Developmental

Review: Menemukan Akar Perilaku Agresif Remaja

Posted by kurniadhani on October 29, 2014
Developmental / No Comments

 

Berikut adalah review jurnal penelitian mengenai perilaku agresif remaja, yang dilakukan oleh  Glowacz, Véronneau, Boët dan Born (2013).

 

Finding the roots of adolescent aggressive behaviour: A test of three developmental pathways

 

Abstrak

Penelitian ini meneliti tentang perilaku agresif remaja. Perilaku agresif remaja berasal dari masa perkembangan awal. Penelitian ini menguji tiga masa longitudinal yang dimulai dari masa anak-anak awal pada sampel 325 partisipan orang Belgia (162 diantaranya adalah anak perempuan), yang diuji setiap satu atau dua tahun dari lahir hingga usia 14 tahun. Model Structural equation mendukung asumsi “ketidakpuasan awal ibu” terhadap agresi remaja, tetapi fungsi kognitif dan perilaku agresif awal mendapatkan dukungan yang jelas. Ketidakpuasan awal ibu terhadap anaknya adalah titik awal dari seri persepsi negatif anak, yang memprediksikan agresi fisik dan sosialo anak pada orang dewasa. Temuan penelitian ini mengusulkan bahwa perkembangan normative oleh oleh orangtua dapat menambah persepsi ibu dalam pengalaman awalnya sebagai seorang ibu, pada anak mereka dan pada interaksi orang tua dan anak selanjutnya, yang dapat mengurangi perilaku agresif anak di masa yang akan datang.

 

Ketidakpuasan Awal Ibu dan Perilaku Anak

Beberapa prediktor dalam perilaku agresif remaja antara lain adalah Parenting atau pola asuh dan karakteristik individual seperti karakteristik kognitif. Penelitian ini memiliki rumusan masalah: Apakah laporan ibu tentang fungsi anak (laporan yang sangat tergantung pada persepsi ibu pada anaknya) berpengaruh pada faktor relasional yang berkontribusi pada perkembangan agresif remaja. Sehingga yang diuji adalah persepsi ibu atas anaknya, perilaku agresif dan fungsi kognitif anak.

 

Variabel Kontrol

Faktor lain yang juga mempengaruhi perilaku agresif remaja adalah tingkat pendidikan ibu. Pendidikan ibu sangat berpengaruh dalam hal, yaitu dalam strategi asuhan anak, strategi dalam koping stress, lebih efisien sebagai ibu dan memililiki tingkat kepuasan yang lebih baik dalam menerima perkembangan anaknya di setiap periode perkembangannya. Ibu dengan pendidikan yang lebih tinggi juga memiliki kemampuan dalam memberikan stimulasi lingkungan untuk perkembangan kognitif anak.

 

Metode

Penelitian ini berada pada konteks studi longitudinal yang disebut dengan “Grandir en l’an 2000 (Tumbuh di tahun 2000),” yang dimulai pada tahun 1989 oleh Departemen Pedagogi Eksperimental, Universitas Lie `ge, yang berlangsung di wilayah Lie` ge-Huy-Waremme. Semua tindakan diberikan di Perancis, bahasa pertama keluarga yang berpartisipasi dalam penelitian.

 

Partisipan

Terdapat 325 partisipan yang terlibat dalam penelitian ini, yaitu 163 anak laki-laki dan 162 anak perempuan.

 

Prosedur

Penelitian ini dilakukan secara longitudinal, mulai anak lahir hingga berusia 14 tahun. Ibu diwawancara di rumah mereka masing-masing setiap tahunnya.

 

Data dan Pengukuran:

  • Pendidikan ibu. 3.1% tidak menyelesaikan sekolah dasar,   9.2% menyelesaikan sekolah dasar saja, 18.5% hingga sekolah menengah, 20.3% diploma atau sekolah vokasi, 13.2% mencapai diploma dua dan lanjutan, 35.7% lulus dari program pendidikan tinggi. Pendidikan ibu diukur dengan skala Likert 6 poin yang mencakup tiap level edukasi.
  • Temperamen anak pada masa anak-anak awal. Data ini diperoleh dari laporan ibu atas perilaku anak, melalui dua item yang merefleksikan perilaku anak di malam hari seperti bangun di tengah malam dan adanya mimpi buruk.
  • Perilaku agresif anak. Variabel ini diukur menggunakan dua item pada laporan ibu mengenai dua tipe perilaku yang dieksternalisasi (agresif), berupa tindakan berteriak-teriak dan menghentak-hentakkan kaki ke lantai.
  • Ketidakpuasan awal ibu pada anak, mengukur tingkat kepuasan ibu atas karakteristik anak: dinasmis, rasa aman, ketenangan, temperamen, kepatuhan, keaktivan, afeksi dan agresifitas. Skala 1 diberikan untuk adanya indikasi ketidakpuasan, dan skor 0 diberikan untuk indikasi tidak adanya ketidakpuasan.
  • Persepsi ibu atas kesulitan interpersonal anak, yaitu perilaku dengan teman sebaya anak dan kemampuan kontrol diri anak. Ibu diberikan lima item yang menggambarkan perilaku anak seperti yang biasa mereka amati pada anak mereka sendiri. Item ini menggambarkan beberapa perilaku yang mungkin ditunjukkan anak-anak terhadap teman sebaya mereka dan kemampuan kontrol diri mereka dalam situasi antarpribadi (misalnya, mengganggu permainan anak-anak lain; memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam perkelahian). Setiap item dinilai pada skala Likert 4-poin mulai dari 0 (anak saya sama sekali tidak seperti ini), untuk 3 (anak saya sangat seperti ini).
  • Persepsi ibu atas perilaku anak yang bermasalah, yaitu berkaitan dengan norma, bahasa yang dipakai, perilaku oposisi dan ketidakpatuhan anak, agresi fisik pada orang lain maupun suatu objek. Menggunakan bahasa yang tidak pantas dengan saudara, teman, atau orang tua dinilai pada skala 3-point, dengan jawaban potensial termasuk pernah, kadang-kadang, atau sering
  • Persepsi ibu atas masalah konsentrasi anak, dengan menggunakan skala control diri kognitif, yang mengukur kemampuan kognitif anak, termasuk perhatian, evaluasi, perencanaan, dan pemecahan masalah. Masing-masing dinilai pada skala Likert 7 poin.
  • Intellectual Quotien (IQ) anak, diukur dengan menggunakan Weschler Preschool and Primary Scale of Intelligence-Revised yang didesai untuk anak usia 4-6 tahun.
  • Hambatan kognitif anak. Variabel ini diukur dengan menggunakan tes Stroop (Stroop, 1935), di mana peserta harus mengganti jawaban baru satu sama lain yang sebelumnya dipraktekkan dan membuat otomatis.
  • Fleksibilitas mental anak. Diukur dengan Trail Making Test, yaitu tes neuropsikologi perhatian visual dan beralih tugas. Hal ini membutuhkan anak-anak untuk menggunakan konsentrasi dan kemampuan mereka untuk memulai, mengintervensi, mengganggu kompleks, dan urutan perilaku berdasarkan tujuan.
  • Agresi fisik dan sosial anak. Peserta diminta untuk melaporkan tentang seberapa sering mereka telah terlibat dalam tiga kasus agresi sosial, termasuk mengolok-olok orang lain, menggunakan bahasa yang tidak pantas dengan orang lain, dan menyebarkan rumor, pada skala 3-point (tidak pernah, sekali atau dua kali, atau tiga kali atau lebih). Peserta juga diminta untuk melaporkan tentang seberapa sering mereka telah terlibat dalam empat kasus agresi fisik, termasuk menggunakan kekerasan untuk mengambil uang atau harta orang lain, berkelahi dengan satu atau beberapa orang, atau menggunakan senjata, pada skala 3-point (pernah , sekali atau dua kali, atau tiga kali atau lebih).

 

Hasil Penelitian

Agresifitas anak pada usia 22 bulan berkorelasi dengan persepsi ibu atas kesulitan interpersonal anak pada usia 5 tahun. Agresifitas anak pada usia 22 bulan berkorelasi dengan persepsi atas masalah kognitif dan perilaku anak pada usia 10 tahun. Persepsi ibu atas kesulitan interpersonal anak di usia 5 tahun berkorelasi dengan agresifitas fisik anak di usia 10 tahun. Dan IQ anak pada usia 5 tahun berkorelasi dengan agresifitas fisik anak di usia 10 tahun.

Pada tes efek tidak langsung, terdapat efek tidak langsung yang signifikan dari ketidakpuasan ibu pada anaknya (pada usia 22 bulan) terhadap agresifitas fisik anak pada usia 14 tahun, dan persepsi ibu atas kesulitan interpersonal anak pada usia 5 tahun terhadap masalah kognitif dan perilaku anak pada usia 10 tahun. Persepsi ibu juga memiliki efek tidak langsung yang signifikan terhadap agresifitas sosial anak di usia 14 tahun.

