Merokok = Keren

Posted by kurniadhani on October 29, 2014
Psikologi Teknologi (Media)

Merokok biar kelihatan keren… ya kelihatan… kelihatan kalau korban film…

 

yuk kita bahas jurnal Heatherton dan Sargent (2009) berikut…

 

Apakah Menonton Adegan Merokok dalam Film Mempromosi Remaja untuk Merokok?

 

Latar Belakang

Penelitian ini mengobservasi efek paparan adegan merokok dalam film pada inisiasi remaja untuk merokok. Karena, hampir semua orang tau bahwa merokok adalah penyebab utama kematian di dunia. Setidaknya di Amerika Serikat 2.000 remaja mencoba rokok pertama setiap harinya dan banyak diantaranya yang menjadi perokok regular dan yang kemungkinan besar berkontribusi pada kematian dini. Sehingga, mengapa para remaja mencoba merokok? Adalah hal yang jelas bila pengaruh sosial, seperti teman sebaya atau orangtua yang merokok, memainkan peranan penting dalam inisiasi merokok. Bagaimanapun, banyak anak yang mencoba merokok tampak memiliki beberapa faktor risiko. Sebagai pertanyaan terbuka, apakah seperti faktor lingkungan yang lainnya mendukung remaja untuk merokok.

Film membentuk pandangan tentang apa itu “keren”, apa yang menarik (attractive) dan apa yang berbau “orang dewasa”, yang para remaja ingin lakukan atau menjadi. Sebenarnya, casual observance at any local mall demonstrates bahwa media visual mempengaruhi bagaimana remaja usia belasan berbicara, bagaimana mereka berpakaian dan bagaimana mereka berperilaku. Hal tersebut tampak masuk akal bahwa paparan media dapat mempengaruhi perilaku lainnya. Pendapat penelitian ini (Todd F. Heatherton dan James D. Sargent , 2009) adalah semakin anak mengobservasi adegan merokok dalam film – khususnya ketika merokok ditampilkan oleh actor yang sangat popular yang merupakan role model remaja – semakin tinggi pula kecenderungan mereka untuk merokok.

 

Paparan Adegan Merokok dalam Film

Sekitar 70% film yang diproduksi di AS saat ini mengandung adegan merokok. Sejumlah analisis isi telah menunjukkan bahwa persentase orang dewasa perokok dalam film adalah paling tidak 20 – 25% dari seluruh karakternya, bahwa merokok jarang sekali diasosiasikan pada kesehatan yang buruk dan bahwa para perokok dalam film adalah lebih makmur daripada para perokok AS pada khususnya. Rata-rata, adegan merokok dalam film adalah 1 hingga 2 menit per filmnya. Secara luas anak-anak sangat rentan pada paparan adegan merokok ini. Dapat dikatakan bahwa mayoritas kegiatan merokok yang dilakukan dalam film ditujukan pada para remaja yang lebih tua (i.e.,PG-13 and R films), anak usia kurang dari 14 tahun mungkin mengalami paparan yang lebih rendah pada adegan merokok dalam film. Namun, bukti yang ada menunjukkan bahwa anak pada usia ini menjadi penonton adegan tersebut secara sering meski adegan ini bukan ditujukan untuk audiens muda – televisi satelit, chanel tv kabel, video dan dvd, sangat meningkatkan peluang anak-anak untuk mengakses gambaran dunia dalam layar film.

Hanya baru-baru ini saja bagaimana anak-anak menonton film terdokumentasikan secara luas. Salah satu studi menunjukkan ketersebarluasan penonton film rating-R pada anak-anak usia 10 hingga 14 tahun, dengan beberapa khususnya film kekerasan (seperti film scream) dilaporkan telah ditonton oleh paling tidak separuh dari anak kelas 5 pada sample yang luas (Sargent,Heatherton, et al., 2002). Hampir serupa, studi dengan representasi nasional (using random-digit dialing) pada 6.522 remaja, ditemukan bahwa diperkirakan satu juta orang Amerika berumur 10 tahun dilaporkan telah menonton Scary Movie, yang mana dalam film tersebut kepala seorang cheerleader dipenggal dan kemudian ditemukan dalam loker sekolah (Worth, Chambers, Nassau, Rakhra, & Sargent, 2008). Yang berarti, anak-anak tersebut menonton banyak lagi film-film yang lain (dan banyak sekali kekerasan) – tetapi berapa banyak kah adegan merokok yang mereka tonton dalam film? Studi ini mampu menjawabnya dengan menghubungkan respons remaja pada film yang mereka tonton pada sebuah analisis isi yang mengukur adegan merokok dalam 1000 film (menggunakan pengukuran tervalidasi dengan cermat). Teknik survey membuat peneliti mampu mengestimasi persentase anak-anak yang telah menonton film-film tersebut pada sample nasional yang representative. Pengaplikasian teknik dari bidang pemasaran dan periklanan, kami memperkirakan bahwa 500 film menyampaikan pesan impresi merokok sekitar 144 juta kali pada anak-anak AS usia 10 hingga 14 tahun (Sargent, Tanski, & Gibson, 2007). Singkatnya, anak-anak terpapar dengan tinggi adegan merokok dari film yang mereka tonton.

Tentu saja, konteks gambaran adegan merokok kemungkinan besar berpengaruh secara luas yang mendorong anak-anak untuk merokok. Menyadari salah satu faktor penting: bintang perokok. Pada studi yang sebelumnya dijabarkan, masing-masing dari 30 aktor menyampaikan lebih dari 50 juta impresi adegan merokok. Sebagai contoh, 21 episode Mel Gibson menyampaikan lebih dari 90 juta impresi adegan merokok karena popularitas filmnya. Dalam studi terkini, status merokok pada bintang favorit remaja berrelasi pada sikap remaja dalam merokok (pada remaja yang tidak merokok) dan status merokok remaja (Distefan, Pierce, & Gilpin, 2004; Tickle, Sargent, Dalton, Beach, & Heatherton, 2001).

 

Menonton Film dan Remaja yang Merokok

Beberapa studi meneliti relasi antara adegan merokok yang ditonton remaja dalam film (berdasarkan perkiraan paparan konten merokok dalam film) dan remaja yang merokok. Sebuah penelitian awal pada tahun 2001 menemukan bahwa ada relasi yang kuat antara paparan adegan merokok dalam film dengan inisiasi merokok pada sample yang besar dari remaja Bagian Utara New England (kelas 5 – 8) dan asosiasi statistic ini tetap setelah mengontrol sejumlah faktor risiko tradisional atas merokok (Sargent et al., 2001). Pada remaja yang tidak pernah mencoba rokok, paparan adegan merokok dalam film diasosiasikan pada sikap positif pada penggunaan tembakau dan persepsi pada orang dewasa yang merokok. Studi lanjutan pada remaja yang tidak merokok ditemukan bahwa paparan adegan merokok dalam film sebagai dasar memprediksi inisiasi merokok 1 hingg 2 tahun kemudian (Dalton et al., 2003). Studi follow up menunjukkan bahwa paparan mendahului perilaku – sebuah syarat penting dalam pembentukan argument sebab-akibat. Tentu saja, kira-kira 20% anak dengan paparan tinggi yang mencoba merokok dibandingkan 3% anak dengan paparan rendah yang merokok; relasi ini tetap setelah mengontrol saudara atau teman yang merokok, kecenderungan pengambilan keputusan pada remaja dan kehangatan maternal dan setting terbatas (seperti variable demografi lainnya). Yang menarik, efeknya lebih besar pada anak non-perokok daripada anak yang merokok, menghasilkan pemahaman bahwa efek paparan media berpotensi pada absennya faktor tradisional lainnya.

