibilitas mental yang lebih rendah daripada anak perempuan. Selanjutnya anak laki-laki dilaporkan melakukan agresi fisik lebih tinggi daripada anak perempuan.

Komentar

Pola asuh orangtua terhadap anaknya merupakan salah satu prediktor perilaku agresif remaja dapat semakin kita pahami. Ketidakpuasan awal ibu atas anaknya (pada usia 22 bulan) berpengaruh pada perilaku agresif anak pada masa remaja (usia 14 tahun) telah dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Glowacz. F., M. Véronneau, S. Boët dan M Born (2013).

Sebagai sebuah kritik, salah satu hal yang luput dari penelitian ini adalah tidak adanya observasi yang mendalam mengenai hubungan antara persepsi ketidakpuasan awal ibu dengan perlakuan kongkrit ibu atas anaknya. Untuk mengetahui korelasi maupun efek dari kondisi perkembangan awal anak terhadap perilaku masa depan, tidak dapat dipahami dengan baik dan mendalam bila hanya mengandalkan laporan atas persepsi subjektif saja, tetapi lebih dari itu, harus dieksplorasi tindakan dan hubungan ibu-anak secara real.

Relasi ibu-anak pada masa awal kehidupan sangat krusial untuk perkembangan psikologis seseorang. Persepsi tentang ketidakpuasan awal ibu terhadap anaknya tentu saja berpengaruh baik secara langsung maupun tidak pada sikap dan perilaku ibu terhadap anaknya. Dengan adanya persepsi ketidakpuasan ini, seorang ibu dapat mengembangkan perilaku yang membuat anak merasa tidak nyaman bahkan aman terhadap ibunya sendiri. Perasaan tidak nyaman dan aman anak terhadap ibunya dapat membuat anak mengembangkan perasaan mis-trust anak (seperti dijelaskan teori Erikson) dan menciptakan adanya anxious-resistant yang membuat anak mudah mengalami kecemasan dan menolak (seperti dijelaskan oleh Ainsworth).

Pokok penelitian tersebut dapat kita pahami melalui perkembangan psikososial anak dalam teori Erikson (1950), yaitu trust versus mis-trust. Usia 22 bulan adalah tahapan psikososial pertama yang dialami anak dalam tahun pertama kehidupannya. Suatu rasa percaya menuntut perasaan nyaman secara fisik dan sejumlah kecil ketakutan dan kekhawatiran akan masa depan. Kepercayaan pada masa bayi mennetukan tahap bagi harapan seumur hidup bahwa dunia akan menjadi tempat tinggal yang baik dan menyenangkan. Dalam hal ini, Erikson yakin bahwa orangtua yang tanggap sangat peka dalam memberikan rasa percaya ini pada bayi. Hal senada juga dapat kita lihat dari pendapat Mary Ainsworth (1979) pada kelekatan anak. Kelekatan yang dipengaruhi oleh rasa aman dan kepercayaan dalam tahun pertama kehidupan memberikan suatu landasan yang penting bagi perkembangan psikologis kemudian hari dalam kehidupan bayi (dalam Santrock, 1995).

 

Kesimpulannya adalah, perkembangan psikologis anak yang sehat dapat dicapai melalui pola asuh orangtua yang baik. Orangtua dapat memberikan rasa aman dan stimulasi positif pada anak, sehingga anak dapat mengembangkan rasa percaya (trust) dan kelekatan yang aman (secure attachment) baik terhadap ibunya sendiri maupun lingkungannya kelak. Bila orangtua tidak dapat memberikan rasa aman dan stimulasi positif, maka anak dapat mengembangkan rasa kecemasan dan memiliki perkembangan psikologis yang tidak sehat, seperti perilaku agresif dan periaku maladaptif lainnya.

 

 

Referensi

Glowacz.F., Véronneau.M., Boët.S., dan Born,M.  2013. Finding the roots of adolescent aggressive behaviour: A test of three developmental pathways. International Journal of Behavioral Development. 22 May 2013 2013 37: 319

Santrock. J.W,. 1995. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. 5th ed. Jakarta: Erlangga.