Penelitian ini kemudian juga membandingkan hasil antara anak-laki-laki dan anak perempuan. Dalam hal gender, anak laki-laki menunjukkan hambatan kognitif yang lebih rendah daripada anak perempuan. Ibu yang memiliki anak laki-laki memberikan persepsi yang lebih tinggi dalam hal perilaku bermasalah dan kesulitan berkonsentrasi daripada ibu yang memiliki anak perempuan. Ibu yang memiliki anak laki-laki melaporkan angka yang lebih tinggi pada perilaku anak yang menolak untuk tidur daripada ibu yang memiliki anak perempuan. Anak laki-laki memiliki fleksibilitas mental yang lebih rendah daripada anak perempuan. Selanjutnya anak laki-laki dilaporkan melakukan agresi fisik lebih tinggi daripada anak perempuan.

Komentar

Pola asuh orangtua terhadap anaknya merupakan salah satu prediktor perilaku agresif remaja dapat semakin kita pahami. Ketidakpuasan awal ibu atas anaknya (pada usia 22 bulan) berpengaruh pada perilaku agresif anak pada masa remaja (usia 14 tahun) telah dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Glowacz. F., M. Véronneau, S. Boët dan M Born (2013).

Sebagai sebuah kritik, salah satu hal yang luput dari penelitian ini adalah tidak adanya observasi yang mendalam mengenai hubungan antara persepsi ketidakpuasan awal ibu dengan perlakuan kongkrit ibu atas anaknya. Untuk mengetahui korelasi maupun efek dari kondisi perkembangan awal anak terhadap perilaku masa depan, tidak dapat dipahami dengan baik dan mendalam bila hanya mengandalkan laporan atas persepsi subjektif saja, tetapi lebih dari itu, harus dieksplorasi tindakan dan hubungan ibu-anak secara real.

Relasi ibu-anak pada masa awal kehidupan sangat krusial untuk perkembangan psikologis seseorang. Persepsi tentang ketidakpuasan awal ibu terhadap anaknya tentu saja berpengaruh baik secara langsung maupun tidak pada sikap dan perilaku ibu terhadap anaknya. Dengan adanya persepsi ketidakpuasan ini, seorang ibu dapat mengembangkan perilaku yang membuat anak merasa tidak nyaman bahkan aman terhadap ibunya sendiri. Perasaan tidak nyaman dan aman anak terhadap ibunya dapat membuat anak mengembangkan perasaan mis-trust anak (seperti dijelaskan teori Erikson) dan menciptakan adanya anxious-resistant yang membuat anak mudah mengalami kecemasan dan menolak (seperti dijelaskan oleh Ainsworth).

Pokok penelitian tersebut dapat kita pahami melalui perkembangan psikososial anak dalam teori Erikson (1950), yaitu trust versus mis-trust. Usia 22 bulan adalah tahapan psikososial pertama yang dialami anak dalam tahun pertama kehidupannya. Suatu rasa percaya menuntut perasaan nyaman secara fisik dan sejumlah kecil ketakutan dan kekhawatiran akan masa depan. Kepercayaan pada masa bayi mennetukan tahap bagi harapan seumur hidup bahwa dunia akan menjadi tempat tinggal yang baik dan menyenangkan. Dalam hal ini, Erikson yakin bahwa orangtua yang tanggap sangat peka dalam memberikan rasa percaya ini pada bayi. Hal senada juga dapat kita lihat dari pendapat Mary Ainsworth (1979) pada kelekatan anak. Kelekatan yang dipengaruhi oleh rasa aman dan kepercayaan dalam tahun pertama kehidupan memberikan suatu landasan yang penting bagi perkembangan psikologis kemudian hari dalam kehidupan bayi (dalam Santrock, 1995).

 

Kesimpulannya adalah, perkembangan psikologis anak yang sehat dapat dicapai melalui pola asuh orangtua yang baik. Orangtua dapat memberikan rasa aman dan stimulasi positif pada anak, sehingga anak dapat mengembangkan rasa percaya (trust) dan kelekatan yang aman (secure attachment) baik terhadap ibunya sendiri maupun lingkungannya kelak. Bila orangtua tidak dapat memberikan rasa aman dan stimulasi positif, maka anak dapat mengembangkan rasa kecemasan dan memiliki perkembangan psikologis yang tidak sehat, seperti perilaku agresif dan periaku maladaptif lainnya.

 

 

Referensi

Glowacz.F., Véronneau.M., Boët.S., dan Born,M.  2013. Finding the roots of adolescent aggressive behaviour: A test of three developmental pathways. International Journal of Behavioral Development. 22 May 2013 2013 37: 319

Santrock. J.W,. 1995. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. 5th ed. Jakarta: Erlangga.