Psikologi Teknologi (Media)

Hubungan Penggunaan Facebook dengan Narsisme, Self-Esteem dan Kesepian pada Remaja di Indonesia

Posted by kurniadhani on July 07, 2015
Psikologi Teknologi (Media), Uncategorized / No Comments

oleh:

Kurnia Rahmad Dhani

 

Abstrak

Mini-riset ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan penggunaan media sosial facebook dengan tingkat narsisme, self-esteem dan kesepian pada remaja di Indonesia. Data diperoleh dari kuesioner online yang melibatkan 52 orang responden mahasiswa S1 selama April dan Mei 2015. Hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara keseluruhan penggunaan facebook dengan narsisisme, dan secara khusus menunjukkan bahwa skor facebook menyatu dengan kegiatan sehari-hari dengan narsisisme berkorelasi positif dan signifikan; tidak ada korelasi signifikan antara keseluruhan penggunaan facebook dengan self-esteem namun secara khusus walaupun tidak signifikan, komponen waktu menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara waktu dengan self-esteem; selanjutnya, penggunaan facebook dengan kesepian tidak terbukti memiliki hubungan yang signifikan, namun menarik untuk diperhatikan bahwa korelasi terjadi secara negatif.

Kata Kunci facebook, narsisme, self-esteem, kesepian, remaja

 

Latar Belakang

Perkembangan teknologi berupa internet memunculkan beragam ruang untuk berinteraksi baik melalui surat elektronik, blog, maupun media sosial dan masih banyak lagi. Media sosial sendiri merupakan suatu kumpulan aplikasi berbasis internet yang memungkinkan para penggunanya untuk saling berkomunikasi, berbagi konten, menjalin relasi, membangun bisnis, membentuk opini publik, menggalang aksi charity hingga membuat destruksi.

Penggunaan media sosial telah banyak menjadi perhatian para peneliti dan terbukti sangat berhubungan baik dengan ekspresi diri (self expressions), pembentukan diri (self creating /self forming) (Takahashi, 2010) hingga kesejahteraan subjektif penguna (Kim, Chung & Anh, 2014). Selain itu, penggunaan media sosial terbukti berkaitan dengan ciri sifat dan kepribadian tertentu seperti narsisistik (Buffardi & Campbel, 2008; Ahn, Kwolek & Bowman, 2015), self-esteem (van Zalk, Branje, Denissen, van Aken & Meeus, 2011) dan kesepian (Bian & Leung, 2015; Yang& Brown, 2013; Sharabi & Margalit, 2011).

Salah satu aktivitas yang dapat dilakukan di media sosial adalah menulis, baik itu menulis tentang diri sendiri maupun mengenai berbagai hal. Para pengguna dapat menggunakan fitur catatan atau yang paling biasa dan paling sering digunakan yaitu kolom status. Menulis tentang diri sendiri dalam media sosial merupakan suatu cara dalam memahami diri sendiri maupun membentuk hubungan dengan orang lain. Menulis dalam media sosial merupakan aktivitas yang lebih dari sekedar ekspresi sifat narsisistik atau hanya sekedar alat berkomunikasi dengan orang lain karena menulis tentang diri sendiri (self-writing) merupakan sebuah tindakan dalam proses pembentukan diri (self-forming) (Sauter, 2014).

Media sosial sangatlah beragam, sebut saja facebook, twitter, google-plus, instagram, pinterest, dan masih banyak lagi. Diantara semua media sosial tersebut, facebook adalah media sosial yang masih menempati tempat teratas dibanding lainnya dengan rata-rata 936 juta pengguna seluruh dunia perhari pada bulan Maret 2015 (http://newsroom.fb.com/company-info/). Jumlah pengguna Facebook di Indonesia sampai dengan bulan Juni 2014 sudah mencapai angka 69 juta anggota (http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150327061134-185-42245/berapa-jumlah-pengguna-facebook-dan-twitter-di-indonesia/). Meskipun mengalami kemunduran jumlah pengguna karena mulai tersaingi oleh aplikasi media sosial lainnya (http://www.republika.co.id/berita/trendtek/aplikasi/15/02/11/ njlqvx-mulai-jenuh-facebook-kehilangan -100-juta-pengguna-aktif), jumlah pengguna facebook yang masih sangat besar ini patut menjadi sasaran penelitian yang lebih lanjut.

 

Narsisme

Penggunaan media sosial sangat berkaitan erat dengan tingkat narsisistik seseorang. Penelitian Wang & Stefanone (2013) menunjukkan bahwa ciri kepribadian tertentu seperti narsisistik dan ekstraversi dapat mempengaruhi strategi pengungkapan diri para pengguna facebook yaitu secara selektif mengungkapkan lokasi fisik pada audiensnya (jejaringnya) dalam facebook. Hal ini diakibatkan oleh perkembangan teknologi komunikasi yang mobile, yaitu hubungan sosio-spasial telah menjadi suatu faktor yang esensial dalam artikulasi pengungkapan informasi dan identitas.

Kepribadian narsisisik diekspresikan dalam jejaring sosial dan juga sebaliknya, dipersepsikan dari jejaring sosial. Perilaku narsisistik dalam media sosial serupa dengan bagaimana perilaku tersebut di dunia nyata atau off-line (Buffardi & Campbel, 2008). Narsisme adalah sifat kepribadian yang merefleksikan waham kebesaran (grandiose) dan konsep diri yang melambung. Secara khusus, perilaku narsisistik berhubungan dengan pandangan diri yang positif dan meninggi pada sifat-sifat tertentu seperti inteligensia, kekuatan, dan daya tarik diri (Buffardi & Campbel, 2008). Narsisisme grandiose berhubungan positif dengan penggunaan media sosial khususnya facebook, yaitu di mana semakin tinggi tingkat narsisisme maka semakin tinggi pula ketertarikan dan aktivitas dalam facebook (Walters & Horton, 2015).

Hipotesis yang pertama adalah, narsisme akan berkorelasi positif dengan penggunaan facebook.

 

Self Esteem

Self esteem didefinisikan sebagai perasaan seseorang pada nilai diri (self-worth), atau sebesar apa seseorang menilai, menerima, mengapresiasi, menghargai maupun menyukai dirinya sendiri (Hills, Francis, Jennings, 2011). Self-esteem tidak selalu menggambarkan tujuan kemampuan maupun talenta seseorang, atau bahkan bagaimana seseorang dievaluasi oleh orang lain. Selain itu, self esteem pada umumnya dionseptualisasikan sebagai “perasaan bahwa diri seseorang cukup baik”, dan dengan demikian seseorang yang memiliki self esteem yang tinggi tidak merasa perlu untuk merasa bahwa dirinya lebih superior dari orang lain. Dengan demikian, self-esteem melibatkan perasaan penerimaan diri dan menghormati diri sendiri, berkebalikan dengan seseorang dengan pengormatan-diri yang eksesif maupun keagungan diri (self-aggrandizement) yang merupakan karakteristik individu narsisistik (Orth & Robin, 2014).

Seseorang yang memiliki tingkat self-esteem yang rendah cenderung sering meng-update status mengenai pasangan romantis. Mereka dengan tingkat narsisisme yang tinggi menggunakan facebook untuk mencari perhatian (attention-seeking) dan pengakuan (validation), menjelaskan kecenderungan mereka yang tinggi untuk memperbaharui (update) status mereka mengenai apa saja pencapaian mereka, apa makanan mereka dan latihan rutin mereka (Marshall, Lefringhausen & Ferenczi, 2015)

Hipotesis yang ke-dua adalah, self-esteem akan berkorelasi negatif dengan penggunaan facebook.

 

Kesepian / Loneliness

Satu dari empat orang menderita kesepian (Perlman, 1988). Penelitian Bian & Leung (2015) mengungkap bahwa semakin tinggi tingkat kesepian dan perasaan malu (shyness) maka semakin tinggi kecenderungan seseorang akan ketagihan pada penggunaan ponsel pintar, termasuk pada penggunaan aplikasi media sosial. Kesepian merupakan suatu fenomena unik dan multidimensional yang merepresentasikan sejauh mana seseorang mempersepsikan bahwa lingkaran sosialnya yang lebih sempit atau kurang memuaskan dibanding yang mereka harapkan (Betts & Bicknell, 2011). Perasaan kesepian tidaklah sama dengan kondisi sedang sendiri, tetapi lebih pada melibatkan perasaan terisolasi, perasaan terpisah (disconnectedness), dan perasaan tidak memiliki. Perasan tersebut merepresentasikan adanya ketidaksesuaian antara suatu kondisi yang diharapkan dan kondisi hubungan aktual seseorang (Hughes, Waite, Hawkley & Cacioppo, 2004). Secara khusus, penggunaan facebook untuk alasan kompensasi keterampilan sosial (social skills compensation reasons) menghasilkan perasaan kesepian yang terus menerus (Teppers, Luyckx, Klimstra & Goossens, 2014)

Hipotesis yang ke-tiga adalah bahwa tingkat kesepian akan berkorelasi positif dengan penggunaan facebook.

 

Metode

Partisipan

Mini-riset ini dilakukan dengan melibatkan 50 orang mahasiswa S1 pengguna aktif facebook.

 

Desain dan Prosedur

Partisipan diberi informasi mengenai tujuan studi. Partisipan melengkapi kuesioner (self-report measure) yang mengukur self-esteem, narsisisme dan kesepian setelah mereka setuju untuk berpartisipasi sebagai partisipan dalam studi yang diadakan secara online. Kuesioner menggunakan aplikasi survey online Universitas Gadjah Mada (survey.ugm.ac.id) dengan alamat: http://survey.ugm.ac.id/index.php?sid=16335&lang=id. Hanya kuesioner yang terisi penuh yang terpilih untuk dianalisis lebih lanjut.

Pengumpulan data dilakukan mulai 2015-04-20 20:29:26 hingga 2015-05-31 11:53:28.

 

Pengukuran

Penggunaan Facebook. Mini-riset ini menggunakan tujuh belas aitem pertanyaan untuk mengukur intensitas penggunaan facebook yang diadaptasi dari Skala Intensitas Penggunaan Facebook (Ellison, Steinfeld dan Lampe, 2007). Skala ini untuk melihat keaktifan individu dalam facebook, sejauh mana individu terikat secara emosional (sikap keseluruhan terhadap facebook) dan sejauh mana facebook menyatu dengan kegiatan individu sehari-hari (sikap keseluruhan terhadap status facebook). Respon diberikan dalam bentuk skala Likert 5 poin (1 = sangat tidak setuju dan 5 = sangat setuju). Untuk mengukur penggunaan facebook riil, partisipan diminta untuk melengkapi pertanyaan mengenai intensitas penggunaan (memperbaharui status) dalam rentang satu minggu (0, 1-5, 6-10, 11-15, 16-20 dan >20), berapa lama waktu yang dihabiskan dalam facebook (10, 10-30, 31-60 menit, 1-2, 2-3, >3 jam), jumlah teman (<11, 11-50, 51-100, 101-150, 151-200, 201-200, 251-300, 301-400, >400).

Self-Esteem. Skala Self-Esteem Rosenberg (SES – Rosenberg, 1965) digunakan untuk mengukur self-esteem. Skala ini berisi 10 aitem dengan respon skala 4 poin (1 = sangat tidak setuju dan 4 = sangat setuju) di mana skor tinggi menunjukkan self-esteem yang tinggi. RSIS merupakan pengukuran self-esteem yang paling banyak digunakan dewasa ini (Sinclair, Blais, Gansler, Sandberg, Bistis & LoCicero, 2010).

Narsisisme. Narsisisme diukur dengan menggunakan 16 aitem Narcissistic Personality Inventory – 16 (NPI-16 Ames, Rose dan Anderson, 2006).

Loneliness. Kesepian atau loneliness diukur dengan menggunakan Three Item Loneliness Scale yang merupakan versi singkat dari Revised UCLA Loneliness Scale (R-UCLA – Hughes, Waite, Hawkley & Cacioppo, 2004). Skala ini berisi tiga aitem dengan respon 4 poin (1 = tidak pernah dan 4 = sering sekali).

 

Hasil

Hipotesis diuji dengan menggunakan korelasi Pearson dalam perangkat lunak SPSS. Level signifikansi statistik yang digunakan adalah sebesar 0.05. Statistik deskriptif dikalkulasikan untuk mengevaluasi data demografik dan mengevaluasi trend dalam penggunaan facebook. Dalam hal waktu yang dihabiskan dalam facebook, diperoleh mean score sebesar 2.23 (SD=1.89), yang mengindikasikan bahwa partisipan menghabiskan kira-kira 1 jam perhari dalam facebook. Dari rerata jumlah teman, diperoleh mean score 7.83 (SD=0.71) yang mengindikasikan bahwa partisipan memiliki teman lebih dari 400 orang. Dalam hal jumlah memperbaharui status, diperoleh mean score 0.77 (SD=0.96), yang mengindikasikan bahwa partisipan memperbaharui status mereka kira-kira 1-5 kali dalam seminggu.

Korelasi Pearson dikalkulasi untuk mengevaluasi hipotesis.hasil analisis korelasional antara keseluruhan penggunaan facebook dengan konstrak narsisisme, self-esteem dan kesepian disajikan pada tabel berikut.

Tabel 1. Korelasi antar komponen Penggunaan Facebook dengan konstrak Nasisisme, Self-esteem dan Kesepian

Narsisime Self-esteem Kesepian
Teman .141 .106 -.177
Waktu .059 -.221 -.003
Update .200 .069 -.089
Kedekatan emosional thd facebook .173 .154 -.023
Seberapa menyatu facebook dengan kehidupan sehari-hari .318* .273* -.118
* = P<0.05

 

Tabel 2. Korelasi antara Keseluruhan Penggunaan Facebook dengan konstrak Narsisisme, Self-esteem dan Kesepian

Narsisisme Self-esteem Kesepian
Penggunaan Facebook .292* .125 -.134
Narsisisme .317* .036
Self-esteem .260
N=52* = P<0.05

 

Hipotesis yang pertama adalah, narsisme akan berkorelasi positif dengan penggunaan facebook. Sebagaimana diprediksi sebelumnya, terdapat hubungan positif yang signifikan antara penggunaan facebook dengan narsisisme (r=0.292, p<0.05). Dengan demikian, semakin tinggi penggunaan facebook seseorang, semakin tinggi pula narsisismenya. Secara khusus, skor sejauh mana facebook menyatu dengan kegiatan individu sehari-hari berkorelasi secara signifikan dengan facebook (r=.318, p<0.05), yang mengindikasikan bahwa facebook menyatu secara signifikan dengan kegiatan sehari-hari partisipan yang narsisis.

Hipotesis yang ke-dua adalah, self-esteem akan berkorelasi negatif dengan keseluruhan penggunaan facebook. Hipotesis tidak terbukti karena hasil menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara keseluruhan penggunaan facebook dengan self-esteem (r=0.125, p>0.05). Akan tetapi perlu diperhatikan lebih lanjut bahwa secara khusus walaupun tidak signifikan (r= -0.221, p>0.05), komponen waktu menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara waktu dengan self-esteem yang mengindikasikan bahwa orang dengan self-esteem tinggi cenderung menghabiskan waktu lebih sedikit dalam facebook.

Hipotesis yang ke-tiga adalah bahwa tingkat kesepian akan berkorelasi positif dengan penggunaan facebook. Hipotesis tidak terbukti karena hasil menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara penggunaan facebook dengan kesepian. Namun demikian, perlu diperhatikan lebih lanjut bahwa nilai korelasinya menunjukkan sebaliknya yaitu korelasi terjadi secara negatif (r= -0.134) yang mengindikasikan bahwa semakin tinggi penggunaan facebook maka semakin rendah kesepian seseorang.

 

Kesimpulan dan Diskusi

Kembali pada pertanyaan penelitian, kita memperoleh bukti bahwa sesuai prediksi hipotesis pertama, terdapat hubungan positif yang signifikan antara keseluruhan penggunaan facebook dengan narsisisme dan secara khusus menunjukkan bahwa skor facebook menyatu dengan kegiatan sehari-hari dengan narsisisme berkorelasi positif dan signifikan.

Hasil menunjukkan bahwa tidak ada korelasi signifikan antara keseluruhan penggunaan facebook dengan self-esteem. Akan tetapi perlu diperhatikan lebih lanjut bahwa secara khusus walaupun tidak signifikan, komponen waktu menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara waktu dengan self-esteem yang mengindikasikan bahwa orang dengan self-esteem tinggi cenderung menghabiskan waktu lebih sedikit dalam facebook.

Penggunaan facebook dengan kesepian tidak terbukti memiliki hubungan yang signifikan, namun menarik untuk diperhatikan lebih lanjut bahwa korelasinya menunjukkan arah sebaliknya yaitu korelasi terjadi secara negatif, yang mengindikasikan bahwa semakin tinggi penggunaan facebook maka semakin rendah kesepian seseorang. Penelitian-penelitian sebelumnya memang menyarankan bahwa hubungan antara penggunaan facebook dan kesepian berkorelasi secara positif di mana orang yang kesepian akan menggunakan facebook secara lebih banyak dan bermakna negatif. Akan tetapi, arah hubungan yang negatif ini dapat kita pahami melalui penelitian Ellison et al. (2007), yaitu bahwa facebook membantu memelihara hubungan seseorang sebagaimana halnya pada komunitas offline. Media sosial seperti facebook memfasilitasi dengan cara yang sama dengan komuitas offline misalnya ketika siswa satu sekolah yang telah menjadi alumni tetap menjaga hubungan dengan teman-teman mereka secara online di media sosial. Dengan demikian, penggunaan media sosial seperti facebook dapat mendukung siapa saja untuk menjaga suatu ikatan atau hubungan.

Penelitian mengenai tingkat narsisme, self-esteem dan kesepian pada media sosial harus diperluas lagi pada media-media sosial lain untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif. Media sosial seperti facebook diyakini saat ini mulai mengalami masa penurunan jumlah pengguna karena kemunculan berbagai media sosial lain seperti Instagram, Tumblr dan lain-lain (http://www.republika.co.id/berita/trendtek/aplikasi/15/02/11/njlqvx-mulai-jenuh-facebook-kehilangan-100-juta-pengguna-aktif). Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan media-media sosial yang berbeda secara simultan.

 

 

Referensi:

Ahn, H., Kwolek, E.A., & Bowman,N.D., 2015. Two faces of narcissism on SNS: The distinct effects of vulnerable and grandiose narcissism on SNS privacy control. Computers in Human Behavior 45 (2015) 375–381. http://dx.doi.org/10.1016/j.chb.2014.12.032

Ames, D.R., Rose, P. & Anderson, C.P., 2006.

Betts, L.R., & Bicknell, A.S., 2011. Experiencing Loneliness in Childhood: Concequences for Psychosocial Adjustment, School Adjustment, and Academic Performance dalam Bevin, S.J. (ed), 2011. Psychology of Loneliness: Psychology of Emotions, Motivations and Action. New York: Nova Science Pub.

Bian, M., & Leung, L., 2015. Linking loneliness, shyness, smartphone addiction symptoms, and patterns of smartphone use to social capital. Social Science Computer Review 2015, Vol. 33(1) 61-79. DOI: 10.1177/0894439314528779

Buffardi, L.E. & Campbell, W.K., 2008. Narcissism and Social Networking Web Sites. PSPB, Vol. 34 No. 10, October 2008 1303-1314. DOI: 10.1177/0146167208320061

Cnnindonesia. 2015. http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150327061134-185-42245/berapa-jumlah-pengguna-facebook-dan-twitter-di-indonesia/ diakses pada 13 Juni 2015 pukul 09:42

Ellison, N.B., Steinfield, C. & Lampe, C., 2007. The Benefits of Facebook ‘‘Friends:’’ Social Capital and College Students’ Use of Online Social Network Sites. Journal of Computer-Mediated Communication. doi:10.1111/j.1083-6101.2007.00367.x

Facebook. 2015. http://newsroom.fb.com/company-info/. diakses pada 7 Juli 2015 pukul 04:21

Hils, P.R., Francis, L.J., Jennings. P., 2011. The Shool Short Form Coopersmith Self-Esteem Inventory: Revised and Improved. Canadian Journal of School Psychology 26(1) 62–71 26(1) 62–71

Hughes, M.E., Waite, L.J., Hawkley, L.C. & Cacioppo, J.T., 2004. A Short Scale for Measuring Loneliness in Large Surveys: Results from Two Population-Based Studies. Research on Aging, Vol. 26 No. 6, November 2004 655-672. DOI: 10.1177/0164027504268574

Kim, J.Y., Chung, N., & Ahn, K.M., 2014. Why people use social networking services in Korea: The mediating role of self-disclosure on subjective well-being. Information Development 2014, Vol. 30(3) 276–287. DOI: 10.1177/0266666913489894

Marshall, T.C., Lefringhausen, K. & Ferenczi, N., 2015. The Big Five, self-esteem, and narcissism as predictors of the topics people write about in Facebook status updates. Personality and Individual Differences 85 (2015) 35–40 http://dx.doi.org/10.1016/j.paid.2015.04.039

Orth, U. & Robins, R.W., 2014. The Development of Self-Esteem. Current Directions in Psychological Science 2014, Vol. 23(5) 381–387. DOI: 10.1177/0963721414547414

Perlman, D., 1988. Loneliness: A life-span, family perspective dalam R. M. Milardo (Ed.), Families and social networks. Newbury Park, CA: Sage.

Republika, 2015. http://www.republika.co.id/berita/trendtek/aplikasi/15/02/11/njlqvx-mulai-jenuh-facebook-kehilangan-100-juta-pengguna-aktif. diakses pada 29 Juni 2015 pukul 22.00

Sauter, T., 2014. What’s on your mind? Writing on Facebook as a tool for self-formation. new media & society, Vol. 16(5) 823–839 DOI: 10.1177/1461444813495160

Sharabi, A & Margalit, M., 2011. The Mediating Role of Internet Connection, Virtual Friends, and Mood in Predicting Loneliness Among Students With and Without Learning Disabilities in Different Educational Environments. Journal of Learning Disabilities
44(3) 215–227. DOI: 10.1177/0022219409357080

Sinclair, S.J., Blais, M.A., Gansler, D.A., Sandberg, E., Bistys, K., & LoCicero, A., 2010. Psychometric Properties of the Rosenberg Self-Esteem Scale: Overall and Across Demographic Groups Living Within in the United States. Evaluation & the Health Professions
33(1) 56-80. DOI: 10.1177/0163278709356187

Takahashi, T., 2010. MySpace or Mixi? Japanese engagement with SNS (social networking sites) in the global age. new media & society 12(3) 453–475. DOI: 10.1177/1461444809343462

Teppers, E., Luyckx, K., Klimstra, T.A. & Goossens, L., 2014. Loneliness and Faceboo k motives in adolescence : A longitu dinal inquiry into directionality of effects. Journal of Adolescence 37 (2014) 691–699. http://dx.doi.org/10.1016/j.adolescence.2013.11.003

Toma, C.L., & Hancock, J.T., 2013. Self-Affirmation Underlies Facebook Use. Personality and Social Psychology Bulletin 39(3) 321 –331 DOI: 10.1177/0146167212474694

Van Zalk, M.H., Branje, S.J., Denissen, J., van Aken, M.A., & Meeus, W.H., 2011. Who benefits from chatting, and why? The roles of extraversion and supportiveness in online chatting and emotional adjustment. Personality and Social Psychology Bulletin 37(9) 1202–1215. DOI: 10.1177/0146167211409053

Walters, N.T. & Horton, R., 2015. A diary study of the influence of Facebook use on narcissism among male college students. Computers in Human Behavior 52 (2015) 326–330. http://dx.doi.org/10.1016/j.chb.2015.05.054

Wang, S.S & Stefanone, M.A., 2013. Showing Off? Human Mobility and the Intyerplay of Traits, Self-Disclosure, and Facebook Check-ins. Social Science Computer Review. 31(4) 437-457. DOI: 10.1177/0894439313481424

Yang, C & Brown, B., 2013. Motives for using facebook, patterns of facebook activities, and late adolescents’ social adjustment to college. J Youth Adolescence (2013) 42:403–416. DOI 10.1007/s10964-012-9836-x

Merokok = Keren

Posted by kurniadhani on October 29, 2014
Psikologi Teknologi (Media) / No Comments

Merokok biar kelihatan keren… ya kelihatan… kelihatan kalau korban film…

 

yuk kita bahas jurnal Heatherton dan Sargent (2009) berikut…

 

Apakah Menonton Adegan Merokok dalam Film Mempromosi Remaja untuk Merokok?

 

Latar Belakang

Penelitian ini mengobservasi efek paparan adegan merokok dalam film pada inisiasi remaja untuk merokok. Karena, hampir semua orang tau bahwa merokok adalah penyebab utama kematian di dunia. Setidaknya di Amerika Serikat 2.000 remaja mencoba rokok pertama setiap harinya dan banyak diantaranya yang menjadi perokok regular dan yang kemungkinan besar berkontribusi pada kematian dini. Sehingga, mengapa para remaja mencoba merokok? Adalah hal yang jelas bila pengaruh sosial, seperti teman sebaya atau orangtua yang merokok, memainkan peranan penting dalam inisiasi merokok. Bagaimanapun, banyak anak yang mencoba merokok tampak memiliki beberapa faktor risiko. Sebagai pertanyaan terbuka, apakah seperti faktor lingkungan yang lainnya mendukung remaja untuk merokok.

Film membentuk pandangan tentang apa itu “keren”, apa yang menarik (attractive) dan apa yang berbau “orang dewasa”, yang para remaja ingin lakukan atau menjadi. Sebenarnya, casual observance at any local mall demonstrates bahwa media visual mempengaruhi bagaimana remaja usia belasan berbicara, bagaimana mereka berpakaian dan bagaimana mereka berperilaku. Hal tersebut tampak masuk akal bahwa paparan media dapat mempengaruhi perilaku lainnya. Pendapat penelitian ini (Todd F. Heatherton dan James D. Sargent , 2009) adalah semakin anak mengobservasi adegan merokok dalam film – khususnya ketika merokok ditampilkan oleh actor yang sangat popular yang merupakan role model remaja – semakin tinggi pula kecenderungan mereka untuk merokok.

 

Paparan Adegan Merokok dalam Film

Sekitar 70% film yang diproduksi di AS saat ini mengandung adegan merokok. Sejumlah analisis isi telah menunjukkan bahwa persentase orang dewasa perokok dalam film adalah paling tidak 20 – 25% dari seluruh karakternya, bahwa merokok jarang sekali diasosiasikan pada kesehatan yang buruk dan bahwa para perokok dalam film adalah lebih makmur daripada para perokok AS pada khususnya. Rata-rata, adegan merokok dalam film adalah 1 hingga 2 menit per filmnya. Secara luas anak-anak sangat rentan pada paparan adegan merokok ini. Dapat dikatakan bahwa mayoritas kegiatan merokok yang dilakukan dalam film ditujukan pada para remaja yang lebih tua (i.e.,PG-13 and R films), anak usia kurang dari 14 tahun mungkin mengalami paparan yang lebih rendah pada adegan merokok dalam film. Namun, bukti yang ada menunjukkan bahwa anak pada usia ini menjadi penonton adegan tersebut secara sering meski adegan ini bukan ditujukan untuk audiens muda – televisi satelit, chanel tv kabel, video dan dvd, sangat meningkatkan peluang anak-anak untuk mengakses gambaran dunia dalam layar film.

Hanya baru-baru ini saja bagaimana anak-anak menonton film terdokumentasikan secara luas. Salah satu studi menunjukkan ketersebarluasan penonton film rating-R pada anak-anak usia 10 hingga 14 tahun, dengan beberapa khususnya film kekerasan (seperti film scream) dilaporkan telah ditonton oleh paling tidak separuh dari anak kelas 5 pada sample yang luas (Sargent,Heatherton, et al., 2002). Hampir serupa, studi dengan representasi nasional (using random-digit dialing) pada 6.522 remaja, ditemukan bahwa diperkirakan satu juta orang Amerika berumur 10 tahun dilaporkan telah menonton Scary Movie, yang mana dalam film tersebut kepala seorang cheerleader dipenggal dan kemudian ditemukan dalam loker sekolah (Worth, Chambers, Nassau, Rakhra, & Sargent, 2008). Yang berarti, anak-anak tersebut menonton banyak lagi film-film yang lain (dan banyak sekali kekerasan) – tetapi berapa banyak kah adegan merokok yang mereka tonton dalam film? Studi ini mampu menjawabnya dengan menghubungkan respons remaja pada film yang mereka tonton pada sebuah analisis isi yang mengukur adegan merokok dalam 1000 film (menggunakan pengukuran tervalidasi dengan cermat). Teknik survey membuat peneliti mampu mengestimasi persentase anak-anak yang telah menonton film-film tersebut pada sample nasional yang representative. Pengaplikasian teknik dari bidang pemasaran dan periklanan, kami memperkirakan bahwa 500 film menyampaikan pesan impresi merokok sekitar 144 juta kali pada anak-anak AS usia 10 hingga 14 tahun (Sargent, Tanski, & Gibson, 2007). Singkatnya, anak-anak terpapar dengan tinggi adegan merokok dari film yang mereka tonton.

Tentu saja, konteks gambaran adegan merokok kemungkinan besar berpengaruh secara luas yang mendorong anak-anak untuk merokok. Menyadari salah satu faktor penting: bintang perokok. Pada studi yang sebelumnya dijabarkan, masing-masing dari 30 aktor menyampaikan lebih dari 50 juta impresi adegan merokok. Sebagai contoh, 21 episode Mel Gibson menyampaikan lebih dari 90 juta impresi adegan merokok karena popularitas filmnya. Dalam studi terkini, status merokok pada bintang favorit remaja berrelasi pada sikap remaja dalam merokok (pada remaja yang tidak merokok) dan status merokok remaja (Distefan, Pierce, & Gilpin, 2004; Tickle, Sargent, Dalton, Beach, & Heatherton, 2001).

 

Menonton Film dan Remaja yang Merokok

Beberapa studi meneliti relasi antara adegan merokok yang ditonton remaja dalam film (berdasarkan perkiraan paparan konten merokok dalam film) dan remaja yang merokok. Sebuah penelitian awal pada tahun 2001 menemukan bahwa ada relasi yang kuat antara paparan adegan merokok dalam film dengan inisiasi merokok pada sample yang besar dari remaja Bagian Utara New England (kelas 5 – 8) dan asosiasi statistic ini tetap setelah mengontrol sejumlah faktor risiko tradisional atas merokok (Sargent et al., 2001). Pada remaja yang tidak pernah mencoba rokok, paparan adegan merokok dalam film diasosiasikan pada sikap positif pada penggunaan tembakau dan persepsi pada orang dewasa yang merokok. Studi lanjutan pada remaja yang tidak merokok ditemukan bahwa paparan adegan merokok dalam film sebagai dasar memprediksi inisiasi merokok 1 hingg 2 tahun kemudian (Dalton et al., 2003). Studi follow up menunjukkan bahwa paparan mendahului perilaku – sebuah syarat penting dalam pembentukan argument sebab-akibat. Tentu saja, kira-kira 20% anak dengan paparan tinggi yang mencoba merokok dibandingkan 3% anak dengan paparan rendah yang merokok; relasi ini tetap setelah mengontrol saudara atau teman yang merokok, kecenderungan pengambilan keputusan pada remaja dan kehangatan maternal dan setting terbatas (seperti variable demografi lainnya). Yang menarik, efeknya lebih besar pada anak non-perokok daripada anak yang merokok, menghasilkan pemahaman bahwa efek paparan media berpotensi pada absennya faktor tradisional lainnya.

Untuk menggeneralisasi antara rasa tau kelompok etnik yang berbeda dari region geografis lainnya, survey random-digit-dial telephone longitudinal dilakukan pada 6.522 remaja AS berusia 10 hingga 14 tahun (Sargent et al., 2005). Sample ini merupakan sample representative secara nasional dari poplasi remaja AS. Sekali lagi, remaja dengan tingkat paparan tinggi atas adegan merokok dalam film lebih cenderung untuk mencoba merokok, bahkan setelah secara statistic mengontrol sosiodemografi , teman sebaya yang merokok, kepribadian, gaya asuh dan faktor sosial lainnya. Hasil dari studi ini, dibawah tinjauan, secara luas merefleksikan hasil yang didapat dari sampel New Englan Utara. Pada sample representative AS, telah dikonfirmasi bahwa paparan adeganmerokok dalam film berasosiasi dengan perokok aktif (telah merokok lebih dari 100 batang rokok) diantara remaja selama waktu 2 tahun (Sargent, Stoolmiller, et al., 2007).

Kelompok peneliti lainnya melakukan studi pada remaja North Carolina dan menemukan hubungan longitudinal antara menonton film PG-13 dan rating-R dengan inisiasi merokok (Jackson, Brown, & L’Engle, 2007). Studi yang lain menemukan bahwa remaja Jerman memiliki level paparan yang hampir sama atas adegan merokok dalam film seperti pada remaja AS (sekitar 80% film yang mereka tonton diproduksi dan didistribusikan oleh studio film AS). Remaja Jerman memiliki tingkat merokok yang lebih tinggi, karena Negara tersebut memiliki pembatasan yang lebih sedikit dalam pemasaran tembakau dan merokok di ruang public. Meski demikian, perbedaan cultural dalam pendekatan control tembakau. Remaja Jerman menunjukkan respons yang sama pada adegan rokok dalam film seperti halnya rekan mereka di AS (Hanewinkel & Sargent, 2008). Dengan demikian, ada konsistensi dan reliable fakta yang menunjukkan hubungan kuat antara paparan adegan merokok dalam film dengan perilaku merokok remaja dalam studi longitudan dan antar cultural.

 

 

Efek Moderasi

Untuk menentukan kelompok remaja tertentu yang lebih atau kurang terpapar adegan merokok dalam film dalam studi tersebut, peneliti mencari efek moderasi. Dalam studi longitudinal di New England, remaja dengan tingkat paparan rendah atas orangtua yang merokok secara signifikan lebih responsive pada efek film (Dalton et al., 2003). Pola yang sama juga diobservasi dalam studi longitudinal pada remaja Jerman, menyediakan validasi cross-cultural dari efek moderasi tersebut (Hanewinkel & Sargent, 2008). Efek tersebut menyarankan bahwa remaja yang terekspos gambaran dunia nyata memiliki responsifitas yang lebih sedikit pada gambaran glamor yang ditampilkan oleh film. Dengan cara yang sama, remaja dengan pencarian sensasi rendah kira-kira 12 kali lebih responsive pada gambaran merokok dalam film, moderasi negative lainnya yang merendahkan argument bahwa anak-anak yang banyak menonton adegan merokok berada pada risiko tinggi untuk merokok dikarenakan oleh faktor risiko lainnya yang tidak diukur (Sargent,Stoolmiller, et al., 2007; see Fig. 2). Malahan, hal tersebut tampak bahwa emaja yang berisiko rendah adalah yang paling responsive pada adegan merokok dalam film.

Peneliti lainnya menemukan moderasi yang terlihat melalui ras, dengan remaja Afro Amerika memiliki sedikit atau tidak ada respons sama sekali pada adegan merokok dalam film meskipun pada kenyataannya mereka lebih tinggi 20% hingga 30% untuk terpapar dibanding remaja Kaukasia (Jackson et al., 2007). Fakta bahwa remaja Afro-Amerika tidak responsive dapat dijelaskan, sebagiannya, mengapa mereka memiliki tingkat yang rendah untuk merokok selama masa remaja dibandingkan remaja Kaukasia.

 

Variabel Mediasi

Penelitian terkini mulai mengeksplorasi variable mediasi yang dapat memberikan pemahaman dalam hal bagaimana film mempengaruhi perilaku. Mediator yang dipostulasikan termasuk sikap dan kognisi, seperti halnya faktor lain seperti kegiatan merokok oleh teman-teman sebaya. Sebuah model structural longitudinal yang termasuk sebagai identifikasi variable endogenus sebagai seorang perokok, keyakinan normative tentang merokok dan ekspektansi yang positif terhadap merokok dikembangkan (Tickle, Hull, Sargent, Dalton, & Heatherton, 2006); alur paparan adegan merokok dalam film pada perilaku merokok remaja ditemukan melalui identifikasi sebagai perokok dan melalui ekspentansi positif dan peneliti telah mereplikasi temuan ini dalam penelitian longitudinal ini (Wills, Sargent, Stoolmiller, & Gibbons, 2007; Wills, Sargent, Stoolmiller, Gibbons, & Gerrard, 2008). Hal tersebut secara teoritis masuk akal bahwa melanjutkan paparan adegan merokok dalam film oleh bintang film dapat menambah ekspektansi positif sepanjang waktu, dan hal ini cocok dengan temuan pada asosiasi yang kuat antara melihat adegan merokok dalam film dan sikap yang lebih disukai melalui merokok diantara mereka yang belum pernah merokok (Sargent, Dalton, et al., 2002).

Mediasi menarik lainnya adalah terkait perilaku merokok oleh teman sebaya. Para remaja menonton film bersama teman-teman mereka, karena itu mereka terpapar film secara berkelompok, tidak hanya sendiri. Melihat actor merokok dapat mempengaruhi norma kelompok mengenai merokok. Seorang remaja dalam kelompok yang dengan pertahanan diri yang rendah dapat terdorong untuk mencoba merokok dan menjadi pengaruh yang dekat untuk anggota kelompok lainnya. Dalam scenario ini, kita dapat melihat alur mediasional melalui peningkatan persepsi remaja pada jumlah teman sebaya mereka yang merokok dan hal inilah yang tepatnya apa yang ditemukan (Willset al., 2007, 2008). Namun demikian, dalam poin ini tidak jelas apakah alur mediasional ini berkaitan dengan semakin banyak teman sebaya yang merokok dalam kelompok teman sebaya yang stabil atau pada pergantian afiliasi teman sebaya yang dipengaruhi oleh paparan adegan merokok dalam film.

 

Metode

Studi Eksperimental

Beberapa studi telah menguji efek film atau klip film dengan merokok pada sikap dan kognisi remaja dan dewasa awal. Hasilnya mengindikasikan bahwa paparan singkat atas adegan merokok dalam film dapat mempengaruhi kayakinan dan kognisi mengenai merokok diantara actor, perilaku merokok pada orang lain, dan intensi personal pro-merokok.

Pechman dan Shih (1999) menunjukkan scene remaja pada film Reality Beats; grup control menonton film tersebut tetapi dengan scene merokok yang telah dipotong. Remaja yang menonton scene merokok secara umum memberikan atribut status sosial lebih tinggi pada remaja yang merokok dan juga dilaporkan bahwa ada peningkatan intensi personal untuk merokok. Menariknya, efek yang ditunjukkan keseluruhan film pada intensi personal ditumpulkan dengan menunjukkan tayangan iklan anti merokok sebelum menonton film tersebut. Temuan-temuan itu perlu untuk direplikasi, tetapi mereka memberikan basis untuk mendesak para pembuat film untuk memasukkan iklan anti-rokok di DVD yang terdapat konten merokok. Dal Cin and colleagues (Dal Cin, Gibson, Zanna, Shumate, & Fong, 2007) barubaru ini mempublikasikan sebuah manuskrip yang penting secara teoritik berbasarkan teori transportasi, ide bahwa para penonton dipengaruhi oleh cerita adalah karena identifikasi mereka pada jalan cerita dan karakter. Mereka melihat pada asosiasi implicit antara diri dengan merokok sebagai sebuah fungsi identifikasi pada peran utama yang merokok dan menemukan bahwa identifikasi yang lebih kuat memprediksi sosiasi yang lebih kuat antara diri dengan merokok (baik pada perokok maupun yang tidak) dan menambah intensi untuk merokok(pada perokok). Sebagai tambahan, asosiasi implicit yang lebih kuat antara diri dan merokok secara unik memprediksi peningkatan intensi merokok pada para perokok. Secara bersamaan, penelitian eksperimental yang dipublikasikan hingga kini menambah dukungan pada studi epidemiologi.

 

Kesimpulan

Temuan-temuan yang terangkum di atas memiliki implikasi penting bagi kesehatan public. Pertama, bila film memang merupakan elemen penyebab pada perilaku merokok pada remaja, maka film harus dimonitor sebagaimana kita memonitor paparan lingkungan yang berdampak buruk bagi kesehatan. Peneliti (Todd F. Heatherton dan James D. Sargent , 2009) bekerjasama dengan American Legacy Foundation untuk mempublikasikan laporan tahunan tentang merokok pada hits top box-office di tiap tahunny. Laporan tersebut menyediakan metric yang valid untuk menentukan apakah suatu kemajuan tercipta dengan pengurangan tambilan gambaran merokok pada industry hiburan atau tidak. pada Publikasi terakhir peneliti (Todd F. Heatherton dan James D. Sargent , 2009) menunjukkan penurunan signifikan pada pengurangan penggambaran karakter merokok, khususnya untuk film dengan rating-R.

Isu lain adalah identifikasi dan promosi kebijakan yang dapat mengurangi paparan pada remaja. Berbagai kelompok advokasi kesehatan public (e.g., Smoke Free Movies, http://smokefreemovies.ucsf.edu/) telah mendorong industry film untuk melakukan tindakan sukarela yang akan mengurangi paparan, seperti memberikan rating-R pada film yang berkonten merokok, menyatakan bahwa ada dana yang disediakan oleh industry tembakau, membutuhkan tayangan iklan anti-rokok sebelum diputarnya scene film. Beberapa studio film perorangan telah menerapkan pedoman internal yang dirancang untuk membatasi penggambaran merokok dalam film yang ditujukan untuk remaja, mesipun sebagian besarnya belum. Kelompok lain yang mempromosikan kebijakan untuk mengurangi tayangan merokok dalam film adalah the National Association of Attorneys General (NAAG). NAGG bertugas untuk mensahkan Master Settlement Agreement antara the State Attorneys General dan industry tembakau yang berisi larangan untuk membayar penayangan merek pada filom oleh tiap perushaan tembakau besar.

Sejak kebijakan ini diadopsi, tayangan merek rokok dalam film menurun hingga hampir nol. Barubaru ini, yang sebagian berdasar pada hasil penelitian peneliti (Todd F. Heatherton dan James D. Sargent , 2009), NAGG telah meminta studio film besar untuk menempatkan iklan anti-rokok pada tiap DVD dengan konten merokok. Saran ini telah diterapkan oleh Weinstein Brothers, sebuah perusahaan produksi yang sekarang menempatkan iklan Legacy Founda tion Truths pada semua DVD berkonten merokok. Kita berbahagia untuk mengetahui bahwa temuan penelitian sangat cepat diterapkan pada isnisiatif kebijakan untuk melindungi anak-anak dari film berkonten merokok.

 

Sumber Jurnal:

Todd F. Heatherton and James D. Sargent (2009). Does Watching Smoking in Movies Promote Teenage Smoking?. Current Directions in Psychological Science 2009 18: 63http://cdp.sagepub.com/ content/18/2/63

 

Paparan Konten Seksual yang Lebih Tinggi dalam Film Populer Memprediksi Debut Seksual Dini dan Meningkatkan Perilaku Seksual Berisiko

Posted by kurniadhani on October 29, 2014
Psikologi Teknologi (Media) / No Comments

Apa iya sih?

Yuk kita bahas jurnal penelitian O’Hara, Ross E., Frederick X. Gibbons, Meg Gerrard, Zhigang Li,dan James D. Sargent (2012) berikut.

 

Greater Exposure to Sexual Content in Popular Movies Predicts Earlier Sexual Debut and Increased Sexual Risk Taking

 

Latar Belakang

Penelitian ini mempelajari tentang pengaruh media pada perilaku seksual remaja, termasuk usia mereka pada debut seksualnya, dan pengambilan risiko seksual selanjutnya. Debut seksual dini berhubungan dengan bertambahnya jumlah pasangan seksual dan penggunaan kondom yang inkonsisten, serta peningkatan risiko penularan infeksi seksual (Sexual Transmitted Infections – STIs; Kaestle, Halpern, Miller, & Ford, 2005).

Salah satu pengaruh signifikan pada perilaku seksual berisiko kemungkinan adalah media (Wright, 2011) – khususnya paparan konten seksual film atau movie sexual exposure (MSE). Pada studi yang dilaporkan berikut ini, Ross E. O’Hara, Frederick X. Gibbons, Meg Gerrard, Zhigang Li,and James D. Sargent (2012), meneliti hubungan MSE dengan debut seksual dan perilaku seksual berisiko, baik secara langsung atau tidak melalui perubahan pencarian sensasi. Efek media pada perilaku berisiko remaja, termasuk penggunaan tembakau (National Cancer Institute, 2008), penggunaan alcohol (P. Anderson, de Bruijn, Angus, Gordon, & Hastings, 2009), dan agresi (C. A. Anderson et al., 2003), telah didokumentasikan secara luas. Akantetapi pengaruh media pada perilaku seksual remaja masih belum banyak dikenal.

Wright (2011) mengemukakan bahwa pengaruh media pada perilaku seksual didorong oleh adanya akuisisi dan aktivasi skrip seksual. Skrip tersebut menyediakan pilihan perilaku dalam situasi sosial, termasuk yang mendorong pada perilaku seksual dan konten skrip seringkali dipengaruhi oleh media. Film umumnya menawarkan pesan seksual yang permisif dan berisiko (Gunasekera et al., 2005; Nalkur et al., 2010), dan paparan konten seksual yang tinggi telah terbukti lebih dapat memprediksi sikap seksual yang permisif (Bleakley, Hennessy, Fishbein, Coles, & Jordan, 2009; Brown, Halpern, & L’Engle, 2005). Lebih lanjut, para remaja seringkali mencari media seksual, mungkin untuk mempelajari skrip tersebut (Brown et al., 2005). Bahkan, 57% remaja AS (usia 14-16 tahun) dilaporkan menggunakan media sebagai media primer untuk mencari informasi seksual (Bleakley et al., 2009).

Pencarian sensasi meningkat semasa remaja, memuncak antara umur 10 dan 15 tahun, dan kemudian menurun hingga remaja akhir (Steinberg et al., 2008). Pencarian sensasi yang terbesar diasosiasikan pada dua hal yaitu debut seksual dini (Donohew et al., 2000) dan kemudian lebih sering berpengaruh pada seks kasual masa dewasa (Arnett, 1994). Penting untuk dipahami bahwa pencarian sensasi meningkat karena faktor biologis dan sosialisasi (Arnett, 1994), yang mengatakan bahwa lingkungan mempengaruhinya, seperti MSE, dapat mempengaruhi perkembangan ciri atau sifat ini.

Studi efek film pada perilaku seksual telah dilakukan secara longitudinal. Durasi analisis data yang terkumpul pada studi ini membuat penelitian ini mampu menguji debut seksual dan keluaran dari debut seksual yang dapat ditunjukkan pada STi atau kehamilan yang tidak diinginkan. Dan terakhir, studi ini adalah yang pertama dalam menguji apakah efek media yang berpengaruh dalam perilaku seksual berisiko dimediasi oleh perubahan pencarian sensasi. Secara khusus, hipotesis penelitian ini adalah:

  • Hipotesis 1: MSE awal memprediksikan usia saat debut seksual, sebuah efek yang dimediasi oleh bertambahnya pencarian sensasi.
  • Hipotesis 2: MSE awal memprediksikan keterkaitan dalam perilaku seksual berisiko (seperti bertambahnya jumlah pasangan seksual dan frekuensi seks kasual tanpa kondom) setidaknya kira-kira 6 tahun kemudian, sebuah efek yang dimediasi oleh usia saat debut seksual.

 

Metode

Subjek dan Prosedur

Data dikumpulkan dalam enam gelombang studi longitudinal yang berputar dari Juni 2003 hingga Oktober 2009. Pada Waktu 1, data dikumpulkan dalam random-digit-dial telephone survey pada 6.522 remaja dari usia 10 hingga 14 tahun, yang tinggal di AS. Berikutnya, tiga survey follow up diadakan kira-kira setiap 8 bulan; follow up final kedua diadakan kira-kira 5 hingga 7 tahun setelah Waktu 1. Pada Waktu 6, 2.718 partisipan merespon (38,2% yang berhak), tetapi hanya partisipan yang berusia 18 tahun atau lebih (n=1.300) yang ditanya untuk melaporkan perilaku seksual mereka. Untuk memastikan bahwa MSE telah terjadi sebelum debut seksual, kami mengghilangkan dari partisipan analisis siapa yang debut seksualnya terjadi sebelum Waktu 2 (n=72), di mana menyisakan sample akhir 1.228 partisipan. Patisipan pada sample akhir adalah antara 12 dan 14 tahun pada Waktu 1 (M= 12,89 tahun, SD:0,79) dan antara 18 dan 21 tahun pada Waktu 6 (M= 19,90 tahun, SD=0,81). Sample itu terdiri dari 611 orang laki-laki (49,8%) dan 617 wanita (50,2%); 891 adalah European American (72.6%), 159 adalah Hispanic (12.9%), 71 adalah African American (5.8%), and 107 berlatarbelakang rasa tau etnik (8.7%). Partisipan yang hilang pada saat follow up berisiko lebih tinggi pada debut seksual dini dan keterkaitannya dengan perilaku seksual berisiko pada Waktu 1 daripada mereka yang tetap sebagai sample. Partisipan yang tidak bertahan dilaporkan memiliki MSE dan pencarian sensasi yang lebih tinggi dan tanggapan maternal yang lebih rendah, dan lebih mungkin untuk memiliki televisi di kamarnya (ps, 0,01). Juga, secara signifikan lebih minoritas dari daripada Eropean American yang hilang pada follow u0 (p, 0,02).

 

Teknik Pengumpulan Data

MSE diukur dengan menggunakan metode Beach. Pada Waktu1, 523 film top-grossing rilis antara 1998 dan 2003 dikoding pada sejumlah konten seksual kedua, yang didefenisikan sebagai contoh perilaku seksual, seperti ciuman berat atau senggama. Setiap film di-rate oleh satu dari dua coder yang terlatih, dan 10% dari subsample film yang random di koding ganda (double-coded) (interrated agreement: r=0,92). Setiap partisipan menerima daftar unik dari 50 film yan dipilih secara random dari kelompok yang lebih besar dan partisipan melaporkan film mana saja yang telah mereka tonton.

Pencarian Sensasi (sensations seeking) diukur dengan skala empat-item yang didesain untuk anak-anak (Waktu 1: α = .60; Waktu 2: α = .58;   Stephenson, Hoyle, Palmgreen, & Slater, 2003). Partisipan memberikan respon pada tiap item menggunakan skala mulai 1 hingga 4, dengan nilai lebih tinggi mengindikasikan tingginya pencarian sensasi.

Usia saat debut seksual dilaporkan oleh partisipan pada saat Waktu 6. Perilaku seksual berisiko diukur pada Waktu 6 dan terdiri dari dua komponen, yaitu: jumlah seumur hidup dari rekan seksual oral dan vaginal (respons terbuka) dan jumlah seks kasual (didefinisikan sebagai seks vaginal yang tidak dengan “pasangan kencan serius”) tanpa kondom (dilaporkan menggunakan skala mulai dari 0, tidak pernah, hingga 5, lima kali atau lebih). Skor kedua item direkam kedalam variable ordinal dan dikombinasikan, α = 0,62.

Kovariat yang berhubungan dengan MSE dan perilaku seksual (termasuk pencarian sensasi) diukur pada Waktu 1. Gender, ras dan usia dilaporkan oleh orangtua partisipan. Partisipan melaporkan seberapa sering mereka menghadiri gereja atau yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan, berapa banyak waktu untuk menonton televisi setiap harinya, apakah mereka memiliki televisi di kamar tidurnya, dan dengan siapa mereka tinggal (sebuah ukuran untuk mengkode struktur keluarga sebagai sesuatu yang lengkap atau terbagi).

 

Hasil

Nilai media MSE adalah 0.93 hr (interquartile range: 0.43 hr–1.32 hr). pencarian sensasi secara umum rendah, M = 7.90 (SD = 2.39) Pada Waktu1 dan M = 8.07 (SD = 2.32) pada Waktu2. Pada Waktu6, 774 participan (63.0%) melakukan debut seksual: 40 (5.2%) sebelum usia 15, 79 (10.2%) pada usia 15, 190 (24.5%) pada usia 16, 223 (28.8%) pada usia 17, dan 242 (31.2%) pada usia 18 atau lebih. Diantara Partisipan yang aktif secara seksual, jumlah rata-rata pasangan seksual seumur hidup adalah 2 (interquartile range: 1–4 partners), dan 195 dari participan (25.2%) melaporkan bahwa mereka melakukan seks tanpa kondom.

Perbedaan gender peserta laki-laki dan perempuan sama-sama cenderung memiliki seksual memulai debutnya dengan Waktu6; dan lagi, pria dan wanita secara seksual debutnya di sekitar usia yang sama dan melaporkan MSE yang sama. Lak-laki melaporkan bahwa mereka memiliki partner yang lebih banyak (M = 3.43, SD = 5.94) daripada perempuan (M = 2.48, SD = 3.91), t(1221) = 3.48, p = .001, dan melakukan seks tanpa kondom lebih sering (M = 0.43, SD = 1.14) daripada perempuan (M = 0.29, SD = 0.87), t(1223) = 2.37, p < .02. laki-laki juga dilaporkan melakukan pencarian sensasi yang lebih banyak daripada perempuan pada Waktu1 dan Waktu2, ts(≥ 1195) ≥ 3.70, ps < .001.

MSE yang semakin tinggi diasosiasikan dengan debut seksual dini, partner seksual yang lebih banyak, frekuensi melakukan seks tanpa kondom, dan tingkat pencarian sensasi pada kedua jenis kelamin, ps < .001. Namun, relasi antara MSE dengan debut seksual, lebih tinggi secara signifikan pada laki-laki, r(595) = −.33, daripada perempuan, r(585) = −.21; z = 2.19, p < .03. terakhir, debut seksual dini diasosiasikan jumlah partner seksual dan frekuensi aktifitas seksual tanpa kondom pada kedu ajenis kelamin.

 

Kesimpulan dan Diskusi

Semakin tingginya MSE dini (sebelum usia 16 tahun) memprediksikan semakin berisikonya perilaku seksual (yaitu semakin tingginya jumlah pasangan seksual seumur hidup dan semakin sering seks kasual tanpa kondom) pada masa dewasa, dan hal tersebut terjadi baik langsung maupun tidak, melalui debut seksual yang dini. Hasil ini mendukung temuan sebelumnya bahwa konsumsi media seksual memprediksikan usia saat debut seksual (e.g., Brown et al., 2006), dan hal itu memperluas temuan yang menunjukkan bahwa MSE memiliki pengaruh yang tetap pada perilaku seksual berisiko pada masa dewasa (Ward et al., 2011). MSE juga memprediksi debut seksual secara tidak langsung melalui bertambahnya pencarian sensasi. Temuan ini menyediakan bukti lebih lanjut bahwa paparan film dengan konten seksual dapat memangselerasi pencapaian normal pada pencarian sensasi selama masa remaja (Steinberg et al., 2008), dengan demikian mempromosikan perilaku berisiko pada umumnya (de Leeuw et al., 2011; Stoolmiller et al., 2010).

Terakhir, pengaruh MSE pada debut seksual dan perilaku seksual berisiko pada Waktu 6 adalah lebih kuat pada laki-laki dibanding anak perempuan, meski pengaruhnya pada pencarian sensasi mirip diantara kedua gender tersebut. Hal tersebut tidak berpengaruh pada ukuran efek MSE pada perilaku seksual pada kisaran medium (|.33|) hingga kecil (|.01|). Namun demikian, efek langsung yang terbesar ditemukan dalam pengaruh MSE pada debut seksual. Hasil-hasil tersebut menyarankan bahwa MSE dapat memberikan pengaruh pada mekanisme mediasi potensial lainnya, seperti perubahan sikap (Brown et al., 2005) atau skrip seksual (Wright, 2011). Bahwa dengan prevalensi MSE diantara remana, kita percaya bahwa bahkan efek kecil MSE pun memiliki implikasi penting untuk kesehatan seksual remaja.

Hasil penelitian ini menyarankan bahwa pembatasan MSE pada remaja akan menunda debut seksual mereka dan juga mengurangi keterkaitan mereka pada perilaku seksual berisiko di kehidupan mereka selanjutnya. Strategi ini dapat melemahkan pengaruh langsung media pada perilaku seksual remaja dengan membatasi akuisisi skrip seksual berisiko dan atau mengurangi kemungkinan aktivasi mereka (Wright, 2011). Sebagai tambahan, pembatasan MSE dapat mengurangi kenaikan dalam pengalaman pencarian sensasi normal selama masa remaja (Steinberg et al., 2008), yang mana, pada gilirannya dapat menunda debut seksual dan selanjutnya keterkaitannya dengan perilaku seksual berrisiko (Arnett, 1994; Donohew et al., 2000). Suatu pendekatan yang menjanjikan adalah melibatkan pendampingan pelatihan medialiterasi pada pendidikan seksual.

 

 

Sumber Jurnal:

O’Hara, Ross E., Frederick X. Gibbons, Meg Gerrard, Zhigang Li,and James D. Sargent (2012). Greater Exposure to Sexual Content in Popular Movies Predicts Earlier Sexual Debut and Increased Sexual Risk Taking. Psychological Science 2012 23: 984 originally published online 18 July 2012 http://pss.sagepub.com/content/23/9/984

Studi Efek Media:

Posted by kurniadhani on October 29, 2014
Psikologi Teknologi (Media) / No Comments

Social Cognitive Theory

(Social Learning, Observational Learning, Modelling)

Studi efek media pada perilaku berisiko pada remaja telah banyak didokumentasikan. Efek media tersebut antara lain pada perilaku-perilaku yang berisiko seperti penggunaan tembakau, alcohol, agresi dan seksual. Dalam pembahasan kali ini, kita akan melihat efek media terhadap perilaku remaja dalam hal perilaku seksual dan penggunaan tembakau.

Melalui teori kognitif sosial Bandura, kita ketahui bahwa individu mempelajari perilaku tertentu dengan cara observasi perilaku yang ditunjukkan oleh orang lain dan kemudian melakukan imitasi. Ada empat subfungsi belajar observasional dari media, yaitu adanya paparan media, adanya kemampuan encoding dalam merepresentasikannya secara kognitif, kemampuan menerjemahkan konsep simbolik menjadi tindakan yang tepat dan adanya motivasi yang berkembang karena penguatan internal maupun eksternal untuk membentuk perilaku tertentu (Harris, 2004).

Studi klasik Bandura dengan menggunakan boneka Bobo (1965) menjelaskan bagaimana pembelajaran observasional melalui film, di mana relevansi media terjadi ketika model dalam media menjadi sumber belajar. Anak-anak TK dipilih secara random dengan jumlah yang sama untuk menonton salah satu dari tiga film, di mana seorang pemeran memukuli sebuah mainan plastic berukuran orang dewasa yang dinamakan boneka Bobo. Film pertama pemeran diberi penghargaan dengan permen, minuman ringan dan pujian untuk perilaku agresif. Film kedua, pemeran dikritik dan dipukul untuk perilaku agresif. Film ketiga, tidak ada konsekuensi untuk perilaku agresifannya. Setelah itu, setiap anak ditinggalkan sendiri dalam ruangn yang berisi mainan, termasuk sebuah boneka Bobo. Perilaku anak-anak tersebut diamati melalui sebuah kaca satu arah. Anak-anak yang menonton film pertama (film egresif dengan reward) dan film ketiga (film agresif tanpa konsekuensi apapun) meniru perilaku agresif lebih banyak daripada anak-anak yang menonton film kedua (film agresif dengan punishment), dan anak laki-laki lebih agresif dibandingkan anak perempuan. Hal ini menunjukkan pembelajaran observasional terjadi sama ekstensifnya pada suatu perilaku baik terdapat penguatan atau tidak. dan Bandura juga mengatakan bahwa apabila seorang anak mengamati suatu perilaku tetapi tidak melakukan suatu respons yang dapat diamati, seseorang tetap mendapatkan respons yang dimodelkan secara kognitif (Santrock, 2009).

Meskipun teori kognitif sosial awanya berkembang untuk meneliti efek kekerasan media pada perilaku, tetapi model ini juga memiliki aplikasi lainnya. Adapun teori ini juga digunakan untuk meneliti aplikasi seperti pemodelan perilaku seksual, perilaku prososial, perilaku konsumen, dan lain-lain (Harris, 2004).

 

Referensi:

Harris, Richard Jackson. 2004. A Cognitive Psychology of Mass Communication. 4th ed. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Santrock, John W. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Humanika.

Unravelling the Web: Adolescent and Internet Addiction’

Posted by kurniadhani on October 21, 2014
Psikologi Teknologi (Media) / No Comments

IMG_20141021_091638 modified

 

Secara khusus, dalam kesempatan ini saya akan membahas subbab yang paling menarik menurut saya dari buku Zheng, Burrow-Sanchez & Clifford  (2010), yaitu:

Bab 3 yang berjudul

Unravelling the Web: Adolescent and Internet Addiction’

 

Bab ini merupakan tulisan dari Widyanto & Griffiths (2010), dua orang peneliti dari Nottingham Trent University, UK. Tulisan ini membahas tentang apa dan bagaimana konsep kecanduan internet itu sebenarnya dan bagaimana penggunaan internet dapat menjadi adiktif dan patologis.

 

Sejarah Kecanduan Internet

Istilah yang digunakan untuk ‘kecanduan internet’ berasal dari istilah ‘kecanduan komputer’ pada masa awal pengembangan teknologi komputer. Kasus kecanduan komputer pertama kali ditemukan pada tahun 1993 di London – Inggris pada seorang tersangka pelaku pembajakan komputer, bernama Paul Bedworth. Ia kemudia dilepaskan dari tuntutan karena hasil pemeriksaan psikologinya menunjukkan penggunaan komputer dalam waktu yang sangat panjang dan tidak normal, dalam laboratorium komputer.

Setelah kasus itu terjadi, Ivan Goldberg, seorang psikiatris, memaksa komunitas psikiatri untuk memikirkan ulang penggunaan istilah dan menciptakan istilah baru yang dilabel sebagai ‘gangguan’: Internet Addiction Dissorder (IAD). Kriteria awal IAD ini menyesuaikan model gangguan penyalahgunaan substansi, dalam Diagnostic and Statistical Manual (DSM).

 

Kecanduan teknologi (internet) dipandang sebagai slah satu perilaku kecanduan dengan fitur intinya adalah:

  1. Saliensi – aktivitas spesifik menjadi hal paling penting dalam hidupnya, mendominasi pikiran, perasaan dan perilakunya
  2. Perubahan suasana hati – seseorang melaporkan perasaan subjektif akibat aktivitas tertentu (misal mengalami buss atau high)
  3. Toleransi – peningkatan jumlah aktivitas yang tidak normal dapat ditoleransi
  4. Gejala penarikan (withdrawal simptom) – perasaan tidak menyenangkan yang dapat diobservasi ketika aktivitasnya dikurangi atau dibatasi (misal, kemurungan atau menjadi iritabel)
  5. Konflik – terjadi konflik antara sesama pecandu, maupun konflik pada internal diri si pecandu
  6. Relaps dan pemulihan – perilaku kecanduan dapat kambuh meski telah lama tidak melakukannya.

 

Griffiths (2000) melakukan penelitian mengenai kecanduan dengan menggunakan enam komponen inti tersebut untuk menjawab pertanyaan: a) apa itu kecanduan?; b) apakah ‘kecanduan’ internet itu ada?; c) bila kecanduan internet ada, pada apa mereka kecanduan? Ia kemudian mendapatkan jababan bahwa kecanduan internet hanya terjadi pada sebagian kecil pengguna internet, dan mereka yang menggunakan internet secara eksesif hanya menggunakan internet sebagai media yang mana mereka dapat terlibat dalam perilaku tertentu.

 

Dalam hal penggunaan internet, kecanduan yang dilaporkan adalah penggunaan secara berlebihan yang mengganggu kehidupan nyata seseorang secara berat, hingga mengabaikan kehidupan nyata karena lebih memilih ‘hidup’ dalam dunia online-nya. Sebagai contoh: seorang ayah yang lupa menjemput anaknya karena terlalu sibuk berpartisipasi dalam forum online; seorang karyawan yang dipecat karena penggunaan internet kantor secara eksesif; seorang alkoholik yang telah sembuh tetapi menggunakan internet secara berlebihan kemudian menipu istrinya, seorang siswa yang peringkatnya turun karena hubungan dengan teman online barunya (Griffiths, 2008). Kebanyakan penelitian mengenai kecanduan internet sebelumnya terkonsentrasi pada sampel pengguna usia dewasa seperti kasus tersebut, meski juga ada sejumlah kecil penelitian pada sampel remaja.

 

Daya Tarik Dunia Online pada Remaja

Salah satu daya tarik internet dari masa ke masa adalah kemampuannya dalam menciptakan suatu hubungan. Kontak dan komunikasi yang berjalan panjang akan menciptakan bentuk dari dasar dukungan sosial. Sebagai contoh, kunjungan dan interaksi rutin pada kelompok online tertentu seperti komunitas atau forum tertentu, akan meningkatkan kemiripan dan kedekatan, yang kemudian rasa berkelompok terbangun. Seperti hal nya kelompok lain, dalam kelompok atau komunitas online juga terdapat norma, kultur, nilai, bahasa dan tanda yang diadaptasi sepanjang waktu.

Intimasi terbangun dengn sangat cepat diantara pengguna online. Peraturan sosial tentang kesopanan dan kecanggungan hilang dalam dunia maya karena pengguna hanya menggunakan inisial atau samara, sehingga masing-masing dapat bertanya apa saja pada siapa saja. Keterbukaan itu lah yang menciptakan intimasi. Anonimitas akan menghilangkan rasa cemas terhadap adanya konfrontasi, penolakan ataupun konsekuensi atas suatu perilaku. Bentuk hubungan seperti itu akan menarik mereka yang memiliki self-esteem dan keterampilan sosial yang rendah untuk terlibat dan membentuk hubungan baru dalam internet.

Penelitian menunjukkan bahwa perubahan self-esteem seseorang berhubungan dengan perubahan signifikan dalam lingkungan sosialnya, seperti pindah ke kota yang baru, berganti pekerjaan, dan pindah sekolah seperti dari siswa menjadi mahasiswa. Seseorang yang memasuki grup online, mereka membangun hubungan dengan yang tidak ada hubungannya dengan relasi offline-nya. Memulai interaksi online akan memberikan mereka kesempatan untuk mengubah elemen-elemen diri (self) yang bisa ia tampilkan, dan ini berarti menghasilkan naiknya perasaan self-worth (McKenna & Bargh, 1998).

 

Mengapa Penggunaan Internet dapat menjadi Eksesif?

Davis (2001) melalui pendekatan kognitif-behavioral menjelaskan bahwa penggunaan internet yang patologis (PIU) diakibatkan oleh kognisi yang bermasalah yang bersamaan dengan perilaku yang meningkatkan respons maladaptif.

Studi yang dilakukan oleh Caplan (2003) menunjukkan bahwa depresi dan loneliness merupakan prediktor signifikan untuk kecenderungan pada interaksi sosial on-line, di mana loneliness memainkan peran yang lebih signifikan dibanding depresi dalam pengembangan penggunaan internet bermasalah.

 

Efek Penggunaan Internet secara Kualitatif

Widianto (2007) melakukan penelitian kualitatif mengenai perbedaan perasaan terhadap self antara offline dan online. Penelitian tersebut menghasilkan beberapa tema besar, yaitu:

  • disinhibition, yaitu pengguna merasakan efek disinhibisi dan merasa lebih percaya diri;
  • anonymity, yaitu seseorang dapat muncul dengan identitas yang berbeda
  • isolation, yaitu perasaan terisolasi ketika menggunakan internet
  • control, yaitu perasaan memiliki kemampuan untuk mengontrol khususnya informasi
  • escape from reality, beberapa pengguna mengatakan bahwa internet memberi mereka kesempatan untuk lari dari realitas.
  • Information access, beberapa partisipan mengatakan tentang kemudahan akses informasi.

 

Kesimpulan

 Dari pembahasan Widyanto dan Griffiths ini diketahui bahwa penelitian mengenai kecanduan internet di kalangan remaja sebenarnya masih sangat sedikit dilakukan. Adapun penelitian mengenai adiksi ditemukan besar pada orang dewasa yang kemudian terjadi juga pada kalangan remaja (generalisasi). Belum jelas diketahui secara perkembangan apakan ada perbedaan atau kesamaan antara adiksiatau kecanduan internet terkait usia. Kesimpulan pembahasan tulisan ini adalah bahwa memang benar bila kecanduan internet memang ada, tetapi mempengaruhi hanya sebagian kecil dari populasi online yang ada, dan hanya ada sedikit sekali bukti bahwa adiksi tersebut problematik di kalangan remaja.

 

 

 

Adolescent Online Social Communication and Behavior

Posted by kurniadhani on October 21, 2014
Psikologi Teknologi (Media) / No Comments

untitled.bmpDunia maya adalah kehidupan ke dua bagi para remaja masa kini. Mereka terlahir di zaman digital. Sedari lahir telah tersentuh dengan berbagai teknologi canggih. Bertambah usia, maka bertambah pula penggunaan media sosialnya. Tuntutan zaman mereka adalah: “eksis atau mati”. Ke arah mana kah pemanfaatan teknologi yang ada di tangan mereka?

 

Kekhawatiran umum pada masyarakat kini adalah potensi dua sisi yang dibawa serta teknologi ini: positif atau patologis.

 

Buku Zheng, Burrow-Sanchez & Drew (ed)(2010) menjelaskan dinamika komunikasi sosial dan perilaku remaja di dunia maya. Buku ini merupakan kumpulan tulisan akademik dari beberapa ahli, yang memberikan pemahaman mendalam mengenai penggunaan internet oleh para remaja. Pembahasan dalam buku ini menekankan pada beberapa aspek seperti bidang perkembangan sosial dan kognitif, karakteristik komunikasi, modus komunikasi, efek patologis dan tentu saja aspek protektif apa saja yang dapat ditempuh.

 

Secara sederhana, per-bab buku ini membahas sebagai berikut:

 

Bab I menjelaskan pengaruh faktor-faktor sosial dan individual pada kebutuhan remaja dan dinamika perilakunya dalam komunikasi online.Kerangka konseptual dalam bab ini menjelaskan perilaku remaja secara online berkaitan erat dengan kebutuhan mereka dalam hal tuntutan perkembangan secara usia, kebutuhan sosial-psikologis, dan tentu saja kognitif.

 

Bab II menjelaskan dampak media internet pada perilaku, hubungan sosial dan pandangan remaja pada dunia. ruang komunikasi yang semakin luas dan lebih kompleks. para remaja menggunakan dan menggabungkan penggunaan surat elektronik, forum-forum online terbuka, ruang obrolan, pesan singkat, hingga jejaring sosial. Penggunaan aplikasi internet untuk komunikasi dengan tujuan berbeda akan menentukan struktur dan isi komunikasi sosial dan asosiasi yang berbeda pula. Perbedaan ruang dan aplikasi juga akan membedakan motivasi di tiap penggunaan aplikasi tertentu dan pemahaman akan dampak dari masing-masing aplikasi tersebut, baik pada penggunaan jenis, ukuran dan kualitas hubungan maupun ikatan dan bagaimana dinamika dalam menciptakan memeliharanya.

 

Bab III menjelaskan dampak patologis dan adiktif dari penggunaan internet yang eksesif.

 

Bab IV menjelaskan proses pembentukan hubungan dalam dunia maya dalam dua konteks, yaitu perkembangan kognitif dan psikososial dengan bagaimana karakteristik teknologi internet. berbagai penelitian mengungkapkan bahwa penggunaan internet pada remaja bertujuan untuk mendukung hubungan yang secara offline sebelumnya telah ada dan penggunaan yang berkaitan dengan pembentukan suatu hubungan yang lebih dekat. Bagi remaja yang membentuk suatu hubungan secara online, mereka menganggap bahwa hubungan tersebut sebagai sebuah hubungan yang dekat atau romantis, tetapi bila dikomparasikan berdasarkan berbagai dimensi hubungan maka kualitas hubungan tersebut sebenarnya lebih lemah dibandingkan hubungan yang terbentuk secara offline.

 

Bab V menjelaskan proses pembentukan identitas sosial remaja yang dipengaruhi oleh internet. pendekatan teoritis yang digunakan untuk memahami peran internet dalam pembangunan identitas seksual remaja. Peranan internet dalam proses sosialisasi seksual remaja dan perkembangan identitas harus mengikutsertakan neurosains (dalam hal ini adalah belahan otak tertentu) remaja dan sifat unik internet sebagai sumber informasi dan sebagai penyedia jejaring sosial.

 

Bab VI khusus membahas tentang aspek hukum terkait jejaring sosial dengan remaja (dalam bahasan ini adalah ‘Second Life’). Aspek-aspek hukum yang diidentifikasi oleh penulis ada empat, yaitu pertama, hubungan aturan sekolah yang tidak bertentangan dengan kebijakan publik akan tetap dijaga; kedua, peraturan maupun kurikulum sekolah yang bertentangan atau tidak sejalan dengan misi nasional pendidikan sekolah dasar akan tidak dijamin oleh pemerintah; ketiga, pesan-pesan yang dibuat di luar institusi sekolah; keempat, tindakan yang menyebabkan maupun berpotensi dapat menyebabkan gangguan serius (‘ancaman serius’) akan tidak dilindungi oleh pemerintah.Dalam bab ini, penulis memaparkan pentingnya peran sekolah dalam pendidikan tentang kesopanan, kebebasan berbicara, gangguan, ancaman, dan bagaimana penggunaan komputer yang tepat.

 

Bab VII memebahas mengenai aspek peraturan yang melindungi anak-anak dalam penggunaan internet. Peraturan ini mengakibatkan turunnya angka penggunaan internet oleh anak-anak, tetapi di pihak lain tanpa menaikkan pemahaman anak mengenai pengetahuan keamanan dalam penggunaan internet.

 

Bab VIII menjelaskan perbedaan konstruk-konstruk diantara remaja dan anak-anak kemudian mempengaruhi perilaku sosial online mereka (seperti pesan singkat, permainan online, dan partisipasi mereka dalam forum tertentu). Ciri-ciri kepribadian seperti persepsi atas rasa sepi hingga fgratifikasi identitas usia, bersama dengan motif penggunaan internet, efek internet pada perilakudan dukungan sosial yang dipersepsikan, merupakan bidang penelitian yang belum banyak dibahas.

 

Bab IX berfokus pada interaksi anatara jejearing sosial dengan penggunaan komputer oleh remaja. perhatian utama ditujkan pada pertanyaan ‘apakah penggunaan komputer secara eksesif akan membuat pengguna mengisolasi diri. Kehidupan interpersonal dan aktivitas komputer pada remaja awal saling mempengaruhi penguatan pola perilaku yang menurunkan kemungkinan perilaku berisiko pada tingkat yang jauh lebih besar daripada keterlibatan orangtua secara langsung. Bab ini juga memberikan saaran untuk para orang dewasa untuk bertanggung jawab pula dalam fokus energi, dan upaya untuk mendukung penggunaan kom puter yang sesuai hingga mempromosikan perilaku pro-sosial remaja di dunia online.

 

Bab X membahas mengenai faktor-faktor protektif yang dapat digunakan oleh orang tua untuk menjaga remaja agar aman saat menggunakan internet.

 

Bab XI mengeksplorasi tentang peran remaja (generasi tahun 2000-an) dalam kepentingan publik atau bagaimana penggunaan jejaring sosial dalam tanggung jawab sosial. temuan dari pembahasan bab ini adalah ternyata para remaja menggunakan jejaring sosial untuk mengambil tindakan sosial hingga politik, terlibat dalam usaha kewirausahaan dan mengadakan promosi ajakan kegiatan amal dan donasi.

 

Bab XII membahas tentang cyberbullying. cyberbulying sendiri memrupakan sebuah fenomena yang sedang merebak di kalangan remaja dan dewasa muda baik sebagai korban maupun sebagai pelaku tindakan melecehkan maupun mengancam melalui penggunaan teknologi seperti email, komunitas internet, jejaring sosial, ruang chat maupun telepon sesluler. fenomena ini sangat berkembang di negara-negara yang berteknologi tinggi seperti Amerika Utara, Eropa dan Asia. Bab ini membahas karakteristik dan kerangka teoritik yang menjabarkan apa dan bagaimana cyberbulying termasuk statistik kasus di dunia, latar belakang dan ciri pelaku dan bagaimana peranan orangtua.

 

Bab XIII membahas tetnang miskonsepsi terhadap generasi digital. Banyak anggapan bahwa generasi digital belajar dengan cara yang berbeda dengan generasi sebelumnya yang lebih tua maupun anak yang belum terpapar komputer. Bab ini memberikan tentang bagaimana mengembangkan kreativitas baik dalam lingkungan tradisional maupun lingkungan digital.

 

Bab XIV membahas tentang perkembangan bahasa anak, ditinjau dari penggunaan ruang chat. Bagaimana ruang chat sebagai media komunikasi dua arah secara real time sering digunakan terhadap perkembangan kemampuan bahasa remaja.

 

Buku:

Zheng. R., Burrow-Sanchez. J. & Clifford., D. 2010. Adolescent Online Social
Communication and Behavior: Relationship Formation on the Internet. Hershey: ISR.

Ada Apa dengan Maya?

Posted by kurniadhani on October 20, 2014
Psikologi Teknologi (Media) / No Comments

IMG_20141021_011249[1]

Riva & Galimberti (2007) menjelaskan hubungan antara perkembangan teknologi komunikasi, pola interaksi manusia, dinamika perilaku manusia dalam ruang-ruang yang diciptakan teknologi komunikasi hingga perkembangan minat psikologi dan studi komunikasi pada fenomena ini.

Perkembangan teknologi informasi mengubah secara radikal pola interaksi manusia. Lingkungan baru yang tercipta dari teknologi ini adalah suatu lingkungan sosial yang baru yang termediasi oleh teknologi informasi. Lingkungan unik ini disebut dengan ruang maya (cyberspace).

Interaksi adalah fitur kunci dari ruang maya, di mana sense dari diri (self) dapat dibangun dan dikontrol. Perasaan baru dari diri dan komunitas bergeser dari yang semula didefinisikan secara kultural (tradisional) menjadi sebuah pengalaman yang termediasi.

Pengalaman interaksi yang termediasi ini mendefinisikan ulang tentang apa itu interaksi. Interaksi yang termediasi mereduksi kehadiran secara fisik, meskipun interaksi berjalan secara langsung seperti melalui telefon maupun panggilan video.

Penggalian potensi positif hingga patologis yang dibawa serta oleh perkembangan teknologi ini kemudian menarik minat para peneliti termasuk dari bidang psikologi dan studi komunikasi untuk turut andil. Peneliti psikologi dan komunikasi melanjutkan minatnya pada dinamika aspek psikologi dan sosial manusia terkait ruang maya, termasuk diantaranya adalah kognisi, neurosains, kecerdasan, identitas, dinamika psikologi individu-kelompok-organisasi dan aspek lainnya.

 

sumber:

Riva. G., & Galimberty. C., 1997. The Psychology of Cyberspace: a sociocognitive framework to computer mediated communication. New Ideas in Psychology, 15 (2), 141-158, 1997.