 

Unravelling the Web: Adolescent and Internet Addiction’

Posted by kurniadhani on October 21, 2014
Psikologi Teknologi (Media) / No Comments

IMG_20141021_091638 modified

 

Secara khusus, dalam kesempatan ini saya akan membahas subbab yang paling menarik menurut saya dari buku Zheng, Burrow-Sanchez & Clifford  (2010), yaitu:

Bab 3 yang berjudul

Unravelling the Web: Adolescent and Internet Addiction’

 

Bab ini merupakan tulisan dari Widyanto & Griffiths (2010), dua orang peneliti dari Nottingham Trent University, UK. Tulisan ini membahas tentang apa dan bagaimana konsep kecanduan internet itu sebenarnya dan bagaimana penggunaan internet dapat menjadi adiktif dan patologis.

 

Sejarah Kecanduan Internet

Istilah yang digunakan untuk ‘kecanduan internet’ berasal dari istilah ‘kecanduan komputer’ pada masa awal pengembangan teknologi komputer. Kasus kecanduan komputer pertama kali ditemukan pada tahun 1993 di London – Inggris pada seorang tersangka pelaku pembajakan komputer, bernama Paul Bedworth. Ia kemudia dilepaskan dari tuntutan karena hasil pemeriksaan psikologinya menunjukkan penggunaan komputer dalam waktu yang sangat panjang dan tidak normal, dalam laboratorium komputer.

Setelah kasus itu terjadi, Ivan Goldberg, seorang psikiatris, memaksa komunitas psikiatri untuk memikirkan ulang penggunaan istilah dan menciptakan istilah baru yang dilabel sebagai ‘gangguan’: Internet Addiction Dissorder (IAD). Kriteria awal IAD ini menyesuaikan model gangguan penyalahgunaan substansi, dalam Diagnostic and Statistical Manual (DSM).

 

Kecanduan teknologi (internet) dipandang sebagai slah satu perilaku kecanduan dengan fitur intinya adalah:

  1. Saliensi – aktivitas spesifik menjadi hal paling penting dalam hidupnya, mendominasi pikiran, perasaan dan perilakunya
  2. Perubahan suasana hati – seseorang melaporkan perasaan subjektif akibat aktivitas tertentu (misal mengalami buss atau high)
  3. Toleransi – peningkatan jumlah aktivitas yang tidak normal dapat ditoleransi
  4. Gejala penarikan (withdrawal simptom) – perasaan tidak menyenangkan yang dapat diobservasi ketika aktivitasnya dikurangi atau dibatasi (misal, kemurungan atau menjadi iritabel)
  5. Konflik – terjadi konflik antara sesama pecandu, maupun konflik pada internal diri si pecandu
  6. Relaps dan pemulihan – perilaku kecanduan dapat kambuh meski telah lama tidak melakukannya.

 

Griffiths (2000) melakukan penelitian mengenai kecanduan dengan menggunakan enam komponen inti tersebut untuk menjawab pertanyaan: a) apa itu kecanduan?; b) apakah ‘kecanduan’ internet itu ada?; c) bila kecanduan internet ada, pada apa mereka kecanduan? Ia kemudian mendapatkan jababan bahwa kecanduan internet hanya terjadi pada sebagian kecil pengguna internet, dan mereka yang menggunakan internet secara eksesif hanya menggunakan internet sebagai media yang mana mereka dapat terlibat dalam perilaku tertentu.

 

Dalam hal penggunaan internet, kecanduan yang dilaporkan adalah penggunaan secara berlebihan yang mengganggu kehidupan nyata seseorang secara berat, hingga mengabaikan kehidupan nyata karena lebih memilih ‘hidup’ dalam dunia online-nya. Sebagai contoh: seorang ayah yang lupa menjemput anaknya karena terlalu sibuk berpartisipasi dalam forum online; seorang karyawan yang dipecat karena penggunaan internet kantor secara eksesif; seorang alkoholik yang telah sembuh tetapi menggunakan internet secara berlebihan kemudian menipu istrinya, seorang siswa yang peringkatnya turun karena hubungan dengan teman online barunya (Griffiths, 2008). Kebanyakan penelitian mengenai kecanduan internet sebelumnya terkonsentrasi pada sampel pengguna usia dewasa seperti kasus tersebut, meski juga ada sejumlah kecil penelitian pada sampel remaja.

 

Daya Tarik Dunia Online pada Remaja

Salah satu daya tarik internet dari masa ke masa adalah kemampuannya dalam menciptakan suatu hubungan. Kontak dan komunikasi yang berjalan panjang akan menciptakan bentuk dari dasar dukungan sosial. Sebagai contoh, kunjungan dan interaksi rutin pada kelompok online tertentu seperti komunitas atau forum tertentu, akan meningkatkan kemiripan dan kedekatan, yang kemudian rasa berkelompok terbangun. Seperti hal nya kelompok lain, dalam kelompok atau komunitas online juga terdapat norma, kultur, nilai, bahasa dan tanda yang diadaptasi sepanjang waktu.

Intimasi terbangun dengn sangat cepat diantara pengguna online. Peraturan sosial tentang kesopanan dan kecanggungan hilang dalam dunia maya karena pengguna hanya menggunakan inisial atau samara, sehingga masing-masing dapat bertanya apa saja pada siapa saja. Keterbukaan itu lah yang menciptakan intimasi. Anonimitas akan menghilangkan rasa cemas terhadap adanya konfrontasi, penolakan ataupun konsekuensi atas suatu perilaku. Bentuk hubungan seperti itu akan menarik mereka yang memiliki self-esteem dan keterampilan sosial yang rendah untuk terlibat dan membentuk hubungan baru dalam internet.

Penelitian menunjukkan bahwa perubahan self-esteem seseorang berhubungan dengan perubahan signifikan dalam lingkungan sosialnya, seperti pindah ke kota yang baru, berganti pekerjaan, dan pindah sekolah seperti dari siswa menjadi mahasiswa. Seseorang yang memasuki grup online, mereka membangun hubungan dengan yang tidak ada hubungannya dengan relasi offline-nya. Memulai interaksi online akan memberikan mereka kesempatan untuk mengubah elemen-elemen diri (self) yang bisa ia tampilkan, dan ini berarti menghasilkan naiknya perasaan self-worth (McKenna & Bargh, 1998).

 

Mengapa Penggunaan Internet dapat menjadi Eksesif?

Davis (2001) melalui pendekatan kognitif-behavioral menjelaskan bahwa penggunaan internet yang patologis (PIU) diakibatkan oleh kognisi yang bermasalah yang bersamaan dengan perilaku yang meningkatkan respons maladaptif.

Studi yang dilakukan oleh Caplan (2003) menunjukkan bahwa depresi dan loneliness merupakan prediktor signifikan untuk kecenderungan pada interaksi sosial on-line, di mana loneliness memainkan peran yang lebih signifikan dibanding depresi dalam pengembangan penggunaan internet bermasalah.

 

Efek Penggunaan Internet secara Kualitatif

Widianto (2007) melakukan penelitian kualitatif mengenai perbedaan perasaan terhadap self antara offline dan online. Penelitian tersebut menghasilkan beberapa tema besar, yaitu:

  • disinhibition, yaitu pengguna merasakan efek disinhibisi dan merasa lebih percaya diri;
  • anonymity, yaitu seseorang dapat muncul dengan identitas yang berbeda
  • isolation, yaitu perasaan terisolasi ketika menggunakan internet
  • control, yaitu perasaan memiliki kemampuan untuk mengontrol khususnya informasi
  • escape from reality, beberapa pengguna mengatakan bahwa internet memberi mereka kesempatan untuk lari dari realitas.
  • Information access, beberapa partisipan mengatakan tentang kemudahan akses informasi.

 

Kesimpulan

 Dari pembahasan Widyanto dan Griffiths ini diketahui bahwa penelitian mengenai kecanduan internet di kalangan remaja sebenarnya masih sangat sedikit dilakukan. Adapun penelitian mengenai adiksi ditemukan besar pada orang dewasa yang kemudian terjadi juga pada kalangan remaja (generalisasi). Belum jelas diketahui secara perkembangan apakan ada perbedaan atau kesamaan antara adiksiatau kecanduan internet terkait usia. Kesimpulan pembahasan tulisan ini adalah bahwa memang benar bila kecanduan internet memang ada, tetapi mempengaruhi hanya sebagian kecil dari populasi online yang ada, dan hanya ada sedikit sekali bukti bahwa adiksi tersebut problematik di kalangan remaja.

 

 

 

Adolescent Online Social Communication and Behavior

Posted by kurniadhani on October 21, 2014
Psikologi Teknologi (Media) / No Comments

untitled.bmpDunia maya adalah kehidupan ke dua bagi para remaja masa kini. Mereka terlahir di zaman digital. Sedari lahir telah tersentuh dengan berbagai teknologi canggih. Bertambah usia, maka bertambah pula penggunaan media sosialnya. Tuntutan zaman mereka adalah: “eksis atau mati”. Ke arah mana kah pemanfaatan teknologi yang ada di tangan mereka?

 

Kekhawatiran umum pada masyarakat kini adalah potensi dua sisi yang dibawa serta teknologi ini: positif atau patologis.

 

Buku Zheng, Burrow-Sanchez & Drew (ed)(2010) menjelaskan dinamika komunikasi sosial dan perilaku remaja di dunia maya. Buku ini merupakan kumpulan tulisan akademik dari beberapa ahli, yang memberikan pemahaman mendalam mengenai penggunaan internet oleh para remaja. Pembahasan dalam buku ini menekankan pada beberapa aspek seperti bidang perkembangan sosial dan kognitif, karakteristik komunikasi, modus komunikasi, efek patologis dan tentu saja aspek protektif apa saja yang dapat ditempuh.

 

Secara sederhana, per-bab buku ini membahas sebagai berikut:

 

Bab I menjelaskan pengaruh faktor-faktor sosial dan individual pada kebutuhan remaja dan dinamika perilakunya dalam komunikasi online.Kerangka konseptual dalam bab ini menjelaskan perilaku remaja secara online berkaitan erat dengan kebutuhan mereka dalam hal tuntutan perkembangan secara usia, kebutuhan sosial-psikologis, dan tentu saja kognitif.

 

Bab II menjelaskan dampak media internet pada perilaku, hubungan sosial dan pandangan remaja pada dunia. ruang komunikasi yang semakin luas dan lebih kompleks. para remaja menggunakan dan menggabungkan penggunaan surat elektronik, forum-forum online terbuka, ruang obrolan, pesan singkat, hingga jejaring sosial. Penggunaan aplikasi internet untuk komunikasi dengan tujuan berbeda akan menentukan struktur dan isi komunikasi sosial dan asosiasi yang berbeda pula. Perbedaan ruang dan aplikasi juga akan membedakan motivasi di tiap penggunaan aplikasi tertentu dan pemahaman akan dampak dari masing-masing aplikasi tersebut, baik pada penggunaan jenis, ukuran dan kualitas hubungan maupun ikatan dan bagaimana dinamika dalam menciptakan memeliharanya.

 

Bab III menjelaskan dampak patologis dan adiktif dari penggunaan internet yang eksesif.

 

Bab IV menjelaskan proses pembentukan hubungan dalam dunia maya dalam dua konteks, yaitu perkembangan kognitif dan psikososial dengan bagaimana karakteristik teknologi internet. berbagai penelitian mengungkapkan bahwa penggunaan internet pada remaja bertujuan untuk mendukung hubungan yang secara offline sebelumnya telah ada dan penggunaan yang berkaitan dengan pembentukan suatu hubungan yang lebih dekat. Bagi remaja yang membentuk suatu hubungan secara online, mereka menganggap bahwa hubungan tersebut sebagai sebuah hubungan yang dekat atau romantis, tetapi bila dikomparasikan berdasarkan berbagai dimensi hubungan maka kualitas hubungan tersebut sebenarnya lebih lemah dibandingkan hubungan yang terbentuk secara offline.

 

Bab V menjelaskan proses pembentukan identitas sosial remaja yang dipengaruhi oleh internet. pendekatan teoritis yang digunakan untuk memahami peran internet dalam pembangunan identitas seksual remaja. Peranan internet dalam proses sosialisasi seksual remaja dan perkembangan identitas harus mengikutsertakan neurosains (dalam hal ini adalah belahan otak tertentu) remaja dan sifat unik internet sebagai sumber informasi dan sebagai penyedia jejaring sosial.

 

Bab VI khusus membahas tentang aspek hukum terkait jejaring sosial dengan remaja (dalam bahasan ini adalah ‘Second Life’). Aspek-aspek hukum yang diidentifikasi oleh penulis ada empat, yaitu pertama, hubungan aturan sekolah yang tidak bertentangan dengan kebijakan publik akan tetap dijaga; kedua, peraturan maupun kurikulum sekolah yang bertentangan atau tidak sejalan dengan misi nasional pendidikan sekolah dasar akan tidak dijamin oleh pemerintah; ketiga, pesan-pesan yang dibuat di luar institusi sekolah; keempat, tindakan yang menyebabkan maupun berpotensi dapat menyebabkan gangguan serius (‘ancaman serius’) akan tidak dilindungi oleh pemerintah.Dalam bab ini, penulis memaparkan pentingnya peran sekolah dalam pendidikan tentang kesopanan, kebebasan berbicara, gangguan, ancaman, dan bagaimana penggunaan komputer yang tepat.

 

Bab VII memebahas mengenai aspek peraturan yang melindungi anak-anak dalam penggunaan internet. Peraturan ini mengakibatkan turunnya angka penggunaan internet oleh anak-anak, tetapi di pihak lain tanpa menaikkan pemahaman anak mengenai pengetahuan keamanan dalam penggunaan internet.

 

Bab VIII menjelaskan perbedaan konstruk-konstruk diantara remaja dan anak-anak kemudian mempengaruhi perilaku sosial online mereka (seperti pesan singkat, permainan online, dan partisipasi mereka dalam forum tertentu). Ciri-ciri kepribadian seperti persepsi atas rasa sepi hingga fgratifikasi identitas usia, bersama dengan motif penggunaan internet, efek internet pada perilakudan dukungan sosial yang dipersepsikan, merupakan bidang penelitian yang belum banyak dibahas.

 

Bab IX berfokus pada interaksi anatara jejearing sosial dengan penggunaan komputer oleh remaja. perhatian utama ditujkan pada pertanyaan ‘apakah penggunaan komputer secara eksesif akan membuat pengguna mengisolasi diri. Kehidupan interpersonal dan aktivitas komputer pada remaja awal saling mempengaruhi penguatan pola perilaku yang menurunkan kemungkinan perilaku berisiko pada tingkat yang jauh lebih besar daripada keterlibatan orangtua secara langsung. Bab ini juga memberikan saaran untuk para orang dewasa untuk bertanggung jawab pula dalam fokus energi, dan upaya untuk mendukung penggunaan kom puter yang sesuai hingga mempromosikan perilaku pro-sosial remaja di dunia online.

 

Bab X membahas mengenai faktor-faktor protektif yang dapat digunakan oleh orang tua untuk menjaga remaja agar aman saat menggunakan internet.

 

Bab XI mengeksplorasi tentang peran remaja (generasi tahun 2000-an) dalam kepentingan publik atau bagaimana penggunaan jejaring sosial dalam tanggung jawab sosial. temuan dari pembahasan bab ini adalah ternyata para remaja menggunakan jejaring sosial untuk mengambil tindakan sosial hingga politik, terlibat dalam usaha kewirausahaan dan mengadakan promosi ajakan kegiatan amal dan donasi.

 

Bab XII membahas tentang cyberbullying. cyberbulying sendiri memrupakan sebuah fenomena yang sedang merebak di kalangan remaja dan dewasa muda baik sebagai korban maupun sebagai pelaku tindakan melecehkan maupun mengancam melalui penggunaan teknologi seperti email, komunitas internet, jejaring sosial, ruang chat maupun telepon sesluler. fenomena ini sangat berkembang di negara-negara yang berteknologi tinggi seperti Amerika Utara, Eropa dan Asia. Bab ini membahas karakteristik dan kerangka teoritik yang menjabarkan apa dan bagaimana cyberbulying termasuk statistik kasus di dunia, latar belakang dan ciri pelaku dan bagaimana peranan orangtua.

 

Bab XIII membahas tetnang miskonsepsi terhadap generasi digital. Banyak anggapan bahwa generasi digital belajar dengan cara yang berbeda dengan generasi sebelumnya yang lebih tua maupun anak yang belum terpapar komputer. Bab ini memberikan tentang bagaimana mengembangkan kreativitas baik dalam lingkungan tradisional maupun lingkungan digital.

 

Bab XIV membahas tentang perkembangan bahasa anak, ditinjau dari penggunaan ruang chat. Bagaimana ruang chat sebagai media komunikasi dua arah secara real time sering digunakan terhadap perkembangan kemampuan bahasa remaja.

 

Buku:

Zheng. R., Burrow-Sanchez. J. & Clifford., D. 2010. Adolescent Online Social
Communication and Behavior: Relationship Formation on the Internet. Hershey: ISR.