Untuk menggeneralisasi antara rasa tau kelompok etnik yang berbeda dari region geografis lainnya, survey random-digit-dial telephone longitudinal dilakukan pada 6.522 remaja AS berusia 10 hingga 14 tahun (Sargent et al., 2005). Sample ini merupakan sample representative secara nasional dari poplasi remaja AS. Sekali lagi, remaja dengan tingkat paparan tinggi atas adegan merokok dalam film lebih cenderung untuk mencoba merokok, bahkan setelah secara statistic mengontrol sosiodemografi , teman sebaya yang merokok, kepribadian, gaya asuh dan faktor sosial lainnya. Hasil dari studi ini, dibawah tinjauan, secara luas merefleksikan hasil yang didapat dari sampel New Englan Utara. Pada sample representative AS, telah dikonfirmasi bahwa paparan adeganmerokok dalam film berasosiasi dengan perokok aktif (telah merokok lebih dari 100 batang rokok) diantara remaja selama waktu 2 tahun (Sargent, Stoolmiller, et al., 2007).

Kelompok peneliti lainnya melakukan studi pada remaja North Carolina dan menemukan hubungan longitudinal antara menonton film PG-13 dan rating-R dengan inisiasi merokok (Jackson, Brown, & L’Engle, 2007). Studi yang lain menemukan bahwa remaja Jerman memiliki level paparan yang hampir sama atas adegan merokok dalam film seperti pada remaja AS (sekitar 80% film yang mereka tonton diproduksi dan didistribusikan oleh studio film AS). Remaja Jerman memiliki tingkat merokok yang lebih tinggi, karena Negara tersebut memiliki pembatasan yang lebih sedikit dalam pemasaran tembakau dan merokok di ruang public. Meski demikian, perbedaan cultural dalam pendekatan control tembakau. Remaja Jerman menunjukkan respons yang sama pada adegan rokok dalam film seperti halnya rekan mereka di AS (Hanewinkel & Sargent, 2008). Dengan demikian, ada konsistensi dan reliable fakta yang menunjukkan hubungan kuat antara paparan adegan merokok dalam film dengan perilaku merokok remaja dalam studi longitudan dan antar cultural.

 

 

Efek Moderasi

Untuk menentukan kelompok remaja tertentu yang lebih atau kurang terpapar adegan merokok dalam film dalam studi tersebut, peneliti mencari efek moderasi. Dalam studi longitudinal di New England, remaja dengan tingkat paparan rendah atas orangtua yang merokok secara signifikan lebih responsive pada efek film (Dalton et al., 2003). Pola yang sama juga diobservasi dalam studi longitudinal pada remaja Jerman, menyediakan validasi cross-cultural dari efek moderasi tersebut (Hanewinkel & Sargent, 2008). Efek tersebut menyarankan bahwa remaja yang terekspos gambaran dunia nyata memiliki responsifitas yang lebih sedikit pada gambaran glamor yang ditampilkan oleh film. Dengan cara yang sama, remaja dengan pencarian sensasi rendah kira-kira 12 kali lebih responsive pada gambaran merokok dalam film, moderasi negative lainnya yang merendahkan argument bahwa anak-anak yang banyak menonton adegan merokok berada pada risiko tinggi untuk merokok dikarenakan oleh faktor risiko lainnya yang tidak diukur (Sargent,Stoolmiller, et al., 2007; see Fig. 2). Malahan, hal tersebut tampak bahwa emaja yang berisiko rendah adalah yang paling responsive pada adegan merokok dalam film.

Peneliti lainnya menemukan moderasi yang terlihat melalui ras, dengan remaja Afro Amerika memiliki sedikit atau tidak ada respons sama sekali pada adegan merokok dalam film meskipun pada kenyataannya mereka lebih tinggi 20% hingga 30% untuk terpapar dibanding remaja Kaukasia (Jackson et al., 2007). Fakta bahwa remaja Afro-Amerika tidak responsive dapat dijelaskan, sebagiannya, mengapa mereka memiliki tingkat yang rendah untuk merokok selama masa remaja dibandingkan remaja Kaukasia.

 

Variabel Mediasi

Penelitian terkini mulai mengeksplorasi variable mediasi yang dapat memberikan pemahaman dalam hal bagaimana film mempengaruhi perilaku. Mediator yang dipostulasikan termasuk sikap dan kognisi, seperti halnya faktor lain seperti kegiatan merokok oleh teman-teman sebaya. Sebuah model structural longitudinal yang termasuk sebagai identifikasi variable endogenus sebagai seorang perokok, keyakinan normative tentang merokok dan ekspektansi yang positif terhadap merokok dikembangkan (Tickle, Hull, Sargent, Dalton, & Heatherton, 2006); alur paparan adegan merokok dalam film pada perilaku merokok remaja ditemukan melalui identifikasi sebagai perokok dan melalui ekspentansi positif dan peneliti telah mereplikasi temuan ini dalam penelitian longitudinal ini (Wills, Sargent, Stoolmiller, & Gibbons, 2007; Wills, Sargent, Stoolmiller, Gibbons, & Gerrard, 2008). Hal tersebut secara teoritis masuk akal bahwa melanjutkan paparan adegan merokok dalam film oleh bintang film dapat menambah ekspektansi positif sepanjang waktu, dan hal ini cocok dengan temuan pada asosiasi yang kuat antara melihat adegan merokok dalam film dan sikap yang lebih disukai melalui merokok diantara mereka yang belum pernah merokok (Sargent, Dalton, et al., 2002).

Mediasi menarik lainnya adalah terkait perilaku merokok oleh teman sebaya. Para remaja menonton film bersama teman-teman mereka, karena itu mereka terpapar film secara berkelompok, tidak hanya sendiri. Melihat actor merokok dapat mempengaruhi norma kelompok mengenai merokok. Seorang remaja dalam kelompok yang dengan pertahanan diri yang rendah dapat terdorong untuk mencoba merokok dan menjadi pengaruh yang dekat untuk anggota kelompok lainnya. Dalam scenario ini, kita dapat melihat alur mediasional melalui peningkatan persepsi remaja pada jumlah teman sebaya mereka yang merokok dan hal inilah yang tepatnya apa yang ditemukan (Willset al., 2007, 2008). Namun demikian, dalam poin ini tidak jelas apakah alur mediasional ini berkaitan dengan semakin banyak teman sebaya yang merokok dalam kelompok teman sebaya yang stabil atau pada pergantian afiliasi teman sebaya yang dipengaruhi oleh paparan adegan merokok dalam film.

 

Metode

Studi Eksperimental

Beberapa studi telah menguji efek film atau klip film dengan merokok pada sikap dan kognisi remaja dan dewasa awal. Hasilnya mengindikasikan bahwa paparan singkat atas adegan merokok dalam film dapat mempengaruhi kayakinan dan kognisi mengenai merokok diantara actor, perilaku merokok pada orang lain, dan intensi personal pro-merokok.

Pechman dan Shih (1999) menunjukkan scene remaja pada film Reality Beats; grup control menonton film tersebut tetapi dengan scene merokok yang telah dipotong. Remaja yang menonton scene merokok secara umum memberikan atribut status sosial lebih tinggi pada remaja yang merokok dan juga dilaporkan bahwa ada peningkatan intensi personal untuk merokok. Menariknya, efek yang ditunjukkan keseluruhan film pada intensi personal ditumpulkan dengan menunjukkan tayangan iklan anti merokok sebelum menonton film tersebut. Temuan-temuan itu perlu untuk direplikasi, tetapi mereka memberikan basis untuk mendesak para pembuat film untuk memasukkan iklan anti-rokok di DVD yang terdapat konten merokok. Dal Cin and colleagues (Dal Cin, Gibson, Zanna, Shumate, & Fong, 2007) barubaru ini mempublikasikan sebuah manuskrip yang penting secara teoritik berbasarkan teori transportasi, ide bahwa para penonton dipengaruhi oleh cerita adalah karena identifikasi mereka pada jalan cerita dan karakter. Mereka melihat pada asosiasi implicit antara diri dengan merokok sebagai sebuah fungsi identifikasi pada peran utama yang merokok dan menemukan bahwa identifikasi yang lebih kuat memprediksi sosiasi yang lebih kuat antara diri dengan merokok (baik pada perokok maupun yang tidak) dan menambah intensi untuk merokok(pada perokok). Sebagai tambahan, asosiasi implicit yang lebih kuat antara diri dan merokok secara unik memprediksi peningkatan intensi merokok pada para perokok. Secara bersamaan, penelitian eksperimental yang dipublikasikan hingga kini menambah dukungan pada studi epidemiologi.

 

Kesimpulan

Temuan-temuan yang terangkum di atas memiliki implikasi penting bagi kesehatan public. Pertama, bila film memang merupakan elemen penyebab pada perilaku merokok pada remaja, maka film harus dimonitor sebagaimana kita memonitor paparan lingkungan yang berdampak buruk bagi kesehatan. Peneliti (Todd F. Heatherton dan James D. Sargent , 2009) bekerjasama dengan American Legacy Foundation untuk mempublikasikan laporan tahunan tentang merokok pada hits top box-office di tiap tahunny. Laporan tersebut menyediakan metric yang valid untuk menentukan apakah suatu kemajuan tercipta dengan pengurangan tambilan gambaran merokok pada industry hiburan atau tidak. pada Publikasi terakhir peneliti (Todd F. Heatherton dan James D. Sargent , 2009) menunjukkan penurunan signifikan pada pengurangan penggambaran karakter merokok, khususnya untuk film dengan rating-R.

Isu lain adalah identifikasi dan promosi kebijakan yang dapat mengurangi paparan pada remaja. Berbagai kelompok advokasi kesehatan public (e.g., Smoke Free Movies, http://smokefreemovies.ucsf.edu/) telah mendorong industry film untuk melakukan tindakan sukarela yang akan mengurangi paparan, seperti memberikan rating-R pada film yang berkonten merokok, menyatakan bahwa ada dana yang disediakan oleh industry tembakau, membutuhkan tayangan iklan anti-rokok sebelum diputarnya scene film. Beberapa studio film perorangan telah menerapkan pedoman internal yang dirancang untuk membatasi penggambaran merokok dalam film yang ditujukan untuk remaja, mesipun sebagian besarnya belum. Kelompok lain yang mempromosikan kebijakan untuk mengurangi tayangan merokok dalam film adalah the National Association of Attorneys General (NAAG). NAGG bertugas untuk mensahkan Master Settlement Agreement antara the State Attorneys General dan industry tembakau yang berisi larangan untuk membayar penayangan merek pada filom oleh tiap perushaan tembakau besar.

Sejak kebijakan ini diadopsi, tayangan merek rokok dalam film menurun hingga hampir nol. Barubaru ini, yang sebagian berdasar pada hasil penelitian peneliti (Todd F. Heatherton dan James D. Sargent , 2009), NAGG telah meminta studio film besar untuk menempatkan iklan anti-rokok pada tiap DVD dengan konten merokok. Saran ini telah diterapkan oleh Weinstein Brothers, sebuah perusahaan produksi yang sekarang menempatkan iklan Legacy Founda tion Truths pada semua DVD berkonten merokok. Kita berbahagia untuk mengetahui bahwa temuan penelitian sangat cepat diterapkan pada isnisiatif kebijakan untuk melindungi anak-anak dari film berkonten merokok.

 

Sumber Jurnal:

Todd F. Heatherton and James D. Sargent (2009). Does Watching Smoking in Movies Promote Teenage Smoking?. Current Directions in Psychological Science 2009 18: 63http://cdp.sagepub.com/ content/18/2/63

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.