Monthly Archives: October 2014

Merokok = Keren

Posted by kurniadhani on October 29, 2014
Psikologi Teknologi (Media) / No Comments

Merokok biar kelihatan keren… ya kelihatan… kelihatan kalau korban film…

 

yuk kita bahas jurnal Heatherton dan Sargent (2009) berikut…

 

Apakah Menonton Adegan Merokok dalam Film Mempromosi Remaja untuk Merokok?

 

Latar Belakang

Penelitian ini mengobservasi efek paparan adegan merokok dalam film pada inisiasi remaja untuk merokok. Karena, hampir semua orang tau bahwa merokok adalah penyebab utama kematian di dunia. Setidaknya di Amerika Serikat 2.000 remaja mencoba rokok pertama setiap harinya dan banyak diantaranya yang menjadi perokok regular dan yang kemungkinan besar berkontribusi pada kematian dini. Sehingga, mengapa para remaja mencoba merokok? Adalah hal yang jelas bila pengaruh sosial, seperti teman sebaya atau orangtua yang merokok, memainkan peranan penting dalam inisiasi merokok. Bagaimanapun, banyak anak yang mencoba merokok tampak memiliki beberapa faktor risiko. Sebagai pertanyaan terbuka, apakah seperti faktor lingkungan yang lainnya mendukung remaja untuk merokok.

Film membentuk pandangan tentang apa itu “keren”, apa yang menarik (attractive) dan apa yang berbau “orang dewasa”, yang para remaja ingin lakukan atau menjadi. Sebenarnya, casual observance at any local mall demonstrates bahwa media visual mempengaruhi bagaimana remaja usia belasan berbicara, bagaimana mereka berpakaian dan bagaimana mereka berperilaku. Hal tersebut tampak masuk akal bahwa paparan media dapat mempengaruhi perilaku lainnya. Pendapat penelitian ini (Todd F. Heatherton dan James D. Sargent , 2009) adalah semakin anak mengobservasi adegan merokok dalam film – khususnya ketika merokok ditampilkan oleh actor yang sangat popular yang merupakan role model remaja – semakin tinggi pula kecenderungan mereka untuk merokok.

 

Paparan Adegan Merokok dalam Film

Sekitar 70% film yang diproduksi di AS saat ini mengandung adegan merokok. Sejumlah analisis isi telah menunjukkan bahwa persentase orang dewasa perokok dalam film adalah paling tidak 20 – 25% dari seluruh karakternya, bahwa merokok jarang sekali diasosiasikan pada kesehatan yang buruk dan bahwa para perokok dalam film adalah lebih makmur daripada para perokok AS pada khususnya. Rata-rata, adegan merokok dalam film adalah 1 hingga 2 menit per filmnya. Secara luas anak-anak sangat rentan pada paparan adegan merokok ini. Dapat dikatakan bahwa mayoritas kegiatan merokok yang dilakukan dalam film ditujukan pada para remaja yang lebih tua (i.e.,PG-13 and R films), anak usia kurang dari 14 tahun mungkin mengalami paparan yang lebih rendah pada adegan merokok dalam film. Namun, bukti yang ada menunjukkan bahwa anak pada usia ini menjadi penonton adegan tersebut secara sering meski adegan ini bukan ditujukan untuk audiens muda – televisi satelit, chanel tv kabel, video dan dvd, sangat meningkatkan peluang anak-anak untuk mengakses gambaran dunia dalam layar film.

Hanya baru-baru ini saja bagaimana anak-anak menonton film terdokumentasikan secara luas. Salah satu studi menunjukkan ketersebarluasan penonton film rating-R pada anak-anak usia 10 hingga 14 tahun, dengan beberapa khususnya film kekerasan (seperti film scream) dilaporkan telah ditonton oleh paling tidak separuh dari anak kelas 5 pada sample yang luas (Sargent,Heatherton, et al., 2002). Hampir serupa, studi dengan representasi nasional (using random-digit dialing) pada 6.522 remaja, ditemukan bahwa diperkirakan satu juta orang Amerika berumur 10 tahun dilaporkan telah menonton Scary Movie, yang mana dalam film tersebut kepala seorang cheerleader dipenggal dan kemudian ditemukan dalam loker sekolah (Worth, Chambers, Nassau, Rakhra, & Sargent, 2008). Yang berarti, anak-anak tersebut menonton banyak lagi film-film yang lain (dan banyak sekali kekerasan) – tetapi berapa banyak kah adegan merokok yang mereka tonton dalam film? Studi ini mampu menjawabnya dengan menghubungkan respons remaja pada film yang mereka tonton pada sebuah analisis isi yang mengukur adegan merokok dalam 1000 film (menggunakan pengukuran tervalidasi dengan cermat). Teknik survey membuat peneliti mampu mengestimasi persentase anak-anak yang telah menonton film-film tersebut pada sample nasional yang representative. Pengaplikasian teknik dari bidang pemasaran dan periklanan, kami memperkirakan bahwa 500 film menyampaikan pesan impresi merokok sekitar 144 juta kali pada anak-anak AS usia 10 hingga 14 tahun (Sargent, Tanski, & Gibson, 2007). Singkatnya, anak-anak terpapar dengan tinggi adegan merokok dari film yang mereka tonton.

Tentu saja, konteks gambaran adegan merokok kemungkinan besar berpengaruh secara luas yang mendorong anak-anak untuk merokok. Menyadari salah satu faktor penting: bintang perokok. Pada studi yang sebelumnya dijabarkan, masing-masing dari 30 aktor menyampaikan lebih dari 50 juta impresi adegan merokok. Sebagai contoh, 21 episode Mel Gibson menyampaikan lebih dari 90 juta impresi adegan merokok karena popularitas filmnya. Dalam studi terkini, status merokok pada bintang favorit remaja berrelasi pada sikap remaja dalam merokok (pada remaja yang tidak merokok) dan status merokok remaja (Distefan, Pierce, & Gilpin, 2004; Tickle, Sargent, Dalton, Beach, & Heatherton, 2001).

 

Menonton Film dan Remaja yang Merokok

Beberapa studi meneliti relasi antara adegan merokok yang ditonton remaja dalam film (berdasarkan perkiraan paparan konten merokok dalam film) dan remaja yang merokok. Sebuah penelitian awal pada tahun 2001 menemukan bahwa ada relasi yang kuat antara paparan adegan merokok dalam film dengan inisiasi merokok pada sample yang besar dari remaja Bagian Utara New England (kelas 5 – 8) dan asosiasi statistic ini tetap setelah mengontrol sejumlah faktor risiko tradisional atas merokok (Sargent et al., 2001). Pada remaja yang tidak pernah mencoba rokok, paparan adegan merokok dalam film diasosiasikan pada sikap positif pada penggunaan tembakau dan persepsi pada orang dewasa yang merokok. Studi lanjutan pada remaja yang tidak merokok ditemukan bahwa paparan adegan merokok dalam film sebagai dasar memprediksi inisiasi merokok 1 hingg 2 tahun kemudian (Dalton et al., 2003). Studi follow up menunjukkan bahwa paparan mendahului perilaku – sebuah syarat penting dalam pembentukan argument sebab-akibat. Tentu saja, kira-kira 20% anak dengan paparan tinggi yang mencoba merokok dibandingkan 3% anak dengan paparan rendah yang merokok; relasi ini tetap setelah mengontrol saudara atau teman yang merokok, kecenderungan pengambilan keputusan pada remaja dan kehangatan maternal dan setting terbatas (seperti variable demografi lainnya). Yang menarik, efeknya lebih besar pada anak non-perokok daripada anak yang merokok, menghasilkan pemahaman bahwa efek paparan media berpotensi pada absennya faktor tradisional lainnya.

Untuk menggeneralisasi antara rasa tau kelompok etnik yang berbeda dari region geografis lainnya, survey random-digit-dial telephone longitudinal dilakukan pada 6.522 remaja AS berusia 10 hingga 14 tahun (Sargent et al., 2005). Sample ini merupakan sample representative secara nasional dari poplasi remaja AS. Sekali lagi, remaja dengan tingkat paparan tinggi atas adegan merokok dalam film lebih cenderung untuk mencoba merokok, bahkan setelah secara statistic mengontrol sosiodemografi , teman sebaya yang merokok, kepribadian, gaya asuh dan faktor sosial lainnya. Hasil dari studi ini, dibawah tinjauan, secara luas merefleksikan hasil yang didapat dari sampel New Englan Utara. Pada sample representative AS, telah dikonfirmasi bahwa paparan adeganmerokok dalam film berasosiasi dengan perokok aktif (telah merokok lebih dari 100 batang rokok) diantara remaja selama waktu 2 tahun (Sargent, Stoolmiller, et al., 2007).

Kelompok peneliti lainnya melakukan studi pada remaja North Carolina dan menemukan hubungan longitudinal antara menonton film PG-13 dan rating-R dengan inisiasi merokok (Jackson, Brown, & L’Engle, 2007). Studi yang lain menemukan bahwa remaja Jerman memiliki level paparan yang hampir sama atas adegan merokok dalam film seperti pada remaja AS (sekitar 80% film yang mereka tonton diproduksi dan didistribusikan oleh studio film AS). Remaja Jerman memiliki tingkat merokok yang lebih tinggi, karena Negara tersebut memiliki pembatasan yang lebih sedikit dalam pemasaran tembakau dan merokok di ruang public. Meski demikian, perbedaan cultural dalam pendekatan control tembakau. Remaja Jerman menunjukkan respons yang sama pada adegan rokok dalam film seperti halnya rekan mereka di AS (Hanewinkel & Sargent, 2008). Dengan demikian, ada konsistensi dan reliable fakta yang menunjukkan hubungan kuat antara paparan adegan merokok dalam film dengan perilaku merokok remaja dalam studi longitudan dan antar cultural.

 

 

Efek Moderasi

Untuk menentukan kelompok remaja tertentu yang lebih atau kurang terpapar adegan merokok dalam film dalam studi tersebut, peneliti mencari efek moderasi. Dalam studi longitudinal di New England, remaja dengan tingkat paparan rendah atas orangtua yang merokok secara signifikan lebih responsive pada efek film (Dalton et al., 2003). Pola yang sama juga diobservasi dalam studi longitudinal pada remaja Jerman, menyediakan validasi cross-cultural dari efek moderasi tersebut (Hanewinkel & Sargent, 2008). Efek tersebut menyarankan bahwa remaja yang terekspos gambaran dunia nyata memiliki responsifitas yang lebih sedikit pada gambaran glamor yang ditampilkan oleh film. Dengan cara yang sama, remaja dengan pencarian sensasi rendah kira-kira 12 kali lebih responsive pada gambaran merokok dalam film, moderasi negative lainnya yang merendahkan argument bahwa anak-anak yang banyak menonton adegan merokok berada pada risiko tinggi untuk merokok dikarenakan oleh faktor risiko lainnya yang tidak diukur (Sargent,Stoolmiller, et al., 2007; see Fig. 2). Malahan, hal tersebut tampak bahwa emaja yang berisiko rendah adalah yang paling responsive pada adegan merokok dalam film.

Peneliti lainnya menemukan moderasi yang terlihat melalui ras, dengan remaja Afro Amerika memiliki sedikit atau tidak ada respons sama sekali pada adegan merokok dalam film meskipun pada kenyataannya mereka lebih tinggi 20% hingga 30% untuk terpapar dibanding remaja Kaukasia (Jackson et al., 2007). Fakta bahwa remaja Afro-Amerika tidak responsive dapat dijelaskan, sebagiannya, mengapa mereka memiliki tingkat yang rendah untuk merokok selama masa remaja dibandingkan remaja Kaukasia.

 

Variabel Mediasi

Penelitian terkini mulai mengeksplorasi variable mediasi yang dapat memberikan pemahaman dalam hal bagaimana film mempengaruhi perilaku. Mediator yang dipostulasikan termasuk sikap dan kognisi, seperti halnya faktor lain seperti kegiatan merokok oleh teman-teman sebaya. Sebuah model structural longitudinal yang termasuk sebagai identifikasi variable endogenus sebagai seorang perokok, keyakinan normative tentang merokok dan ekspektansi yang positif terhadap merokok dikembangkan (Tickle, Hull, Sargent, Dalton, & Heatherton, 2006); alur paparan adegan merokok dalam film pada perilaku merokok remaja ditemukan melalui identifikasi sebagai perokok dan melalui ekspentansi positif dan peneliti telah mereplikasi temuan ini dalam penelitian longitudinal ini (Wills, Sargent, Stoolmiller, & Gibbons, 2007; Wills, Sargent, Stoolmiller, Gibbons, & Gerrard, 2008). Hal tersebut secara teoritis masuk akal bahwa melanjutkan paparan adegan merokok dalam film oleh bintang film dapat menambah ekspektansi positif sepanjang waktu, dan hal ini cocok dengan temuan pada asosiasi yang kuat antara melihat adegan merokok dalam film dan sikap yang lebih disukai melalui merokok diantara mereka yang belum pernah merokok (Sargent, Dalton, et al., 2002).

Mediasi menarik lainnya adalah terkait perilaku merokok oleh teman sebaya. Para remaja menonton film bersama teman-teman mereka, karena itu mereka terpapar film secara berkelompok, tidak hanya sendiri. Melihat actor merokok dapat mempengaruhi norma kelompok mengenai merokok. Seorang remaja dalam kelompok yang dengan pertahanan diri yang rendah dapat terdorong untuk mencoba merokok dan menjadi pengaruh yang dekat untuk anggota kelompok lainnya. Dalam scenario ini, kita dapat melihat alur mediasional melalui peningkatan persepsi remaja pada jumlah teman sebaya mereka yang merokok dan hal inilah yang tepatnya apa yang ditemukan (Willset al., 2007, 2008). Namun demikian, dalam poin ini tidak jelas apakah alur mediasional ini berkaitan dengan semakin banyak teman sebaya yang merokok dalam kelompok teman sebaya yang stabil atau pada pergantian afiliasi teman sebaya yang dipengaruhi oleh paparan adegan merokok dalam film.

 

Metode

Studi Eksperimental

Beberapa studi telah menguji efek film atau klip film dengan merokok pada sikap dan kognisi remaja dan dewasa awal. Hasilnya mengindikasikan bahwa paparan singkat atas adegan merokok dalam film dapat mempengaruhi kayakinan dan kognisi mengenai merokok diantara actor, perilaku merokok pada orang lain, dan intensi personal pro-merokok.

Pechman dan Shih (1999) menunjukkan scene remaja pada film Reality Beats; grup control menonton film tersebut tetapi dengan scene merokok yang telah dipotong. Remaja yang menonton scene merokok secara umum memberikan atribut status sosial lebih tinggi pada remaja yang merokok dan juga dilaporkan bahwa ada peningkatan intensi personal untuk merokok. Menariknya, efek yang ditunjukkan keseluruhan film pada intensi personal ditumpulkan dengan menunjukkan tayangan iklan anti merokok sebelum menonton film tersebut. Temuan-temuan itu perlu untuk direplikasi, tetapi mereka memberikan basis untuk mendesak para pembuat film untuk memasukkan iklan anti-rokok di DVD yang terdapat konten merokok. Dal Cin and colleagues (Dal Cin, Gibson, Zanna, Shumate, & Fong, 2007) barubaru ini mempublikasikan sebuah manuskrip yang penting secara teoritik berbasarkan teori transportasi, ide bahwa para penonton dipengaruhi oleh cerita adalah karena identifikasi mereka pada jalan cerita dan karakter. Mereka melihat pada asosiasi implicit antara diri dengan merokok sebagai sebuah fungsi identifikasi pada peran utama yang merokok dan menemukan bahwa identifikasi yang lebih kuat memprediksi sosiasi yang lebih kuat antara diri dengan merokok (baik pada perokok maupun yang tidak) dan menambah intensi untuk merokok(pada perokok). Sebagai tambahan, asosiasi implicit yang lebih kuat antara diri dan merokok secara unik memprediksi peningkatan intensi merokok pada para perokok. Secara bersamaan, penelitian eksperimental yang dipublikasikan hingga kini menambah dukungan pada studi epidemiologi.

 

Kesimpulan

Temuan-temuan yang terangkum di atas memiliki implikasi penting bagi kesehatan public. Pertama, bila film memang merupakan elemen penyebab pada perilaku merokok pada remaja, maka film harus dimonitor sebagaimana kita memonitor paparan lingkungan yang berdampak buruk bagi kesehatan. Peneliti (Todd F. Heatherton dan James D. Sargent , 2009) bekerjasama dengan American Legacy Foundation untuk mempublikasikan laporan tahunan tentang merokok pada hits top box-office di tiap tahunny. Laporan tersebut menyediakan metric yang valid untuk menentukan apakah suatu kemajuan tercipta dengan pengurangan tambilan gambaran merokok pada industry hiburan atau tidak. pada Publikasi terakhir peneliti (Todd F. Heatherton dan James D. Sargent , 2009) menunjukkan penurunan signifikan pada pengurangan penggambaran karakter merokok, khususnya untuk film dengan rating-R.

Isu lain adalah identifikasi dan promosi kebijakan yang dapat mengurangi paparan pada remaja. Berbagai kelompok advokasi kesehatan public (e.g., Smoke Free Movies, http://smokefreemovies.ucsf.edu/) telah mendorong industry film untuk melakukan tindakan sukarela yang akan mengurangi paparan, seperti memberikan rating-R pada film yang berkonten merokok, menyatakan bahwa ada dana yang disediakan oleh industry tembakau, membutuhkan tayangan iklan anti-rokok sebelum diputarnya scene film. Beberapa studio film perorangan telah menerapkan pedoman internal yang dirancang untuk membatasi penggambaran merokok dalam film yang ditujukan untuk remaja, mesipun sebagian besarnya belum. Kelompok lain yang mempromosikan kebijakan untuk mengurangi tayangan merokok dalam film adalah the National Association of Attorneys General (NAAG). NAGG bertugas untuk mensahkan Master Settlement Agreement antara the State Attorneys General dan industry tembakau yang berisi larangan untuk membayar penayangan merek pada filom oleh tiap perushaan tembakau besar.

Sejak kebijakan ini diadopsi, tayangan merek rokok dalam film menurun hingga hampir nol. Barubaru ini, yang sebagian berdasar pada hasil penelitian peneliti (Todd F. Heatherton dan James D. Sargent , 2009), NAGG telah meminta studio film besar untuk menempatkan iklan anti-rokok pada tiap DVD dengan konten merokok. Saran ini telah diterapkan oleh Weinstein Brothers, sebuah perusahaan produksi yang sekarang menempatkan iklan Legacy Founda tion Truths pada semua DVD berkonten merokok. Kita berbahagia untuk mengetahui bahwa temuan penelitian sangat cepat diterapkan pada isnisiatif kebijakan untuk melindungi anak-anak dari film berkonten merokok.

 

Sumber Jurnal:

Todd F. Heatherton and James D. Sargent (2009). Does Watching Smoking in Movies Promote Teenage Smoking?. Current Directions in Psychological Science 2009 18: 63http://cdp.sagepub.com/ content/18/2/63

 

Paparan Konten Seksual yang Lebih Tinggi dalam Film Populer Memprediksi Debut Seksual Dini dan Meningkatkan Perilaku Seksual Berisiko

Posted by kurniadhani on October 29, 2014
Psikologi Teknologi (Media) / No Comments

Apa iya sih?

Yuk kita bahas jurnal penelitian O’Hara, Ross E., Frederick X. Gibbons, Meg Gerrard, Zhigang Li,dan James D. Sargent (2012) berikut.

 

Greater Exposure to Sexual Content in Popular Movies Predicts Earlier Sexual Debut and Increased Sexual Risk Taking

 

Latar Belakang

Penelitian ini mempelajari tentang pengaruh media pada perilaku seksual remaja, termasuk usia mereka pada debut seksualnya, dan pengambilan risiko seksual selanjutnya. Debut seksual dini berhubungan dengan bertambahnya jumlah pasangan seksual dan penggunaan kondom yang inkonsisten, serta peningkatan risiko penularan infeksi seksual (Sexual Transmitted Infections – STIs; Kaestle, Halpern, Miller, & Ford, 2005).

Salah satu pengaruh signifikan pada perilaku seksual berisiko kemungkinan adalah media (Wright, 2011) – khususnya paparan konten seksual film atau movie sexual exposure (MSE). Pada studi yang dilaporkan berikut ini, Ross E. O’Hara, Frederick X. Gibbons, Meg Gerrard, Zhigang Li,and James D. Sargent (2012), meneliti hubungan MSE dengan debut seksual dan perilaku seksual berisiko, baik secara langsung atau tidak melalui perubahan pencarian sensasi. Efek media pada perilaku berisiko remaja, termasuk penggunaan tembakau (National Cancer Institute, 2008), penggunaan alcohol (P. Anderson, de Bruijn, Angus, Gordon, & Hastings, 2009), dan agresi (C. A. Anderson et al., 2003), telah didokumentasikan secara luas. Akantetapi pengaruh media pada perilaku seksual remaja masih belum banyak dikenal.

Wright (2011) mengemukakan bahwa pengaruh media pada perilaku seksual didorong oleh adanya akuisisi dan aktivasi skrip seksual. Skrip tersebut menyediakan pilihan perilaku dalam situasi sosial, termasuk yang mendorong pada perilaku seksual dan konten skrip seringkali dipengaruhi oleh media. Film umumnya menawarkan pesan seksual yang permisif dan berisiko (Gunasekera et al., 2005; Nalkur et al., 2010), dan paparan konten seksual yang tinggi telah terbukti lebih dapat memprediksi sikap seksual yang permisif (Bleakley, Hennessy, Fishbein, Coles, & Jordan, 2009; Brown, Halpern, & L’Engle, 2005). Lebih lanjut, para remaja seringkali mencari media seksual, mungkin untuk mempelajari skrip tersebut (Brown et al., 2005). Bahkan, 57% remaja AS (usia 14-16 tahun) dilaporkan menggunakan media sebagai media primer untuk mencari informasi seksual (Bleakley et al., 2009).

Pencarian sensasi meningkat semasa remaja, memuncak antara umur 10 dan 15 tahun, dan kemudian menurun hingga remaja akhir (Steinberg et al., 2008). Pencarian sensasi yang terbesar diasosiasikan pada dua hal yaitu debut seksual dini (Donohew et al., 2000) dan kemudian lebih sering berpengaruh pada seks kasual masa dewasa (Arnett, 1994). Penting untuk dipahami bahwa pencarian sensasi meningkat karena faktor biologis dan sosialisasi (Arnett, 1994), yang mengatakan bahwa lingkungan mempengaruhinya, seperti MSE, dapat mempengaruhi perkembangan ciri atau sifat ini.

Studi efek film pada perilaku seksual telah dilakukan secara longitudinal. Durasi analisis data yang terkumpul pada studi ini membuat penelitian ini mampu menguji debut seksual dan keluaran dari debut seksual yang dapat ditunjukkan pada STi atau kehamilan yang tidak diinginkan. Dan terakhir, studi ini adalah yang pertama dalam menguji apakah efek media yang berpengaruh dalam perilaku seksual berisiko dimediasi oleh perubahan pencarian sensasi. Secara khusus, hipotesis penelitian ini adalah:

  • Hipotesis 1: MSE awal memprediksikan usia saat debut seksual, sebuah efek yang dimediasi oleh bertambahnya pencarian sensasi.
  • Hipotesis 2: MSE awal memprediksikan keterkaitan dalam perilaku seksual berisiko (seperti bertambahnya jumlah pasangan seksual dan frekuensi seks kasual tanpa kondom) setidaknya kira-kira 6 tahun kemudian, sebuah efek yang dimediasi oleh usia saat debut seksual.

 

Metode

Subjek dan Prosedur

Data dikumpulkan dalam enam gelombang studi longitudinal yang berputar dari Juni 2003 hingga Oktober 2009. Pada Waktu 1, data dikumpulkan dalam random-digit-dial telephone survey pada 6.522 remaja dari usia 10 hingga 14 tahun, yang tinggal di AS. Berikutnya, tiga survey follow up diadakan kira-kira setiap 8 bulan; follow up final kedua diadakan kira-kira 5 hingga 7 tahun setelah Waktu 1. Pada Waktu 6, 2.718 partisipan merespon (38,2% yang berhak), tetapi hanya partisipan yang berusia 18 tahun atau lebih (n=1.300) yang ditanya untuk melaporkan perilaku seksual mereka. Untuk memastikan bahwa MSE telah terjadi sebelum debut seksual, kami mengghilangkan dari partisipan analisis siapa yang debut seksualnya terjadi sebelum Waktu 2 (n=72), di mana menyisakan sample akhir 1.228 partisipan. Patisipan pada sample akhir adalah antara 12 dan 14 tahun pada Waktu 1 (M= 12,89 tahun, SD:0,79) dan antara 18 dan 21 tahun pada Waktu 6 (M= 19,90 tahun, SD=0,81). Sample itu terdiri dari 611 orang laki-laki (49,8%) dan 617 wanita (50,2%); 891 adalah European American (72.6%), 159 adalah Hispanic (12.9%), 71 adalah African American (5.8%), and 107 berlatarbelakang rasa tau etnik (8.7%). Partisipan yang hilang pada saat follow up berisiko lebih tinggi pada debut seksual dini dan keterkaitannya dengan perilaku seksual berisiko pada Waktu 1 daripada mereka yang tetap sebagai sample. Partisipan yang tidak bertahan dilaporkan memiliki MSE dan pencarian sensasi yang lebih tinggi dan tanggapan maternal yang lebih rendah, dan lebih mungkin untuk memiliki televisi di kamarnya (ps, 0,01). Juga, secara signifikan lebih minoritas dari daripada Eropean American yang hilang pada follow u0 (p, 0,02).

 

Teknik Pengumpulan Data

MSE diukur dengan menggunakan metode Beach. Pada Waktu1, 523 film top-grossing rilis antara 1998 dan 2003 dikoding pada sejumlah konten seksual kedua, yang didefenisikan sebagai contoh perilaku seksual, seperti ciuman berat atau senggama. Setiap film di-rate oleh satu dari dua coder yang terlatih, dan 10% dari subsample film yang random di koding ganda (double-coded) (interrated agreement: r=0,92). Setiap partisipan menerima daftar unik dari 50 film yan dipilih secara random dari kelompok yang lebih besar dan partisipan melaporkan film mana saja yang telah mereka tonton.

Pencarian Sensasi (sensations seeking) diukur dengan skala empat-item yang didesain untuk anak-anak (Waktu 1: α = .60; Waktu 2: α = .58;   Stephenson, Hoyle, Palmgreen, & Slater, 2003). Partisipan memberikan respon pada tiap item menggunakan skala mulai 1 hingga 4, dengan nilai lebih tinggi mengindikasikan tingginya pencarian sensasi.

Usia saat debut seksual dilaporkan oleh partisipan pada saat Waktu 6. Perilaku seksual berisiko diukur pada Waktu 6 dan terdiri dari dua komponen, yaitu: jumlah seumur hidup dari rekan seksual oral dan vaginal (respons terbuka) dan jumlah seks kasual (didefinisikan sebagai seks vaginal yang tidak dengan “pasangan kencan serius”) tanpa kondom (dilaporkan menggunakan skala mulai dari 0, tidak pernah, hingga 5, lima kali atau lebih). Skor kedua item direkam kedalam variable ordinal dan dikombinasikan, α = 0,62.

Kovariat yang berhubungan dengan MSE dan perilaku seksual (termasuk pencarian sensasi) diukur pada Waktu 1. Gender, ras dan usia dilaporkan oleh orangtua partisipan. Partisipan melaporkan seberapa sering mereka menghadiri gereja atau yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan, berapa banyak waktu untuk menonton televisi setiap harinya, apakah mereka memiliki televisi di kamar tidurnya, dan dengan siapa mereka tinggal (sebuah ukuran untuk mengkode struktur keluarga sebagai sesuatu yang lengkap atau terbagi).

 

Hasil

Nilai media MSE adalah 0.93 hr (interquartile range: 0.43 hr–1.32 hr). pencarian sensasi secara umum rendah, M = 7.90 (SD = 2.39) Pada Waktu1 dan M = 8.07 (SD = 2.32) pada Waktu2. Pada Waktu6, 774 participan (63.0%) melakukan debut seksual: 40 (5.2%) sebelum usia 15, 79 (10.2%) pada usia 15, 190 (24.5%) pada usia 16, 223 (28.8%) pada usia 17, dan 242 (31.2%) pada usia 18 atau lebih. Diantara Partisipan yang aktif secara seksual, jumlah rata-rata pasangan seksual seumur hidup adalah 2 (interquartile range: 1–4 partners), dan 195 dari participan (25.2%) melaporkan bahwa mereka melakukan seks tanpa kondom.

Perbedaan gender peserta laki-laki dan perempuan sama-sama cenderung memiliki seksual memulai debutnya dengan Waktu6; dan lagi, pria dan wanita secara seksual debutnya di sekitar usia yang sama dan melaporkan MSE yang sama. Lak-laki melaporkan bahwa mereka memiliki partner yang lebih banyak (M = 3.43, SD = 5.94) daripada perempuan (M = 2.48, SD = 3.91), t(1221) = 3.48, p = .001, dan melakukan seks tanpa kondom lebih sering (M = 0.43, SD = 1.14) daripada perempuan (M = 0.29, SD = 0.87), t(1223) = 2.37, p < .02. laki-laki juga dilaporkan melakukan pencarian sensasi yang lebih banyak daripada perempuan pada Waktu1 dan Waktu2, ts(≥ 1195) ≥ 3.70, ps < .001.

MSE yang semakin tinggi diasosiasikan dengan debut seksual dini, partner seksual yang lebih banyak, frekuensi melakukan seks tanpa kondom, dan tingkat pencarian sensasi pada kedua jenis kelamin, ps < .001. Namun, relasi antara MSE dengan debut seksual, lebih tinggi secara signifikan pada laki-laki, r(595) = −.33, daripada perempuan, r(585) = −.21; z = 2.19, p < .03. terakhir, debut seksual dini diasosiasikan jumlah partner seksual dan frekuensi aktifitas seksual tanpa kondom pada kedu ajenis kelamin.

 

Kesimpulan dan Diskusi

Semakin tingginya MSE dini (sebelum usia 16 tahun) memprediksikan semakin berisikonya perilaku seksual (yaitu semakin tingginya jumlah pasangan seksual seumur hidup dan semakin sering seks kasual tanpa kondom) pada masa dewasa, dan hal tersebut terjadi baik langsung maupun tidak, melalui debut seksual yang dini. Hasil ini mendukung temuan sebelumnya bahwa konsumsi media seksual memprediksikan usia saat debut seksual (e.g., Brown et al., 2006), dan hal itu memperluas temuan yang menunjukkan bahwa MSE memiliki pengaruh yang tetap pada perilaku seksual berisiko pada masa dewasa (Ward et al., 2011). MSE juga memprediksi debut seksual secara tidak langsung melalui bertambahnya pencarian sensasi. Temuan ini menyediakan bukti lebih lanjut bahwa paparan film dengan konten seksual dapat memangselerasi pencapaian normal pada pencarian sensasi selama masa remaja (Steinberg et al., 2008), dengan demikian mempromosikan perilaku berisiko pada umumnya (de Leeuw et al., 2011; Stoolmiller et al., 2010).

Terakhir, pengaruh MSE pada debut seksual dan perilaku seksual berisiko pada Waktu 6 adalah lebih kuat pada laki-laki dibanding anak perempuan, meski pengaruhnya pada pencarian sensasi mirip diantara kedua gender tersebut. Hal tersebut tidak berpengaruh pada ukuran efek MSE pada perilaku seksual pada kisaran medium (|.33|) hingga kecil (|.01|). Namun demikian, efek langsung yang terbesar ditemukan dalam pengaruh MSE pada debut seksual. Hasil-hasil tersebut menyarankan bahwa MSE dapat memberikan pengaruh pada mekanisme mediasi potensial lainnya, seperti perubahan sikap (Brown et al., 2005) atau skrip seksual (Wright, 2011). Bahwa dengan prevalensi MSE diantara remana, kita percaya bahwa bahkan efek kecil MSE pun memiliki implikasi penting untuk kesehatan seksual remaja.

Hasil penelitian ini menyarankan bahwa pembatasan MSE pada remaja akan menunda debut seksual mereka dan juga mengurangi keterkaitan mereka pada perilaku seksual berisiko di kehidupan mereka selanjutnya. Strategi ini dapat melemahkan pengaruh langsung media pada perilaku seksual remaja dengan membatasi akuisisi skrip seksual berisiko dan atau mengurangi kemungkinan aktivasi mereka (Wright, 2011). Sebagai tambahan, pembatasan MSE dapat mengurangi kenaikan dalam pengalaman pencarian sensasi normal selama masa remaja (Steinberg et al., 2008), yang mana, pada gilirannya dapat menunda debut seksual dan selanjutnya keterkaitannya dengan perilaku seksual berrisiko (Arnett, 1994; Donohew et al., 2000). Suatu pendekatan yang menjanjikan adalah melibatkan pendampingan pelatihan medialiterasi pada pendidikan seksual.

 

 

Sumber Jurnal:

O’Hara, Ross E., Frederick X. Gibbons, Meg Gerrard, Zhigang Li,and James D. Sargent (2012). Greater Exposure to Sexual Content in Popular Movies Predicts Earlier Sexual Debut and Increased Sexual Risk Taking. Psychological Science 2012 23: 984 originally published online 18 July 2012 http://pss.sagepub.com/content/23/9/984

Studi Efek Media:

Posted by kurniadhani on October 29, 2014
Psikologi Teknologi (Media) / No Comments

Social Cognitive Theory

(Social Learning, Observational Learning, Modelling)

Studi efek media pada perilaku berisiko pada remaja telah banyak didokumentasikan. Efek media tersebut antara lain pada perilaku-perilaku yang berisiko seperti penggunaan tembakau, alcohol, agresi dan seksual. Dalam pembahasan kali ini, kita akan melihat efek media terhadap perilaku remaja dalam hal perilaku seksual dan penggunaan tembakau.

Melalui teori kognitif sosial Bandura, kita ketahui bahwa individu mempelajari perilaku tertentu dengan cara observasi perilaku yang ditunjukkan oleh orang lain dan kemudian melakukan imitasi. Ada empat subfungsi belajar observasional dari media, yaitu adanya paparan media, adanya kemampuan encoding dalam merepresentasikannya secara kognitif, kemampuan menerjemahkan konsep simbolik menjadi tindakan yang tepat dan adanya motivasi yang berkembang karena penguatan internal maupun eksternal untuk membentuk perilaku tertentu (Harris, 2004).

Studi klasik Bandura dengan menggunakan boneka Bobo (1965) menjelaskan bagaimana pembelajaran observasional melalui film, di mana relevansi media terjadi ketika model dalam media menjadi sumber belajar. Anak-anak TK dipilih secara random dengan jumlah yang sama untuk menonton salah satu dari tiga film, di mana seorang pemeran memukuli sebuah mainan plastic berukuran orang dewasa yang dinamakan boneka Bobo. Film pertama pemeran diberi penghargaan dengan permen, minuman ringan dan pujian untuk perilaku agresif. Film kedua, pemeran dikritik dan dipukul untuk perilaku agresif. Film ketiga, tidak ada konsekuensi untuk perilaku agresifannya. Setelah itu, setiap anak ditinggalkan sendiri dalam ruangn yang berisi mainan, termasuk sebuah boneka Bobo. Perilaku anak-anak tersebut diamati melalui sebuah kaca satu arah. Anak-anak yang menonton film pertama (film egresif dengan reward) dan film ketiga (film agresif tanpa konsekuensi apapun) meniru perilaku agresif lebih banyak daripada anak-anak yang menonton film kedua (film agresif dengan punishment), dan anak laki-laki lebih agresif dibandingkan anak perempuan. Hal ini menunjukkan pembelajaran observasional terjadi sama ekstensifnya pada suatu perilaku baik terdapat penguatan atau tidak. dan Bandura juga mengatakan bahwa apabila seorang anak mengamati suatu perilaku tetapi tidak melakukan suatu respons yang dapat diamati, seseorang tetap mendapatkan respons yang dimodelkan secara kognitif (Santrock, 2009).

Meskipun teori kognitif sosial awanya berkembang untuk meneliti efek kekerasan media pada perilaku, tetapi model ini juga memiliki aplikasi lainnya. Adapun teori ini juga digunakan untuk meneliti aplikasi seperti pemodelan perilaku seksual, perilaku prososial, perilaku konsumen, dan lain-lain (Harris, 2004).

 

Referensi:

Harris, Richard Jackson. 2004. A Cognitive Psychology of Mass Communication. 4th ed. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Santrock, John W. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Humanika.

Review: Menemukan Akar Perilaku Agresif Remaja

Posted by kurniadhani on October 29, 2014
Developmental / No Comments

 

Berikut adalah review jurnal penelitian mengenai perilaku agresif remaja, yang dilakukan oleh  Glowacz, Véronneau, Boët dan Born (2013).

 

Finding the roots of adolescent aggressive behaviour: A test of three developmental pathways

 

Abstrak

Penelitian ini meneliti tentang perilaku agresif remaja. Perilaku agresif remaja berasal dari masa perkembangan awal. Penelitian ini menguji tiga masa longitudinal yang dimulai dari masa anak-anak awal pada sampel 325 partisipan orang Belgia (162 diantaranya adalah anak perempuan), yang diuji setiap satu atau dua tahun dari lahir hingga usia 14 tahun. Model Structural equation mendukung asumsi “ketidakpuasan awal ibu” terhadap agresi remaja, tetapi fungsi kognitif dan perilaku agresif awal mendapatkan dukungan yang jelas. Ketidakpuasan awal ibu terhadap anaknya adalah titik awal dari seri persepsi negatif anak, yang memprediksikan agresi fisik dan sosialo anak pada orang dewasa. Temuan penelitian ini mengusulkan bahwa perkembangan normative oleh oleh orangtua dapat menambah persepsi ibu dalam pengalaman awalnya sebagai seorang ibu, pada anak mereka dan pada interaksi orang tua dan anak selanjutnya, yang dapat mengurangi perilaku agresif anak di masa yang akan datang.

 

Ketidakpuasan Awal Ibu dan Perilaku Anak

Beberapa prediktor dalam perilaku agresif remaja antara lain adalah Parenting atau pola asuh dan karakteristik individual seperti karakteristik kognitif. Penelitian ini memiliki rumusan masalah: Apakah laporan ibu tentang fungsi anak (laporan yang sangat tergantung pada persepsi ibu pada anaknya) berpengaruh pada faktor relasional yang berkontribusi pada perkembangan agresif remaja. Sehingga yang diuji adalah persepsi ibu atas anaknya, perilaku agresif dan fungsi kognitif anak.

 

Variabel Kontrol

Faktor lain yang juga mempengaruhi perilaku agresif remaja adalah tingkat pendidikan ibu. Pendidikan ibu sangat berpengaruh dalam hal, yaitu dalam strategi asuhan anak, strategi dalam koping stress, lebih efisien sebagai ibu dan memililiki tingkat kepuasan yang lebih baik dalam menerima perkembangan anaknya di setiap periode perkembangannya. Ibu dengan pendidikan yang lebih tinggi juga memiliki kemampuan dalam memberikan stimulasi lingkungan untuk perkembangan kognitif anak.

 

Metode

Penelitian ini berada pada konteks studi longitudinal yang disebut dengan “Grandir en l’an 2000 (Tumbuh di tahun 2000),” yang dimulai pada tahun 1989 oleh Departemen Pedagogi Eksperimental, Universitas Lie `ge, yang berlangsung di wilayah Lie` ge-Huy-Waremme. Semua tindakan diberikan di Perancis, bahasa pertama keluarga yang berpartisipasi dalam penelitian.

 

Partisipan

Terdapat 325 partisipan yang terlibat dalam penelitian ini, yaitu 163 anak laki-laki dan 162 anak perempuan.

 

Prosedur

Penelitian ini dilakukan secara longitudinal, mulai anak lahir hingga berusia 14 tahun. Ibu diwawancara di rumah mereka masing-masing setiap tahunnya.

 

Data dan Pengukuran:

  • Pendidikan ibu. 3.1% tidak menyelesaikan sekolah dasar,   9.2% menyelesaikan sekolah dasar saja, 18.5% hingga sekolah menengah, 20.3% diploma atau sekolah vokasi, 13.2% mencapai diploma dua dan lanjutan, 35.7% lulus dari program pendidikan tinggi. Pendidikan ibu diukur dengan skala Likert 6 poin yang mencakup tiap level edukasi.
  • Temperamen anak pada masa anak-anak awal. Data ini diperoleh dari laporan ibu atas perilaku anak, melalui dua item yang merefleksikan perilaku anak di malam hari seperti bangun di tengah malam dan adanya mimpi buruk.
  • Perilaku agresif anak. Variabel ini diukur menggunakan dua item pada laporan ibu mengenai dua tipe perilaku yang dieksternalisasi (agresif), berupa tindakan berteriak-teriak dan menghentak-hentakkan kaki ke lantai.
  • Ketidakpuasan awal ibu pada anak, mengukur tingkat kepuasan ibu atas karakteristik anak: dinasmis, rasa aman, ketenangan, temperamen, kepatuhan, keaktivan, afeksi dan agresifitas. Skala 1 diberikan untuk adanya indikasi ketidakpuasan, dan skor 0 diberikan untuk indikasi tidak adanya ketidakpuasan.
  • Persepsi ibu atas kesulitan interpersonal anak, yaitu perilaku dengan teman sebaya anak dan kemampuan kontrol diri anak. Ibu diberikan lima item yang menggambarkan perilaku anak seperti yang biasa mereka amati pada anak mereka sendiri. Item ini menggambarkan beberapa perilaku yang mungkin ditunjukkan anak-anak terhadap teman sebaya mereka dan kemampuan kontrol diri mereka dalam situasi antarpribadi (misalnya, mengganggu permainan anak-anak lain; memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam perkelahian). Setiap item dinilai pada skala Likert 4-poin mulai dari 0 (anak saya sama sekali tidak seperti ini), untuk 3 (anak saya sangat seperti ini).
  • Persepsi ibu atas perilaku anak yang bermasalah, yaitu berkaitan dengan norma, bahasa yang dipakai, perilaku oposisi dan ketidakpatuhan anak, agresi fisik pada orang lain maupun suatu objek. Menggunakan bahasa yang tidak pantas dengan saudara, teman, atau orang tua dinilai pada skala 3-point, dengan jawaban potensial termasuk pernah, kadang-kadang, atau sering
  • Persepsi ibu atas masalah konsentrasi anak, dengan menggunakan skala control diri kognitif, yang mengukur kemampuan kognitif anak, termasuk perhatian, evaluasi, perencanaan, dan pemecahan masalah. Masing-masing dinilai pada skala Likert 7 poin.
  • Intellectual Quotien (IQ) anak, diukur dengan menggunakan Weschler Preschool and Primary Scale of Intelligence-Revised yang didesai untuk anak usia 4-6 tahun.
  • Hambatan kognitif anak. Variabel ini diukur dengan menggunakan tes Stroop (Stroop, 1935), di mana peserta harus mengganti jawaban baru satu sama lain yang sebelumnya dipraktekkan dan membuat otomatis.
  • Fleksibilitas mental anak. Diukur dengan Trail Making Test, yaitu tes neuropsikologi perhatian visual dan beralih tugas. Hal ini membutuhkan anak-anak untuk menggunakan konsentrasi dan kemampuan mereka untuk memulai, mengintervensi, mengganggu kompleks, dan urutan perilaku berdasarkan tujuan.
  • Agresi fisik dan sosial anak. Peserta diminta untuk melaporkan tentang seberapa sering mereka telah terlibat dalam tiga kasus agresi sosial, termasuk mengolok-olok orang lain, menggunakan bahasa yang tidak pantas dengan orang lain, dan menyebarkan rumor, pada skala 3-point (tidak pernah, sekali atau dua kali, atau tiga kali atau lebih). Peserta juga diminta untuk melaporkan tentang seberapa sering mereka telah terlibat dalam empat kasus agresi fisik, termasuk menggunakan kekerasan untuk mengambil uang atau harta orang lain, berkelahi dengan satu atau beberapa orang, atau menggunakan senjata, pada skala 3-point (pernah , sekali atau dua kali, atau tiga kali atau lebih).

 

Hasil Penelitian

Agresifitas anak pada usia 22 bulan berkorelasi dengan persepsi ibu atas kesulitan interpersonal anak pada usia 5 tahun. Agresifitas anak pada usia 22 bulan berkorelasi dengan persepsi atas masalah kognitif dan perilaku anak pada usia 10 tahun. Persepsi ibu atas kesulitan interpersonal anak di usia 5 tahun berkorelasi dengan agresifitas fisik anak di usia 10 tahun. Dan IQ anak pada usia 5 tahun berkorelasi dengan agresifitas fisik anak di usia 10 tahun.

Pada tes efek tidak langsung, terdapat efek tidak langsung yang signifikan dari ketidakpuasan ibu pada anaknya (pada usia 22 bulan) terhadap agresifitas fisik anak pada usia 14 tahun, dan persepsi ibu atas kesulitan interpersonal anak pada usia 5 tahun terhadap masalah kognitif dan perilaku anak pada usia 10 tahun. Persepsi ibu juga memiliki efek tidak langsung yang signifikan terhadap agresifitas sosial anak di usia 14 tahun.

Penelitian ini kemudian juga membandingkan hasil antara anak-laki-laki dan anak perempuan. Dalam hal gender, anak laki-laki menunjukkan hambatan kognitif yang lebih rendah daripada anak perempuan. Ibu yang memiliki anak laki-laki memberikan persepsi yang lebih tinggi dalam hal perilaku bermasalah dan kesulitan berkonsentrasi daripada ibu yang memiliki anak perempuan. Ibu yang memiliki anak laki-laki melaporkan angka yang lebih tinggi pada perilaku anak yang menolak untuk tidur daripada ibu yang memiliki anak perempuan. Anak laki-laki memiliki fleksibilitas mental yang lebih rendah daripada anak perempuan. Selanjutnya anak laki-laki dilaporkan melakukan agresi fisik lebih tinggi daripada anak perempuan.

Komentar

Pola asuh orangtua terhadap anaknya merupakan salah satu prediktor perilaku agresif remaja dapat semakin kita pahami. Ketidakpuasan awal ibu atas anaknya (pada usia 22 bulan) berpengaruh pada perilaku agresif anak pada masa remaja (usia 14 tahun) telah dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Glowacz. F., M. Véronneau, S. Boët dan M Born (2013).

Sebagai sebuah kritik, salah satu hal yang luput dari penelitian ini adalah tidak adanya observasi yang mendalam mengenai hubungan antara persepsi ketidakpuasan awal ibu dengan perlakuan kongkrit ibu atas anaknya. Untuk mengetahui korelasi maupun efek dari kondisi perkembangan awal anak terhadap perilaku masa depan, tidak dapat dipahami dengan baik dan mendalam bila hanya mengandalkan laporan atas persepsi subjektif saja, tetapi lebih dari itu, harus dieksplorasi tindakan dan hubungan ibu-anak secara real.

Relasi ibu-anak pada masa awal kehidupan sangat krusial untuk perkembangan psikologis seseorang. Persepsi tentang ketidakpuasan awal ibu terhadap anaknya tentu saja berpengaruh baik secara langsung maupun tidak pada sikap dan perilaku ibu terhadap anaknya. Dengan adanya persepsi ketidakpuasan ini, seorang ibu dapat mengembangkan perilaku yang membuat anak merasa tidak nyaman bahkan aman terhadap ibunya sendiri. