Uncategorized

MODIFIKASI PERILAKU KELAS GOOD BEHAVIOR GAME

Posted by kurniadhani on July 07, 2015
Uncategorized / No Comments

Anda seorang pengajar?

Sering kali para pengajar kewalahan menghadapai perilaku peserta didik di dalam kelas. Ada siswa yang diam saja, ada siswa yang ribut kesana-kemari, ada siswa yang anteng, ada yang modar-mandir, ada yang pasif, ada yang hiperaktif… hehehe

Berikut ini salah satu rancangan program modifikasi perilaku peserta didik dalam kelas yang pernah saya buat.  Semoga dapat menjadi bahan tambahan strategi manajemen kelas Anda   🙂

 

Modifikasi Perilaku Kelas

oleh: Kurnia Rahmad Dhani

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

Latar Belakang Masalah

Ruang kelas terdiri dari pengajar dan siswa dengan latar belakang dan perilaku yang beraneka ragam. Pengajar akan berhadapan dengan berbagai siswa dengan perilaku yang pendiam atau sebaliknya aktif berbicara, aktif bergerak kesana-kemari, yang mudah menangis, suka berteriak-teriak, hingga yang suka berkelahi. Siswa-siswa di dalam kelas yang melakukan perilaku yang mengacau, agresif, berbicara kesana-kemari, tidak mengerjakan tugas, tidak patuh maupun sering meninggalkan tempat duduknya, akan membuat sakit kepala bila Anda adalah seorang pengajar. Perilaku mengganggu atau disruptif dari siswa bila muncul secara terus-menerus, akan menghabiskan banyak waktu dalam instruksional kelas dan bahkan dapat membuat guru frustrasi (Nelson & Roberts, 2000).

Tekanan maksimalisasi pencapaian akademik siswa datang dari berbagai arah. Tuntutan pemerintah, sekolah, hingga para orangtua siswa akan menambah rasa frustrasi pengajar. Dengan demikian, kemampuan seorang pengajar untuk mengelola berbagai perilaku siswa mutlak dibutuhkan untuk mengarahkan perilaku anak pada pemahaman pembelajaran yang optimal.

Praktik manajemen kelas yang tepat akan mampu mencegah perilaku bermasalah anak di dalam kelas. Pengelolaan perilaku ini sangat diperlukan untuk mendukung pencapaian akademik anak. Di antara praktik manajemen kelas untuk mengelola dan memodifikasi perilaku bermasalah anak di dalam kelas adalah dengan menggunakan prosedur Good Behavior Game (GBG) (Flower, McKenna, Bunuan, Muething & Vega, 2014).

BAB II

LANDASAN TEORI

 

The Good Behavior Game

The Good Behavior Game (GBG) adalah jenis prosedur manajemen kelas yang berorientasi kelompok yang saling bergantung. Prosedur ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1969 oleh Barrish dan telah digunakan secara luas. GBG sejak awal kemunculannya memanfaatkan kompetisi tim dan “permainan”, pengaruh tekanan kelompok dan prosedur-prosedur behavioristik lainnya. Prosedur ini menjadi populer karena dapat diterapkan dengan mudah, murah dan hemat waktu dan dapat disesuaikan dengan konteks pengajaran yang berlaku (Tingstorm, Sterling-Turner dan Wilczynski, 2006).

Prosedur GBG terdiri dari mengidentifikasi perilaku target, mengumumkan peraturan kelas, mengidentifikasi hadiah (reward), membagi anggota kelas paling tidak ke dalam dua tim yang ideal, mengidentifikasi pelaku perilaku-perilaku yang melanggar dan menyatakan apa pelanggaran yang dilakukan, mendebet (menggurangi) poin tim yang melakukan pelanggaran atau memberi poin pada tim yang mencapai perilaku yang diharapkan, pemberian hadiah harian maupun mingguan pada tim yang melakukan kesalahan paling sedikit (Flower, McKenna, Bunuan, Muething & Vega, 2014).

 

Asesmen Perilaku

Perilaku baik dan buruk secara universal tidak memiliki patokan yang sama dan ajeg. Perilaku kelas yang dianggap baik di Amerika, belum tentu dianggap sebagai perilaku yang baik atau pantas di Indonesia. Selain itu, suatu perilaku baik dan buruk juga akan sangat ditentukan oleh situasi dan setting sekolah tertentu. Bahkan, setiap guru juga memiliki standar penilaian baik-dan buruk yang berbeda pula.

Sebuah penilaian perilaku fungsional adalah seperangkat prosedur dimana kita dapat mengidentifikasi hubungan antara perilaku, anteseden dan konsekuensi. Asesmen tersebut harus mencakup paling tidak tiga hal, yaitu menentukan perilaku sasaran dengan tepat dan jelas, menentukan fungsi anteseden mana yang dapat lebih menghasilkan suatu perilaku dan menunjukkan bagaimana suatu fungsi perilaku seseorang untuk menentukan penguatan (Sarafino, 2012).

Para guru, psikolog, dan staf akademik sekolah mestilah mendefinisikan dengan jelas dan detil apa saja perilaku yang menjadi target dan perilaku yang harus dikurangi, dihilangkan atau bahkan didorong untuk dimunculkan atau ditingkatkan dari siswa. Oleh karena itu, sebelum memulai suatu program modifikasi perilaku, langkah utama dan paling awal yang harus ditempuh adalah asesmen perilaku (Ohio State Department of Education. 2014).

Ada dua tipe perilaku yang harus diperhatikan, yaitu perilaku berlebih (excess) dan perilaku yang kurang (deficit). Perilaku berlebih adalah perilaku yang tidak diharapkan, yang sangat sering terjadi, sangat kuat, maupun terlalu lama, misalnya siswa yang sering berbicara dengan suara keras saat guru sedang menerangkan. Perilaku deficit adalah perilaku yang diharapkan, yang kurang sering muncul atau dilakukan atau kurang kuat, misalnya siswa yang kurang percaya diri untuk menyampaikan pendapat, siswa yang jarang oleh raga, dll (Sarafino, 2012).

Asesmen perilaku dapat dilakukan baik secara langsung, tidak langsung dan melalui penelitian eksperimen laboratorium. Secara tidak langsung yaitu dengan menggunakan teknik wawancara maupun kuesioner. secara langsung yaitu observasi secara langsung dalam konteks kelas yang natural. Secara experiment laboratorium adalah dengan manipulasi lingkungan yang sistematis (Sarafino, 2012).

Ramsay, Reynolds dan Kamphaus (2002) menjelaskan bahwa diantara semua teknik asesmen perilaku anak, yang paling tepat adalah secara langsung dalam konteks kelas yang natural. Mereka menjelaskan akan adanya batasan data yang akan diperoleh yang disebabkan oleh filter yang dilakukan oleh informan maupun keterbatasan yang dimiliki oleh anak. ‘Filter dan variabel’ dari informan maupun anak akan mempengaruhi akurasi data yang didapat karena banyak sekali faktor yang mempengaruhi. Salah satu faktor adalah konteks tempat atau lingkungan (environmental contingency).

 

Penguat (Reinforcement)

Teknik modifikasi perilaku yang paling umum adalah dengan menggunakan penguatan. Penguatan diberikan segera setelah suatu perilaku target dilakukan oleh subjek, dalam hal ini adalah siswa. Hal utama yang harus dipahami adalah, penguat adalah relatif bagi setiap siswa. Dengan demikian, siswa diberikan kesempatan untuk menentukan pilihan atas penguatan apa yang diinginkan oleh mereka. Daftar pilihan penguat tersebut berasal dari asesmen awal seperti yang dijelaskan sebelumnya. Pilihan tersebut diberikan oleh pengajar dalam daftar terbatas yang telah disediakan (Ohio State Department of Education. 2014).

Secara keseluruhan, ada empat tipe penguatan, yaitu mengalihkan diri (escape), perhatian (attention), otomatis, dan tangible. Escape sebagai penguat adalah sesuatu atau kesempatan yang memungkinkan seseorang untuk melarikan dirinya dari sesuatu yang tidak disenangi, merasa diperhatikan adalah suatu penguat, otomatis maksudnya adalah suatu penguat yang secara langsung dipersepsikan oleh si pelaku dan tangible adalah suatu benda atau materi yang dapat disentuh seperti pena, buku, pensil atau permen misalnya (Sarafino, 2012).

 

Dalam GBG, penguat yang digunakan pada umumnya berbentuk:

  1. Penguat Sosial (Social Reinforcers). Penguat sosial dapat dipahami sebagai suatu bentuk dari penguatan berupa pujian dan perhatian dari suatu lingkungan sosial. Perilaku target dapat muncul dan bertambah bila diikuti dengan pujian yang antusias, dan sebaliknya bila suatu perilaku tidak diikuti dengan pujian maka perilaku itu akan berkurang. Penguat sosial akan efektif bila ditunjukkan atau disampaikan secara psesifik pada perilaku target (Ohio State Department of Education. 2014; Becker, Bradshaw, Domitrovich dan Ialongo, 2013).
  2. Penguat Berupa Aktifitas. Pengajar dapat menjadikan suatu aktifitas menjadi sebuah penguat. Dalam panduan GBG Ohio (2014), mencontohkan kasus anak yang mengalami masalah yang sulit untuk tetap duduk di bangkunya saat guru menerangkan, yang mana ia ternyata suka menggambar di papan tulis. Guru dapat menjadikan hobi menggambarnya menjadi sebuah penguat dengan cara memberikan peraturan pada siswa bahwa ia boleh menggambar di papan tulis hanya bila siswa tersebut dapat duduk manis selama waktu yang ditentukan oleh guru.

Penguat berupa aktifitas juga dapat berupa waktu istirahat tambahan (Kleinman dan Saigh, 2011).

  1. Penguat Berupa Makanan. Makanan adalah penguat yang paling dasar dan umum digunakan sebagai penguat. Penguat dapat berupa permen, pizza, kue dll (Kleinman dan Saigh, 2011).
  2. Penguat Berupa Materi (Tangibel). Penguat berupa materi maksudnya adalah penguat yang berupa benda seperti mainan, pernak-pernik, alat-alat tulis, dll (Ohio State Department of Education, 2014).
  3. Penguat Berupa Token. Token atau ekonomi token adalah metode yang menggunakan sistem konsekuensi yang kompleks dan biasanya diterapkan dengan kelompok individu untuk berbagai perilaku sasaran. Ekonomi token secara umum cenderung dicoba digunakan untuk mengubah perilaku kelompok individu (bukan hanya satu orang), memodifikasi perilaku sasaran secara lebih luas dan menggunakan sistem konsekuensi yang relative kompleks (Sarafino, 2012). Sistem token dapat diberikan ketika suatu penguat tidak dapat diberikan secara langsung, tetapi dapat ditukarkan dengan penguat yang sebenarnya di waktu yang ditentukan (Ohio State Department of Education, 2014).
  4. Penguatan Berselang / Tertunda (Intermittent). Penguatan berselang menerapkan prinsip variabel rasio, yang dihitung berdasarkan jumlah respon atau perilaku target dan penguat diberikan tidak secara langsung (Miltenberger, 2012). Penguatan yang diberikan secara berselang atau tertunda membantu subjek untuk mempertahankan perilaku target meskipun program telah berhasil (Ohio State Department of Education, 2014).

BAB III

Rencana Program Good Behavior Game

 

  1. Pendahuluan
    • Tujuan

Program intervensi Good Behavior Game ini bertujuan untuk mengurangi perilaku siswa disruptif, agresif, dan siswa yang pemalu pada siswa kelas lima Sekolah Dasar

  • Definisi operasional Good Behavior Game

Program GBG berbentuk permainan yang berbentuki kompetisi tim untuk memperebutkan hadiah, hak istimewa dan suatu kegiatan khusus. Permaian berdasarkan skor terkecil yang dihitung berdasarkan jumlah cek kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh anggota tim. Terdapat tim pemenang harian dan mingguan.

  • Alat yang Dibutuhkan
    • Papan Skor dan Penghitung Waktu

Dapat dilihat di lampiran tabel

  • Hadiah (Reward)

Dapat dilihat di lampiran tabel

  • Formulir Data
  • Form data anggota kelas
  • Form data anggota tim
  • Form Baseline
  • Buklet catatan skor tiap anak
    • Stempel penanda skor
  • Keperilakuan yang Menjadi Fokus dan Peraturan untuk Tiap-tiap Perilaku
    • Berbicara di kelas atau gangguan suara, yaitu berbicara tanpa seizin guru, bernyanyi, bersiul, berteriak, dan atau membuat gangguan suara lainnya

Peraturan: “Kita akan belajar dengan hening”

  • Agresi atau mengganggu secara fisik, yaitu kontak fisik seperti memukul, menendang, mendorong, menjegal, menarik rambut, memiting, melemparkan sesuatu, mengambil dan merusak benda milik orang lain ataupun alat sekolah.

Peraturan: “Kita harus sopan dan baik kepada orang lain”

  • Meninggalkan tempat duduk, yaitu meninggalkan tempat duduk tanpa izin guru, termasuk berdiri, melompat atau berjalan-jalan di dalam ruangan kelas.

Peraturan: “Kita akan meninggalkan tempat duduk dengan izin”

  • Ketidakpatuhan, yaitu melanggar peraturan atau tidak patuh terhadap instruksi guru

Peraturan: “Kita akan mematuhi peraturan”

  • Komposisi Tim
  • Guru akan membagi kelas ke dalam kelompok tim kecil GBG. Tiap-tiap tim akan terdiri dari siswa dengan perilaku bermasalah yang jumlahnya seimbang (anak pengacau, agresif, terisolasi/pendiam,dll) . Kelas akan dibagi menjadi tiga kelompok.
  • Setiap kelompok tim anak menentukan siapa ketua kelompok mereka maupun berdasarkan atas tunjukan guru. Tugas ketua kelompok adalah menerima hadiah, meletakkan bintang pada papan skor, dan membantu guru dalam urusan keloompok masing-masing. Posisi ketua kelompok dapat digilir oleh masing-masing anggota tim.
  • Guru akan mencatat nama masing-masing anggota kelompok. Status keperilakuan tiap-tiap anak dipantau dalam form isian tepat di sebelah masing-masing nama.
  • Guru juga mencatat status keperilakuan kelompok sebagai sebuah tim.

 

  1. Prosedur
    • Baseline
  • Tiga minggu sebelum kegiatan dilakukan:
    • bagi kelas menjadi tiga kelompok. Pembagian ini belum diumumkan pada siswa.
    • Tempat duduk siswa diatur ulang berdasarkan kelompok yang telah dibentuk oleh guru. Pengaturan tempat duduk disesuaikan untuk memudahkan guru memantau siswa dalam pengumpulan data untuk GBG.
    • Peraturan perilaku kelas harus dibaca bersama-sama setiap paginya.
  • Dua minggu sebelum kegiatan:
    • Pengumpulan data baseline GBG dimulai. Guru menggunakan form baseline GBG. Guru mencatat tanda cek untuk waktu 10 menit pada masing-masing kelompok. (kegiatan ini jangan sampai diketahui oleh siswa)
    • Guru melakukan setidaknya satu kali sesi latihan sebelum mengadakan tiga sesi baseline per minggunya. Guru selanjutnya melakukan baseline selama dua minggu dan memiliki total ada enam sesi.
    • Peraturan perilaku kelas tetap dibaca di kelas setiap pagi.
  • Bila tim yang dibentuk (simulasi) oleh guru selalu gagal karena perilaku siswa yang mengganggu di dalam tim, maka tim harus dibentuk ulang.
    • Minggu Pertama
  • Guru akan menempelkan peraturan perilaku kelas di dinding kelas:
    • “Kita akan belajar dengan hening”
    • “Kita harus sopan dan baik kepada orang lain”
    • “Kita akan meninggalkan tempat duduk dengan izin”
    • “Kita akan mematuhi peraturan”
  • Guru akan menempelkan papan skor
  • Guru akan menempelkan daftar nama dan tim kelas

 

  • Hari I
  • Guru membagikan buklet GBG yang berisi peraturan kelas dan tata permainan
  • Mengumumkan akan melakukan game dengan waktu 10 menit setiap sesi pelajaran
  • Mengumumkan kelompok tim dan pembagian anggota
  • Guru membacakan ulang buklet yang telah dibagikan dan menjelaskan ulang tentang perilaku-perilaku yang dianggap melanggar, dan menyampaikan dampaknya pada papan catatan yang telah ditempelkan
  • Guru akan menyatakan secara verbal perilaku salah apa yang dilakukan oleh siswa, dan mencatat kesalahan tersebut di papan isian.
  • Guru mengumumkan bahwa setiap kelompok yang memperoleh empat tanda cek atau kurang selama 10 menit game dapat menang, dan semua tim dapat menang.
  • Guru menyampaikan bahwa tim yang menang akan memperoleh tanda J dalam bookletnya dan mendapat tanda bintang di papan skor di akhir sesi game.
  • Tim yang menang akan memperoleh hadiah secara langsung setelah sesi game berakhir.
  • Guru akan mengatur waktu 10 menit pada timer dan mengumumkan bahwa permainan dimulai.
  • Guru melanjutkan sesi pelajaran seperti biasa
  • Segera setelah perilaku salah terjadi, maka guru akan:
    • Menyatakan apa perilaku yang dianggap melanggar aturan (dengan suara normal)
    • Menyebutkan siapa siswa yang melakukan kesalahan
    • Memuji tim lain yang anggotanya berperilaku baik.
  • * Perlu menjadi perhatian: permaianan hanya berlaku untuk perilaku siswa di kelas, bukan untuk kegiatan akademik
  • Setelah sesi game 10 menit berakhir, guru meninjau jumlah tanda yang diperoleh oleh masing-masing tim. Menyebutkan persyaratan yang dibutuhkan oleh tim agar dapat menang, dan kemudian mengumumkan tim mana yang menjadi pemenang. Dan kemudian memberikan stempel J di buklet masing-masing siswa. (untuk siswa yang tidak hadir, diberi catatan keterangan absen)
  • Guru mencatat informasi dan data mengenai game dalam form harian dan bulanan.
  • Catatan mengenai waktu (mulai dan berakhir) game adalah penting.
  • Tanda bintang diletakkan oleh ketua tim pada papan skor. Ketua kemudian membagikan hadiah yang diperoleh pada semua anggotanya.

 

  • Hari II GBG
  • Papan skor hari sebelumnya, harus sudah bersih dari catatan hari sebelumnya
  • Guru mengumumkan bahwa mereka akan melakukan game lagi selama 10 menit, dengan tim yang sama dengan hari sebelumnya
  • Mengulangi peraturan perilaku kelas
  • Mengulangi persyaratan agar tim dapat menang
  • Guru menyampaikan bahwa game akan dilakukan selama seminggu dan di akhir minggu akan dihitung tim mana yang paling banyak menang, akan menjadi juara mingguan. Pemenang mingguan akan memperoleh hadiah berupa suatu hak istimewa (misal: jam istirahat tambahan)
  • Selanjutnya, game akan dimainkan sama persis dengan hari sebelumnya.

 

  • Penyelidikan Mingguan

Akan dilakukan penyelidikan GBG satu kali setiap minggunya, selama GBG dilakukan. Penyelidikan ini dilakukan tanpa sepengetahuan siswa dan dengan rentang waktu yang sama dengan GBG

 

  • Pemenang Mingguan
  • Tim yang paling banyak menang (harian) akan mendapatkan tanda J di sebelah papan skornya.
  • Mendapat hadiah berupa hak istimewa baik berupa jam istirahat tambahan, pesta popcorn, atau pesta makan pizza (Kleinman dan Saigh, 2011)
  • Tim yang tidak menang dibiarkan tetap tinggal di bangku dengan tenang, tanpa ada perhatian khusus dari guru
  • Guru mengisi data tim yang menang pada form pemenang mingguan dan menuliskan hadiah apa yang diterima.

 

  1. Prosedur GBG selama Setahun
    • Melanjutkan GBG setelah minggu pertama
  • Pada hari pertama di minggu ke-dua guru dan siswa bersama-sama meriviu perkembangan mereka dan kemudian mengumpulkan pendapat mereka tentang GBG
  • Para siswa kemudian memilih kembali apa hadiah mingguan untuk mereka sesuai dengan list hadiah yang telah disebutkan sebelumnya
  • Pada minggu-minggu awal, hadiah harus berupa tangible. Bila keseluruhan tim (3) secara bersamaan menang terus secara konsisten:
    • hadiah intangible dapat disertakan
    • waktu game dapat diperpanjang dari awalnya hanya 10 menit ke satu jam
    • bila konsistensi menang ke 3 tim tinggi maka guru dapat memulai game mulai dari awal jam sekolah (pagi) hingga akhir jam sekolah (sore) dan menyampaikan bahwa hadiah harian dapat siswa perolah di akhir sesi jam sekolah.

 

  • Bila ketiga tim tidak menang bersamaan secara konsisten

Guru dapat melakukan:

  • Membentuk ulang komposisi tim atau membentuk tim tambahan bila ternyata ada anak yang secara konsisten menjadi penyebab kalahnya suatu tim. Menyampaikan bahwa tim keempat yang baru adalah setara dan tidak memperoleh perhatian khusus.
  • Meninjau ulang jenis hadiah dan waktu pemberian hadiah. Perlakuan dapt berupa memperpendek rentang waktu game dan memberikan hadiah secara langsung ketika suatu perilaku target muncul (tidak ditunda).

 

 

 

 

 

 

 

 

Lampiran

            Form Asesmen

Nama Anak: …
Perilaku Bermasalah ABC Perilaku Target
Gangguan Suara

Berbicara di kelas atau gangguan suara, yaitu berbicara tanpa seizin guru, bernyanyi, bersiul, berteriak, dan atau membuat gangguan suara lainnya

Frekuensi   Belajar dengan tenang dan hening
Durasi  
Intensitas  
Anteseden  
Konsekuensi  
Analisis setting ekologis  
Agresifitas

Agresi atau mengganggu secara fisik, yaitu kontak fisik seperti memukul, menendang, mendorong, menjegal, menarik rambut, memiting, melemparkan sesuatu, mengambil dan merusak benda milik orang lain ataupun alat sekolah.

Frekuensi   sopan dan baik kepada siswa lain

(polite)

Durasi  
Intensitas  
Anteseden  
Konsekuensi  
Analisis setting ekologis  
 
Pemalu (shyness)

 

Frekuensi   Lebih aktif
Durasi  
Intensitas  
Anteseden  
Konsekuensi  
Analisis setting ekologis  
 
Meninggalkan tempat duduk tanpa izin guru

yaitu meninggalkan tempat duduk tanpa izin guru, termasuk berdiri, melompat atau berjalan-jalan di dalam ruangan kelas.

Frekuensi   Meninggalkan tempat duduk dengan izin guru
Durasi  
Intensitas  
Anteseden  
Konsekuensi  
Analisis setting ekologis  
       
Ketidakpatuhan

yaitu melanggar peraturan atau tidak patuh terhadap instruksi guru (response to teacher)

Frekuensi   –          mematuhi peraturan

–          respon pada instruksi guru

Durasi  
Intensitas  
Anteseden  
Konsekuensi  
Analisis setting ekologis  

 

            Daftar Nama dan Tim Kelas

Tim Anggota
1
2
3

 

            Form Data Ketua Tim

Tim Ketua Tim Bulan … Tanggal pergantian Ketua Tim yang Baru
Nama NIS WD RF Nama NIS WD RF
1
2
3

*WD: diisi cek bila ketua tim dipilih karena ia pemalu

*RF: diisi bila ketua tim diganti secara berkala

Form Baseline GBG

  Pemeriksaan
Minggu mulai Pemeriksaan 1 Pemeriksaan 2 Pemeriksaan 3
Tanggal
Waktu mulai
Waktu berakhir
Aktifitas selama game
Tim 1
Tim 2
Tim 3
Minggu mulai Pemeriksaan 1 Pemeriksaan 2 Pemeriksaan 3
Tanggal
Waktu mulai
Waktu berakhir
Aktifitas selama game
Tim 1
Tim 2
Tim 3

*aktifitas selama game: membaca, matematika, dll

 

            Papan Skor

Tim Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Juara Mingguan
1
2
3

 

 

 

 

Form Data GBG Bulanan

  Bulan
Minggu mulai Game 1 Game 2 Game 3 Penyelidikan
Tanggal
Waktu mulai
Waktu berakhir
Aktifitas selama game
Tim 1
Tim 2
Tim 3
Waktu pemberian hadiah
Hadiah
Reaksi terhadap hadiah
Tim pemenang mingguan
Hadiah pemenang mingguan
Minggu mulai Game 1 Game 2 Game 3 Penyelidikan
Tanggal
Waktu mulai
Waktu berakhir
Aktifitas selama game
Tim 1
Tim 2
Tim 3
Waktu pemberian hadiah
Hadiah
Reaksi terhadap hadiah
Tim pemenang mingguan
Hadiah pemenang mingguan

 

 

Hadiah GBG

Bulan I
Tangibel Intangibel
·         Permen ·         Jam istirahat tambahan
·         Stiker ·         Menonton kartun selama setengah jam
·         Pensil
·         Rautan
·         Buku mewarnai
·         Kartu bergambar
·         topeng
Bulan II
Tangibel Intangibel
·         cokelat ·         Jam istirahat tambahan
·         Stiker ·         Menonton kartun selama setengah jam
·         Spidol berwarna
·         Buku mewarnai ·         Mendengarkan cerita dari guru
·         Kartu bergambar
·         kelereng
Bulan III
Tangibel Intangibel
·         Sertifikat juara ·         Menempelkan gambar karya siswa di dinding kelas
·         Yoyo ·         Tim yang juara mendapat tepuk tangan dari seluruh kelas
·         Buku cerpen
·         boneka
Bulan III
Tangibel Intangibel
·         Piala juara bergilir ·         Memainkan game favorit siswa
·         stiker ·         Pelukan dari guru
·         Kartu bergambar ·         Berjabat tangan dengan kepala sekolah
·         Menempelkan karya siswa di mading sekolah
·         Jalan-jalan ke kebun binatang
Bulan IV – …
* disesuaikan dengan konteks dan keinginan siswa, dengan batas pertimbangan guru

 

* Hadiah harus berupa benda yang tangible pada minggu-minggu awal intervensi GBG.

 

Catatan:

Program ini mengikuti Panduan Program Good Behavior Game Departemen Pendidikan Negara Bagian Ohio, Amerika Serikat (Ohio State Department of Education. 2014) dengan penambahan dan penyesuaian konten.

 

 

 

 

Referensi

Becker.K.D., Bradshaw. C.P., Domitrovich.C., dan Ialongo.N.S. 2013. Coaching Teachers to Improve Implementation of the Good Behavior Game. Adm Policy Ment Health (2013) 40:482–493 DOI 10.1007/s10488-013-0482-8.

Daniel H. Tingstrom, Heather E. Sterling-Turner and Susan M. Wilczynski. 2006. The Good Behavior Game: 1969-2002. Behav Modif. 2006 30: 225. DOI: 10.1177/0145445503261165.

Flower.A., McKenna. J.W., Bunuan. R.L., Muething.C.S., dan Vega.R., 2014. Effects of the Good Behavior Game on Challenging Behaviors in School Settings. Review of Educational Research. DOI: 10.3102/0034654314536781.

Kimberly E. Kleinman dan Philip A. Saigh. 2011. The Effects of the Good Behavior Game on the Conduct of Regular Education New York City High School Students. Behav Modif. 2011 35: 95. DOI: 10.1177/0145445510392213

Miltenberger. R.G. 2012. Behavior Modification: Principles and Procedures, 5th ed. Belmont: Wadsworth.

Nelson. J.R. & Roberts. M.L., 2000. Ongoing Reciprocal Teacher-Student Interactions Involving Disruptive Behaviors in General Education Classrooms. Journal of Emotional and Behavioral Disorders. DOI: 10.1177/106342660000800104.

Ohio State Department of Education. The Good Behavior Game Manual. 2014. Diunduh 27 Juni 2014:13.39. https://education.ohio.gov/ getattachment/Topics/Other-Resources/School-Safety/Building-Better-Learning-Environments/Promote-Pro-Social-Behavior/Good-Behavior-Game-Manual.pdf.aspx.

Ramsay. M.C., Reynolds. C.R. & Kamphaus. R.W. 2002. Essentials of Behavioral Assessment. New York: Wiley&Sons.

Sarafino. E.P. 2012. Applied Behavior Analysis: principles and procedures for modifying behavior. Hoboken: Wiley & Son.

 

Hubungan Penggunaan Facebook dengan Narsisme, Self-Esteem dan Kesepian pada Remaja di Indonesia

Posted by kurniadhani on July 07, 2015
Psikologi Teknologi (Media), Uncategorized / No Comments

oleh:

Kurnia Rahmad Dhani

 

Abstrak

Mini-riset ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan penggunaan media sosial facebook dengan tingkat narsisme, self-esteem dan kesepian pada remaja di Indonesia. Data diperoleh dari kuesioner online yang melibatkan 52 orang responden mahasiswa S1 selama April dan Mei 2015. Hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara keseluruhan penggunaan facebook dengan narsisisme, dan secara khusus menunjukkan bahwa skor facebook menyatu dengan kegiatan sehari-hari dengan narsisisme berkorelasi positif dan signifikan; tidak ada korelasi signifikan antara keseluruhan penggunaan facebook dengan self-esteem namun secara khusus walaupun tidak signifikan, komponen waktu menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara waktu dengan self-esteem; selanjutnya, penggunaan facebook dengan kesepian tidak terbukti memiliki hubungan yang signifikan, namun menarik untuk diperhatikan bahwa korelasi terjadi secara negatif.

Kata Kunci facebook, narsisme, self-esteem, kesepian, remaja

 

Latar Belakang

Perkembangan teknologi berupa internet memunculkan beragam ruang untuk berinteraksi baik melalui surat elektronik, blog, maupun media sosial dan masih banyak lagi. Media sosial sendiri merupakan suatu kumpulan aplikasi berbasis internet yang memungkinkan para penggunanya untuk saling berkomunikasi, berbagi konten, menjalin relasi, membangun bisnis, membentuk opini publik, menggalang aksi charity hingga membuat destruksi.

Penggunaan media sosial telah banyak menjadi perhatian para peneliti dan terbukti sangat berhubungan baik dengan ekspresi diri (self expressions), pembentukan diri (self creating /self forming) (Takahashi, 2010) hingga kesejahteraan subjektif penguna (Kim, Chung & Anh, 2014). Selain itu, penggunaan media sosial terbukti berkaitan dengan ciri sifat dan kepribadian tertentu seperti narsisistik (Buffardi & Campbel, 2008; Ahn, Kwolek & Bowman, 2015), self-esteem (van Zalk, Branje, Denissen, van Aken & Meeus, 2011) dan kesepian (Bian & Leung, 2015; Yang& Brown, 2013; Sharabi & Margalit, 2011).

Salah satu aktivitas yang dapat dilakukan di media sosial adalah menulis, baik itu menulis tentang diri sendiri maupun mengenai berbagai hal. Para pengguna dapat menggunakan fitur catatan atau yang paling biasa dan paling sering digunakan yaitu kolom status. Menulis tentang diri sendiri dalam media sosial merupakan suatu cara dalam memahami diri sendiri maupun membentuk hubungan dengan orang lain. Menulis dalam media sosial merupakan aktivitas yang lebih dari sekedar ekspresi sifat narsisistik atau hanya sekedar alat berkomunikasi dengan orang lain karena menulis tentang diri sendiri (self-writing) merupakan sebuah tindakan dalam proses pembentukan diri (self-forming) (Sauter, 2014).

Media sosial sangatlah beragam, sebut saja facebook, twitter, google-plus, instagram, pinterest, dan masih banyak lagi. Diantara semua media sosial tersebut, facebook adalah media sosial yang masih menempati tempat teratas dibanding lainnya dengan rata-rata 936 juta pengguna seluruh dunia perhari pada bulan Maret 2015 (http://newsroom.fb.com/company-info/). Jumlah pengguna Facebook di Indonesia sampai dengan bulan Juni 2014 sudah mencapai angka 69 juta anggota (http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150327061134-185-42245/berapa-jumlah-pengguna-facebook-dan-twitter-di-indonesia/). Meskipun mengalami kemunduran jumlah pengguna karena mulai tersaingi oleh aplikasi media sosial lainnya (http://www.republika.co.id/berita/trendtek/aplikasi/15/02/11/ njlqvx-mulai-jenuh-facebook-kehilangan -100-juta-pengguna-aktif), jumlah pengguna facebook yang masih sangat besar ini patut menjadi sasaran penelitian yang lebih lanjut.

 

Narsisme

Penggunaan media sosial sangat berkaitan erat dengan tingkat narsisistik seseorang. Penelitian Wang & Stefanone (2013) menunjukkan bahwa ciri kepribadian tertentu seperti narsisistik dan ekstraversi dapat mempengaruhi strategi pengungkapan diri para pengguna facebook yaitu secara selektif mengungkapkan lokasi fisik pada audiensnya (jejaringnya) dalam facebook. Hal ini diakibatkan oleh perkembangan teknologi komunikasi yang mobile, yaitu hubungan sosio-spasial telah menjadi suatu faktor yang esensial dalam artikulasi pengungkapan informasi dan identitas.

Kepribadian narsisisik diekspresikan dalam jejaring sosial dan juga sebaliknya, dipersepsikan dari jejaring sosial. Perilaku narsisistik dalam media sosial serupa dengan bagaimana perilaku tersebut di dunia nyata atau off-line (Buffardi & Campbel, 2008). Narsisme adalah sifat kepribadian yang merefleksikan waham kebesaran (grandiose) dan konsep diri yang melambung. Secara khusus, perilaku narsisistik berhubungan dengan pandangan diri yang positif dan meninggi pada sifat-sifat tertentu seperti inteligensia, kekuatan, dan daya tarik diri (Buffardi & Campbel, 2008). Narsisisme grandiose berhubungan positif dengan penggunaan media sosial khususnya facebook, yaitu di mana semakin tinggi tingkat narsisisme maka semakin tinggi pula ketertarikan dan aktivitas dalam facebook (Walters & Horton, 2015).

Hipotesis yang pertama adalah, narsisme akan berkorelasi positif dengan penggunaan facebook.

 

Self Esteem

Self esteem didefinisikan sebagai perasaan seseorang pada nilai diri (self-worth), atau sebesar apa seseorang menilai, menerima, mengapresiasi, menghargai maupun menyukai dirinya sendiri (Hills, Francis, Jennings, 2011). Self-esteem tidak selalu menggambarkan tujuan kemampuan maupun talenta seseorang, atau bahkan bagaimana seseorang dievaluasi oleh orang lain. Selain itu, self esteem pada umumnya dionseptualisasikan sebagai “perasaan bahwa diri seseorang cukup baik”, dan dengan demikian seseorang yang memiliki self esteem yang tinggi tidak merasa perlu untuk merasa bahwa dirinya lebih superior dari orang lain. Dengan demikian, self-esteem melibatkan perasaan penerimaan diri dan menghormati diri sendiri, berkebalikan dengan seseorang dengan pengormatan-diri yang eksesif maupun keagungan diri (self-aggrandizement) yang merupakan karakteristik individu narsisistik (Orth & Robin, 2014).

Seseorang yang memiliki tingkat self-esteem yang rendah cenderung sering meng-update status mengenai pasangan romantis. Mereka dengan tingkat narsisisme yang tinggi menggunakan facebook untuk mencari perhatian (attention-seeking) dan pengakuan (validation), menjelaskan kecenderungan mereka yang tinggi untuk memperbaharui (update) status mereka mengenai apa saja pencapaian mereka, apa makanan mereka dan latihan rutin mereka (Marshall, Lefringhausen & Ferenczi, 2015)

Hipotesis yang ke-dua adalah, self-esteem akan berkorelasi negatif dengan penggunaan facebook.

 

Kesepian / Loneliness

Satu dari empat orang menderita kesepian (Perlman, 1988). Penelitian Bian & Leung (2015) mengungkap bahwa semakin tinggi tingkat kesepian dan perasaan malu (shyness) maka semakin tinggi kecenderungan seseorang akan ketagihan pada penggunaan ponsel pintar, termasuk pada penggunaan aplikasi media sosial. Kesepian merupakan suatu fenomena unik dan multidimensional yang merepresentasikan sejauh mana seseorang mempersepsikan bahwa lingkaran sosialnya yang lebih sempit atau kurang memuaskan dibanding yang mereka harapkan (Betts & Bicknell, 2011). Perasaan kesepian tidaklah sama dengan kondisi sedang sendiri, tetapi lebih pada melibatkan perasaan terisolasi, perasaan terpisah (disconnectedness), dan perasaan tidak memiliki. Perasan tersebut merepresentasikan adanya ketidaksesuaian antara suatu kondisi yang diharapkan dan kondisi hubungan aktual seseorang (Hughes, Waite, Hawkley & Cacioppo, 2004). Secara khusus, penggunaan facebook untuk alasan kompensasi keterampilan sosial (social skills compensation reasons) menghasilkan perasaan kesepian yang terus menerus (Teppers, Luyckx, Klimstra & Goossens, 2014)

Hipotesis yang ke-tiga adalah bahwa tingkat kesepian akan berkorelasi positif dengan penggunaan facebook.

 

Metode

Partisipan

Mini-riset ini dilakukan dengan melibatkan 50 orang mahasiswa S1 pengguna aktif facebook.

 

Desain dan Prosedur

Partisipan diberi informasi mengenai tujuan studi. Partisipan melengkapi kuesioner (self-report measure) yang mengukur self-esteem, narsisisme dan kesepian setelah mereka setuju untuk berpartisipasi sebagai partisipan dalam studi yang diadakan secara online. Kuesioner menggunakan aplikasi survey online Universitas Gadjah Mada (survey.ugm.ac.id) dengan alamat: http://survey.ugm.ac.id/index.php?sid=16335&lang=id. Hanya kuesioner yang terisi penuh yang terpilih untuk dianalisis lebih lanjut.

Pengumpulan data dilakukan mulai 2015-04-20 20:29:26 hingga 2015-05-31 11:53:28.

 

Pengukuran

Penggunaan Facebook. Mini-riset ini menggunakan tujuh belas aitem pertanyaan untuk mengukur intensitas penggunaan facebook yang diadaptasi dari Skala Intensitas Penggunaan Facebook (Ellison, Steinfeld dan Lampe, 2007). Skala ini untuk melihat keaktifan individu dalam facebook, sejauh mana individu terikat secara emosional (sikap keseluruhan terhadap facebook) dan sejauh mana facebook menyatu dengan kegiatan individu sehari-hari (sikap keseluruhan terhadap status facebook). Respon diberikan dalam bentuk skala Likert 5 poin (1 = sangat tidak setuju dan 5 = sangat setuju). Untuk mengukur penggunaan facebook riil, partisipan diminta untuk melengkapi pertanyaan mengenai intensitas penggunaan (memperbaharui status) dalam rentang satu minggu (0, 1-5, 6-10, 11-15, 16-20 dan >20), berapa lama waktu yang dihabiskan dalam facebook (10, 10-30, 31-60 menit, 1-2, 2-3, >3 jam), jumlah teman (<11, 11-50, 51-100, 101-150, 151-200, 201-200, 251-300, 301-400, >400).

Self-Esteem. Skala Self-Esteem Rosenberg (SES – Rosenberg, 1965) digunakan untuk mengukur self-esteem. Skala ini berisi 10 aitem dengan respon skala 4 poin (1 = sangat tidak setuju dan 4 = sangat setuju) di mana skor tinggi menunjukkan self-esteem yang tinggi. RSIS merupakan pengukuran self-esteem yang paling banyak digunakan dewasa ini (Sinclair, Blais, Gansler, Sandberg, Bistis & LoCicero, 2010).

Narsisisme. Narsisisme diukur dengan menggunakan 16 aitem Narcissistic Personality Inventory – 16 (NPI-16 Ames, Rose dan Anderson, 2006).

Loneliness. Kesepian atau loneliness diukur dengan menggunakan Three Item Loneliness Scale yang merupakan versi singkat dari Revised UCLA Loneliness Scale (R-UCLA – Hughes, Waite, Hawkley & Cacioppo, 2004). Skala ini berisi tiga aitem dengan respon 4 poin (1 = tidak pernah dan 4 = sering sekali).

 

Hasil

Hipotesis diuji dengan menggunakan korelasi Pearson dalam perangkat lunak SPSS. Level signifikansi statistik yang digunakan adalah sebesar 0.05. Statistik deskriptif dikalkulasikan untuk mengevaluasi data demografik dan mengevaluasi trend dalam penggunaan facebook. Dalam hal waktu yang dihabiskan dalam facebook, diperoleh mean score sebesar 2.23 (SD=1.89), yang mengindikasikan bahwa partisipan menghabiskan kira-kira 1 jam perhari dalam facebook. Dari rerata jumlah teman, diperoleh mean score 7.83 (SD=0.71) yang mengindikasikan bahwa partisipan memiliki teman lebih dari 400 orang. Dalam hal jumlah memperbaharui status, diperoleh mean score 0.77 (SD=0.96), yang mengindikasikan bahwa partisipan memperbaharui status mereka kira-kira 1-5 kali dalam seminggu.

Korelasi Pearson dikalkulasi untuk mengevaluasi hipotesis.hasil analisis korelasional antara keseluruhan penggunaan facebook dengan konstrak narsisisme, self-esteem dan kesepian disajikan pada tabel berikut.

Tabel 1. Korelasi antar komponen Penggunaan Facebook dengan konstrak Nasisisme, Self-esteem dan Kesepian

Narsisime Self-esteem Kesepian
Teman .141 .106 -.177
Waktu .059 -.221 -.003
Update .200 .069 -.089
Kedekatan emosional thd facebook .173 .154 -.023
Seberapa menyatu facebook dengan kehidupan sehari-hari .318* .273* -.118
* = P<0.05

 

Tabel 2. Korelasi antara Keseluruhan Penggunaan Facebook dengan konstrak Narsisisme, Self-esteem dan Kesepian

Narsisisme Self-esteem Kesepian
Penggunaan Facebook .292* .125 -.134
Narsisisme .317* .036
Self-esteem .260
N=52* = P<0.05

 

Hipotesis yang pertama adalah, narsisme akan berkorelasi positif dengan penggunaan facebook. Sebagaimana diprediksi sebelumnya, terdapat hubungan positif yang signifikan antara penggunaan facebook dengan narsisisme (r=0.292, p<0.05). Dengan demikian, semakin tinggi penggunaan facebook seseorang, semakin tinggi pula narsisismenya. Secara khusus, skor sejauh mana facebook menyatu dengan kegiatan individu sehari-hari berkorelasi secara signifikan dengan facebook (r=.318, p<0.05), yang mengindikasikan bahwa facebook menyatu secara signifikan dengan kegiatan sehari-hari partisipan yang narsisis.

Hipotesis yang ke-dua adalah, self-esteem akan berkorelasi negatif dengan keseluruhan penggunaan facebook. Hipotesis tidak terbukti karena hasil menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara keseluruhan penggunaan facebook dengan self-esteem (r=0.125, p>0.05). Akan tetapi perlu diperhatikan lebih lanjut bahwa secara khusus walaupun tidak signifikan (r= -0.221, p>0.05), komponen waktu menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara waktu dengan self-esteem yang mengindikasikan bahwa orang dengan self-esteem tinggi cenderung menghabiskan waktu lebih sedikit dalam facebook.

Hipotesis yang ke-tiga adalah bahwa tingkat kesepian akan berkorelasi positif dengan penggunaan facebook. Hipotesis tidak terbukti karena hasil menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan facebook dengan kesepian. Namun demikian, perlu diperhatikan lebih lanjut bahwa nilai korelasinya menunjukkan sebaliknya yaitu korelasi terjadi secara negatif (r= -0.134) yang mengindikasikan bahwa semakin tinggi penggunaan facebook maka semakin rendah kesepian seseorang.

 

Kesimpulan dan Diskusi

Kembali pada pertanyaan penelitian, kita memperoleh bukti bahwa sesuai prediksi hipotesis pertama, terdapat hubungan positif yang signifikan antara keseluruhan penggunaan facebook dengan narsisisme dan secara khusus menunjukkan bahwa skor facebook menyatu dengan kegiatan sehari-hari dengan narsisisme berkorelasi positif dan signifikan.

Hasil menunjukkan bahwa tidak ada korelasi signifikan antara keseluruhan penggunaan facebook dengan self-esteem. Akan tetapi perlu diperhatikan lebih lanjut bahwa secara khusus walaupun tidak signifikan, komponen waktu menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara waktu dengan self-esteem yang mengindikasikan bahwa orang dengan self-esteem tinggi cenderung menghabiskan waktu lebih sedikit dalam facebook.

Penggunaan facebook dengan kesepian tidak terbukti memiliki hubungan yang signifikan, namun menarik untuk diperhatikan lebih lanjut bahwa korelasinya menunjukkan arah sebaliknya yaitu korelasi terjadi secara negatif, yang mengindikasikan bahwa semakin tinggi penggunaan facebook maka semakin rendah kesepian seseorang. Penelitian-penelitian sebelumnya memang menyarankan bahwa hubungan antara penggunaan facebook dan kesepian berkorelasi secara positif di mana orang yang kesepian akan menggunakan facebook secara lebih banyak dan bermakna negatif. Akan tetapi, arah hubungan yang negatif ini dapat kita pahami melalui penelitian Ellison et al. (2007), yaitu bahwa facebook membantu memelihara hubungan seseorang sebagaimana halnya pada komunitas offline. Media sosial seperti facebook memfasilitasi dengan cara yang sama dengan komuitas offline misalnya ketika siswa satu sekolah yang telah menjadi alumni tetap menjaga hubungan dengan teman-teman mereka secara online di media sosial. Dengan demikian, penggunaan media sosial seperti facebook dapat mendukung siapa saja untuk menjaga suatu ikatan atau hubungan.

Penelitian mengenai tingkat narsisme, self-esteem dan kesepian pada media sosial harus diperluas lagi pada media-media sosial lain untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif. Media sosial seperti facebook diyakini saat ini mulai mengalami masa penurunan jumlah pengguna karena kemunculan berbagai media sosial lain seperti Instagram, Tumblr dan lain-lain (http://www.republika.co.id/berita/trendtek/aplikasi/15/02/11/njlqvx-mulai-jenuh-facebook-kehilangan-100-juta-pengguna-aktif). Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan media-media sosial yang berbeda secara simultan.

 

 

Referensi:

Ahn, H., Kwolek, E.A., & Bowman,N.D., 2015. Two faces of narcissism on SNS: The distinct effects of vulnerable and grandiose narcissism on SNS privacy control. Computers in Human Behavior 45 (2015) 375–381. http://dx.doi.org/10.1016/j.chb.2014.12.032

Ames, D.R., Rose, P. & Anderson, C.P., 2006.

Betts, L.R., & Bicknell, A.S., 2011. Experiencing Loneliness in Childhood: Concequences for Psychosocial Adjustment, School Adjustment, and Academic Performance dalam Bevin, S.J. (ed), 2011. Psychology of Loneliness: Psychology of Emotions, Motivations and Action. New York: Nova Science Pub.

Bian, M., & Leung, L., 2015. Linking loneliness, shyness, smartphone addiction symptoms, and patterns of smartphone use to social capital. Social Science Computer Review 2015, Vol. 33(1) 61-79. DOI: 10.1177/0894439314528779

Buffardi, L.E. & Campbell, W.K., 2008. Narcissism and Social Networking Web Sites. PSPB, Vol. 34 No. 10, October 2008 1303-1314. DOI: 10.1177/0146167208320061

Cnnindonesia. 2015. http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150327061134-185-42245/berapa-jumlah-pengguna-facebook-dan-twitter-di-indonesia/ diakses pada 13 Juni 2015 pukul 09:42

Ellison, N.B., Steinfield, C. & Lampe, C., 2007. The Benefits of Facebook ‘‘Friends:’’ Social Capital and College Students’ Use of Online Social Network Sites. Journal of Computer-Mediated Communication. doi:10.1111/j.1083-6101.2007.00367.x

Facebook. 2015. http://newsroom.fb.com/company-info/. diakses pada 7 Juli 2015 pukul 04:21

Hils, P.R., Francis, L.J., Jennings. P., 2011. The Shool Short Form Coopersmith Self-Esteem Inventory: Revised and Improved. Canadian Journal of School Psychology 26(1) 62–71 26(1) 62–71

Hughes, M.E., Waite, L.J., Hawkley, L.C. & Cacioppo, J.T., 2004. A Short Scale for Measuring Loneliness in Large Surveys: Results from Two Population-Based Studies. Research on Aging, Vol. 26 No. 6, November 2004 655-672. DOI: 10.1177/0164027504268574

Kim, J.Y., Chung, N., & Ahn, K.M., 2014. Why people use social networking services in Korea: The mediating role of self-disclosure on subjective well-being. Information Development 2014, Vol. 30(3) 276–287. DOI: 10.1177/0266666913489894

Marshall, T.C., Lefringhausen, K. & Ferenczi, N., 2015. The Big Five, self-esteem, and narcissism as predictors of the topics people write about in Facebook status updates. Personality and Individual Differences 85 (2015) 35–40 http://dx.doi.org/10.1016/j.paid.2015.04.039

Orth, U. & Robins, R.W., 2014. The Development of Self-Esteem. Current Directions in Psychological Science 2014, Vol. 23(5) 381–387. DOI: 10.1177/0963721414547414

Perlman, D., 1988. Loneliness: A life-span, family perspective dalam R. M. Milardo (Ed.), Families and social networks. Newbury Park, CA: Sage.

Republika, 2015. http://www.republika.co.id/berita/trendtek/aplikasi/15/02/11/njlqvx-mulai-jenuh-facebook-kehilangan-100-juta-pengguna-aktif. diakses pada 29 Juni 2015 pukul 22.00

Sauter, T., 2014. What’s on your mind? Writing on Facebook as a tool for self-formation. new media & society, Vol. 16(5) 823–839 DOI: 10.1177/1461444813495160

Sharabi, A & Margalit, M., 2011. The Mediating Role of Internet Connection, Virtual Friends, and Mood in Predicting Loneliness Among Students With and Without Learning Disabilities in Different Educational Environments. Journal of Learning Disabilities
44(3) 215–227. DOI: 10.1177/0022219409357080

Sinclair, S.J., Blais, M.A., Gansler, D.A., Sandberg, E., Bistys, K., & LoCicero, A., 2010. Psychometric Properties of the Rosenberg Self-Esteem Scale: Overall and Across Demographic Groups Living Within in the United States. Evaluation & the Health Professions
33(1) 56-80. DOI: 10.1177/0163278709356187

Takahashi, T., 2010. MySpace or Mixi? Japanese engagement with SNS (social networking sites) in the global age. new media & society 12(3) 453–475. DOI: 10.1177/1461444809343462

Teppers, E., Luyckx, K., Klimstra, T.A. & Goossens, L., 2014. Loneliness and Faceboo k motives in adolescence : A longitu dinal inquiry into directionality of effects. Journal of Adolescence 37 (2014) 691–699. http://dx.doi.org/10.1016/j.adolescence.2013.11.003

Toma, C.L., & Hancock, J.T., 2013. Self-Affirmation Underlies Facebook Use. Personality and Social Psychology Bulletin 39(3) 321 –331 DOI: 10.1177/0146167212474694

Van Zalk, M.H., Branje, S.J., Denissen, J., van Aken, M.A., & Meeus, W.H., 2011. Who benefits from chatting, and why? The roles of extraversion and supportiveness in online chatting and emotional adjustment. Personality and Social Psychology Bulletin 37(9) 1202–1215. DOI: 10.1177/0146167211409053

Walters, N.T. & Horton, R., 2015. A diary study of the influence of Facebook use on narcissism among male college students. Computers in Human Behavior 52 (2015) 326–330. http://dx.doi.org/10.1016/j.chb.2015.05.054

Wang, S.S & Stefanone, M.A., 2013. Showing Off? Human Mobility and the Intyerplay of Traits, Self-Disclosure, and Facebook Check-ins. Social Science Computer Review. 31(4) 437-457. DOI: 10.1177/0894439313481424

Yang, C & Brown, B., 2013. Motives for using facebook, patterns of facebook activities, and late adolescents’ social adjustment to college. J Youth Adolescence (2013) 42:403–416. DOI 10.1007/s10964-012-9836-x

Psychology of Cybercrime

Posted by kurniadhani on November 15, 2014
Uncategorized / No Comments

Teknologi merupakan “perpanjangan” indra dan lebih jauh lagi merupakan “perluasan” realitas manusia. Perkembangan teknologi yang kita saksikan, mulai dari jaman Guttenberg hingga internet, merevolusi cara-cara tradisional kita dalam berinteraksi. Sebagaimana lingkungan tradisional, internet sebagai teknologi berinteraksi yang terbaru, membuka jalan ke arah positif dan negatif. Kita tidak akan mempersoalkan sisi positif yang dibawanya, kali ini mari kita beri perhatian lebih pada sisi negatifnya: kriminalitas di dunia maya.

Donner, Marcum, Jennings, Higgins, & Banfield (2014) menjelaskan bahwa kemutakhiran teknologi internet tidak hanya mampu membuat perilaku kriminal yang telah ada di lingkungan tradisional sebelumnya (misalnya transaksi obat terlarang, pencurian, dll) menjadi dapat dilakukan melalui ruang lain, tetapi juga menciptakan serangkaian perilaku-perilaku antisosial yang baru (misalnya menciptakan dan menyebarkan malware) yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan sebelum adanya perkembangan teknologi ini. Dengan demikian, tak heran bila sejak awal perkembangan teknologi internet, berbagai perilaku menyimpang terkait komputer meningkat. Perilaku menyimpang itu beberapa diantaranya seperti hacking, pembajakan, cyberbullying, dan penggunaan akun tanpa izin.

Potensi kriminal yang sangat besar dalam dunia maya menarik minat banyak ahli dari berbagai disiplin keilmuan. Psikologi dan kriminologi merupakan beberapa diantaranya. Donner dkk (2014) menjelaskan bahwa studi-studi kriminalitas dalam dunia maya menggunakan beberapa teori mainstream yang digunakan dalam kriminologi untuk menjelaskan perilaku kriminal dunia maya, seperti teori kontrol diri, teori belajar sosial, dan teori aktivitas rutin. Meskipun masih sangat terbatas dalam menjelaskan kriminalitas di dunia maya yang sangat luas, teori-teori kriminologi tradisional berguna juga untuk menjelaskan cybercrime dan perilaku menyimpang online (online deviance) lainnya.

Donner dkk (2014) menjelaskan bahwa cybercrime secara luas dapat dipahami sebagai perilaku destruktif, pencurian, penggunaan secara illegal, tanpa izin memodifikasi atau mengopi informasi, program, aplikasi, peralatan maupn jaringan komunikasi. Secara sederhana, cybercrime merupakan segala bentuk perilaku online menyimpang yang menggunakan teknologi baik berupa komputer, telefon pintar, maupun perangkat lainnya.

 

Siapa saja dan apa saja yang mendorong perilaku ini?

 

Kategori Pelaku Cybercrime

Kejahatan dapat dilakukan di mana saja, tak terkecuali dunia cyber. Bagi ilmuwan psikologi dan kriminologi, adalah penting untuk memahami pola pikir psikologis seseorang terkait perilaku yang terintegrasi dengan pengalaman teknologi, sehingga dapat mencapai cara mitigasi maupun prevensinya.

Perilaku cybercrime dijelaskan oleh Rogers (2010) melalui kategori yang berupa kontinum taksonomis yang berkisar dari orang baru (novice) dan amatir yang berupa kenakalan biasa hingga tindakan terorisme besar. Kategori tersebut, yaitu:

  • Script Kiddies (SK), adalah individu dengan kemampuan teknis yang terbatas, tanpa benar-benar memahami apa dampak dari perilakunya. Faktor-faktor utama kategori ini adalah ketidakdewasaan (immaturity), peningkatan ego dan pencarian sensasi: efek adrenalin, memiliki rasa moralitas yang belum berkembang (dapat dilihat dari skala moralitas Kohlberg – hedonism instrumental naïf). Ciri yang kentara adalah kerap sesumbar atau pamer tentang eksploitasi yang mereka lakukan, mencari-cari perhatian hingga menyerang ego dari pihak lain.
  • Cyber-punks (CP), yaitu kelompok yang “memperluas” mentalitas punk ke dunia maya. Kelompok ini tidak memiliki rasa hormat dan tidak perduli pada wewenang, simbol-simbol dan norma-norma sosial. Dorongan utama perilaku mereka adalah kebutuhan atas pengakuan atau ketenaran dari rekan-rekan (peers) dan masyarakat. Demografi kategori ini didominasi oleh laki-laki berusia 12 hingga 18 tahun. Mereka telah memahami konsekuensi dari tindakan mereka pada pihak lain, tetapi masih kurang peduli karena konsekuensi atas diri mereka masih sangat ringan (misal, hanya ditampar bila tertangkap). Mirip dengan SK, kelompok ini juga memiliki rasa moralitas yang sangat rendah. Rasa takut bukan merupakan penghalang, karena status pernah ditangkap atau semakin sering tertangkap membuat mereka semakin bangga: identik dengan lencana kehormatan dan dapat mengangkat reputasi mereka sebagai pahlawan komputer bawah tanah (underground folk hero).
  • Hacktivist (H), yaitu istilah yang digunakan untuk individu ataupun kelompok yang melakukan perilaku menyimpang, tetapi dengan kamuflase semantik untuk menyamarkan tindakannya. Para pelaku cenderung membenarkan perilaku destruktifnya dengan label ‘pembangkangan publik’ dan pembenaran politik dan moral atas perilakunya. Data empiris menunjukkan bahwa moticasi politik merupakan dorongan yang tidak terlalu menentukan. Motif yang lebih mendasar adalah balas dendam, kekuasaan, keserakahan, pemasaran, atau perhatian media.
  • Thieves (T) termasuk kategori penjahat pada umumnya. Motivasi utamanya adalah perolehan finansial dan keserakahan. Target serangan kelompok kategori ini biasanya adalah kartu kredit dan rekening bank yaitu penipuan transfer bank dan penyalahgunaan nomer kartu kredit. Sejalan dengan kejahatan pencurian ini adalah pencurian identitas.
  • Virus Writers (VW), dimulai dari masa remja dan berkembang hingga menjadi kategori mantan pembuat (ex-writer) sejalan dengan perkembangan dan kedewasaan kognitif dan kronologisnya. Terdapat sensasi pada tantangan mental dan latihan akademik (belajar) pada proses pembuatan virus. Latihan akademik/intelektual terkait konsekuensi virus buatannya biasanya terjadi setelah virus itu tersebar luas. Sering kali, orang yang menyebarkan virus bukanlah orang yang memciptakannya. Orang yang menyebarkan virus memiliki karakteristik dan motivasi yang mirip dengan kelompok CP, yang menginginkan perhatian, pencarian sensasi, dan tidak takut sanksi.
  • Profressional (P) merupakan kelompok kategori yang paling elit dalam kelompok penjahat cyber, yang memiliki inteligensi kompetitif dan aktivitas yang abu-abu. Individu P ini dapat terlibat dalam penipuan tingkat tinggi hingga spionase korporat. Mereka akan menjual informasi dan property intelektual pada penawar tertinggi. Sangat sedikit informasi terkait kelompok klandestin ini karena mereka menggunakan anonimitas yang sangat ketat untuk menutupi aktivitasnya. Bagi kelompok ini, aktivitas ini merupakan sebuah pekerjaan dan mereka adalah benar-benar profesional.
  • Cyber-terrorist (CT) dapat berupa bagian dari militer atau paramiliter sebuah negara dan diposisikan sebagai tentara maupun sebaliknya sebagai pejuang pembebasan dalam medan perang dunia maya. Tujuan mereka sama seperti militer tradisional, yaitu untuk memenangkan pertempuran atau peperangan. CT menjalankan dua fungsi yaitu menyerang sistem pertahanan dan masyarakat musuh dan melindungi sistemnya sendiri dari serangan serupa dari pihak lawan.

 

Untitled

Taksonomi perilaku-perilaku cybercrime (Rogers, 2010)

 

Mengapa Pelaku Tertarik Melakukan Cybercrime?

Seseorang dapat tertarik untuk melakukan cybercrime secara sederhana dapat dipahami dari motivasi dasar sebagaimana telah saya jelaskan satu per satu di tiap kategori pelaku. Perilaku cybercrime secara lebih lanjut dapat dijelaskan secara teoritik melalui social learning theory, moral disengagement theory dan anonymity sebagaimana dijelaskan Rogers (2010) berikut:

Social Learning Theory

Proses belajar sosial bekerja dalam konteks struktur sosial, interaksi dan situasi. Perilaku kriminal merupakan sebuah fungsi dari variabel proses belajar sosial, khususnya penguatan/reinforcement. Mekanisme utama dalam belajar sosial adalah termasuk oenguatan diferensial dan peniruan (imitation). Definisi-definisi dalam lingkungan sosial seseorang dicapai dari belajar melalui imitasi dan observasional. Reinforcement capat berbentuk tangible dan intangible rewards berupa aktivitas itu sendiri, uang, atau reward sosial termasuk naiknya status dalam pergaulan sosialnya. Sejalan dengan waktu, imitasi tidak lagi penting karena yang menentukan perilaku selanjutnya adalah reinforcement atau konsekuensinya.

Pelaku cybercrime berasosiasi dengan pelaku lain yang memiliki opini yang mirip atas etika dan moralitas terkait perilaku menyimpangnya. Bagi para pelaku cybercrime, hubungan yang dimediasi oleh komputer (computer mediated communication – CMC) sama pentingnya dengan hubungan oleh orang biasa. Sebelumnya banyak penelitian yang mengungkap hal menarik mengenai para pelaku, seperti kurangnya keterampilan sosial yang dimiliki seperti komunikasi dan interaksi tatap muka. Tetapi penelitian selanjutnya kemudian mengungkapkan bahwa sebaliknya, para pelaku memiliki keterampilan sosial berbasis CMC yang lebih tinggi, yaitu “netiquette”, dibandingkan orang-orang yang tidak atau kurang familiar dengan CMC.

Sosialisasi dan relasi sesama (peer) tidak seallau terbatas pada CMC, tetapi juga terdapat kopi darat bersama (gathering). Pertemuan tersebut di Eropa adalah Chaos Computer Champ, Las Vegas dengan DEFCon dan Blackhat Briefings.

Individu dalam lingkungan komputer ‘bawah tanah’ sangat nyaman dalam dunia dengan interaksi non-tatapmuka. Banyak dari mereka yang memelihara pertemanan, terlibat dalam mentoring, yaitu membantu para pendatang baru atau ‘newbie’ untuk memahami teknologi dan perangkat lunaknya, dan beberapa diantaranya bahkan menemukan hubungan romantik. Banyak saluran di dunia maya yang digunakan sebagai ‘kafe’ virtual, yang dikunjungi, saling mempertukarkan kesenangan, berargumen, dan berbagi informasi. Saluran-saluran tersebut juga dapat digunakan untuk mengkoordinasikan serangan, memperdagangkan barang-barang haram, termasuk nomer kartu kredit dan informasi akun yang dicuri dan perilaku menyimpang lainnya.

CMC memungkinkan para penggunanya untuk berinteraksi satu sama lain serta membentuk lingkungan di mana reinforcement dan punishment dapat dilakukan. Karena komunitas CMC sangat signifikan bagi para penggunanya, opini dan reaksi komunitas akan mempengaruhi lanjut tidaknya keterlibatan individu pada perilaku kriminal. Reinforcement positif akan meningkatkan tendensi keterlibatan dan sebaliknya. Reinforcement positif adalah berupa pujian, dorongan, dan pencapaian status folk hero dalam komunitas. Punishment berupa pengasingan, pengacuhan, menutup arus informasi, dan mengunci saluran spesifik. Reinforcement dari dunia riil adalah ketika aksinya mendapat perhatian dari media atau masyarakat dan lain-lain, dan sebaliknya punishment yaitu ketika tidak mendapat perhatian atau apresiasi dari komunitasnya terkait aksinya.

 

Moral Disengagement – moral justification

Para pelaku cybercrime secara umum digambarkan sebagai modern Robin Hood, yang membawa fungsi bernilai dalam masyarakat. Banyak artikel, editorial dan wawancara dan halaman web yang mengklaim bahwa tanpa adanya para hacker, tidak aka nada keamanan ‘riil’ dalam dunia maya. Hacker yang diwawancarai berpendapat bahwa mereka bertindak sebagai ‘anjing penjaga’nya masyarakat, mempertahankan ‘mata waspada’ pada vendor tak bermoral dan pemerintahan tirani. Sayangnya, banyak masyarakat yang menerima retorik nilai permukaan cybercrime.

Bagi banyak generasi muda, cybercriminal telah menjadi role model yang aktivitasnya adalah untuk dicapai dan disaingi. Dengan demikian dapat kita pahami bagaimana ‘copycat’ atau para peniru semakin banyak sehingga trend dan frekuansi serangan cyber meningkat setiap tahunnya.

Media massa telah bertindak salah dengan menyamakan “hacker” ramah dengan pelaku cybercrime yang kejam. Definisi original hacker tidak memiliki hubungan secara langsung dengan tindakan kriminal dan istilah hacker tidak berbagi konotasi negatif dengan cybercrime. Konotasi yang dibuat oleh media massa ini membuat para pelaku cybercrime dapat bersembunyi di balik istilah hacker yang lebih netral.

Perilaku cybercrime merasa perlu untuk membenarkan tindakan menyimpang mereka. Hal ini dapat dipahami karena manusia biasanya tidak terlibat pada suatu tindakan tercela kecuali bila berhasil meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa tindakannya benar. Proses justifikasi moral membuat perilaku yang merusak menjadi terbebas secara personal dan secara sosial dapat diterima dengan cara menggambarkan tindakannya sebagai suatu pekerjaan sosial yang bernilai, atau memenuhi tujuan moral yang lebih tinggi.

Proses kompleks tersebut dapat dipahami melalui teori kognitif sosial Albert Bandura dan konsep pembebasan moral (moral disengagement). Berdasarkan teori kognitif sosial, manusia cenderung untuk menahan diri secara alamiah dari perilaku yang menyalahi standar moralnya dan memiliki perasaan bersalah dan kecaman pada diri sendiri (self-censure). Standar moral diperoleh dari agensi moral dan termanifestasi dalam mekanisme regulasi diri, yang terdiri dari tiga hal, yaitu pengawasan diri (self-monitoring), penilaian (judgmental), dan reaksi diri (self-reactive).

Menurut teori Bandura tersebut, seseorang dapat mengalahkan sistem regulasi diri dengan cara memisahkan kontrol moral internal dari perilaku merusak yang dilakukannya melalui empat mekanisme, yaitu:

  1. mengonstruksi ulang perilakunya (melalui bahasa dan label, dll);
  2. menyamarkan agen kausal personal atau mendistorsi antara perilaku dengan konsekuensinya. Cassidy, Faucher dan Jackson (2013) menjelaskan bahwa dunia cyber membuat penggunanya terlepas dari kontak emosional dan mengakibatkan deindividuasi. Hal ini kemudian mengakibatkan putusnya atau tumpulnya respons empatetik yang ditimbulkan dari rasa sakit yang diperbuat.;
  3. misrepresenting atau mengelirukan konsekuansi negatif dari perilakunya;
  4. menjelek-jelekkan atau menyalahkan atau menurunkan derajat korban.

 

Anonymity dan Social Control Theory

Perilaku cybercrime dapat dijelaskan melalui teori kontrol sosial terkait anonimitas. Teori ini menyatakan bahwa seseorang menahan diri dari perilaku kriminal atau menyimpang karena adanya kontrol sosial, termasuk norma kepatutan, hukum, polisi, dll. Ketika kontrol hilang, maka perilaku menyimpang akan naik. Di dunia riil, perilaku individual dimoderasi oleh identitas sosial yang merupakan bagian dari norma sosial dan moral kultural, sehingga perilaku lebih konservatif dan sejalan dengan toleransi sosial yang ada.

Penelitian pada perilaku online menemukan bahwa orang-orang berperilaku secara berbeda dalam cyberspace daripada di dunia riil. Individu cenderung untuk lebih agresif, kurang toleran, lebih sembarangan, dan opininya cenderung lebih terpolarisasi ke titik ekstrim dalam kontinum. Peneliti menghipotesiskan bahwa anonimitas cenderung memunculkan kepribadian yang terburuk pada diri individual ketika ia online, karena mereka yakin bahwa mereka anonymous dan dapat berpura-pura menjadi persona-persona samaran. Secara sederhana dapat kita pahami bahwa perilaku online merefleksikan diri individu yang sebenarnya dalam kondisi tanpa kontrol diri dan tanpa norma atau tekanan sosial.

 

 

Strategi untuk Menahan Perilaku Cybercrime: Prevensi dan Intervensi

Berikut adalah strategi untuk menahan perilaku destruktif di cyberspace (Rogers, 2010):

Cybercrime Laws

Secara psikologis, banyak pihak yang mengkritisi bahwa sistem legal merupakan tindakan reaktif dan kurang preventif, tetapi bila ditilik lagi sistem legal merupakan penghalang vikarius (vicarious deterrence) dengan penilaian hukuman yang tepat. Penghalang vikarius ini dipandang sebagai sebuah proses utama dalam mencegah seseorang untuk terlibat pada suatu perilaku kriminal karena mempertimbangkan sanksi yang akan diperoleh.

Beberapa kelemahan dari pendekatan legal adalah:

  • para perumus kebijakan itu sendiri. Kebanyakan politisi, hakim dan pengacara senior (fungsi yudikatif) adalah generasi pra-komputer. Miskinnya pengetahuan atas prinsip kerja dan keterampilan teknologi komputer mengakibatkan tumpulnya kebijakan yang dihasilkan, terlebih lagi perkembangan teknologi sangat cepat sepanjang waktu.
  • kita sebenarnya belum memiliki hukum yang kuat, jelas dan efektif untuk perilaku cybercrime. Bagi kategori pelaku SK dan CP (yang dominan di bawah usia 18 tahun) hukum tidak menjangkau mereka secara efektif, selain itu, orang tua maupun pengasuh pun tidak dapat dihukum atas perilaku yang dilakukan oleh anaknya.
  • Hukum dapat bekerja bila ada laporan pelanggaran dari korban. Banyak dari korban cybercrime enggan melaporkan kerusakan atau kerugian yang dialami. Kekhawatiran akan penilaian dari publik adalah alasan terbesar. Bagi perusahaan atau institusi ekonomi misalnya, bobolnya informasi korporat dapat berdampak pada penurunan tingkat kepercayaan publik dan berujung pada kredibilitas dan nilai saham.

 

Social Sanctions

Kata kunci dari pendekatan sanksi sosial adalah konsistensi. Masyarakat harus konsisten untuk memposisikan perilaku cybercrime sebagai perilaku yang tidak dapat diterima dan ditoleransi dalam masyarakat. Sebagaimana kriminal di dunia riil, seperti itulah masyarakat harus memposisikan pelaku cybercrime. Penolakan dan pengasingan (refusing and ostracizing) secara sosial dapat dilakukan. Strategi berdasarkan pendekatan ini dapat dilakukan melalui:

  1. berhenti memberikan perhatian bagi perilaku cybercrime, mengingat salah satu dorongan dasar pelaku adalah perhatian dan pengakuan (khususnya melalui media massa).
  2. Penerbit buku, berhenti menerbitkan buku panduan maupun tulisan tentang keberhasilan cybercrime yang ditulis oleh para pelaku. Banyak kita temukan kini buku panduan membuat virus atau cara membobol keamanan, menunjukkan inkonsistensi sanksi sosial.
  3. Melalui gerakan komunitas komputer (online community). Berikan penolakan dan opini tentang kerusakan/kerugian yang diakibatkan oleh perilaku cybercrime: sanksi sosial dalam lingkungan sosial cyber itu sendiri.
  4. Dengan pendekatan tradisional, di mana pelaku diminta (dipaksa) untuk menyaksikan dan memahami kerusakan yang diakibatkan oleh perilakunya. Penelitian tentang para pelaku kejahatan yang diminta untuk menyaksikan secara langsung kerusakan yang diakibatkan oleh perbuatannya, menunjukkan penurunan tingkat residivisme. Pendekatan ini dapat diterapkan dengan cara pelaku diminta untuk bertemu administrator sistem, turut merasakan bagaimana banyak usaha, waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk mengembalikan sistem seperti semula dan merasakan kerusakan dan kerugian dari terbukanya informasi yang dilindungi sistem tersebut.

 

Education

Kata sakti dari prevensi dari seluruh perilaku menyimpang: pendidikan. Efektivitas maksimal dari prevensi ini adalah pendidikan harus dilakukan selama masa kritis proses perkembangan individual, khususnya perkembangan moral masa remaja dan dewasa awal. Dalam tahun-tahun pembentukan tersebut, individu terbuka pada ide-ide, konse-konsep, dan pendekatan-pendekatan konstruktif yang menjadi “bibit” opini atas moralitas, etika dan benar-salah kelak.

Pendidikan yang diberikan harus terkait pada konsep-konsep sebagai berikut:

  1. Pemahaman tentang hubungan antara tindakan online dan cyberspace pada manifestasinya dalam dunia riil
  2. Mengembangkan bahwa moralitas dan etika cyber merupakan cerminan dan bagian dari moralitas dan etika dunia riil
  3. Internalisasi norma-norma sosial, kultural dan parental yang positif terkait penggunaan teknologi dan cyberspace.

 

Kesimpulan

Hingga kini, strategi yang diambil oleh masyarakat kita adalah berfokus pada pendekatan teknis berupa perlindungan perangkat lunak yang selalu diperbaharui (firewall), sistem deteksi pengacau atau penyusup, anti virus dan keamanan sandi yang kian ketat (password), hingga penciptaan hukum (cyberlaw) yang keras. Masyarakat kita telah lupa bahwa sumber semua masalah bukanlah teknologi, melainkan kita manusia, sebagai pencipta dan penggunanya.

 

 

 

Referensi

Donner. C.M., Marcum. C.D., Jennings. W. G., Higgins. G.E., & Banfield. J., 2014. Low self-control and cybercrime: Exploring the utility of the general theory of crime beyond digital piracy. Computers in Human Behavior 34 (2014) 165–172. ttp://dx.doi.org/10.1016/j.chb.2014.01.040

Cassidy. W., Faucher. C., Jackson., M. 2013. Cyberbullying among youth: A comprehensive review of current international research and its implications and application to policy and practice. School Psychology International. 34(6) 575–612.

Rogers. M.K. 2010. The Psyche of Cybercriminals: A Psycho-Social Perspective dalam Ghosh. S. & Turrini. E. (Ed). Cybercrimes: A Multidisciplinary Analysis. New York: Springer.

 

Hello world!

Posted by kurniadhani on October 07, 2014
Uncategorized / 1 Comment

Welcome to Wadah Aspirasi dan Kreasi Mahasiswa UGM Sites. This is your first post. Edit or delete it, then start blogging!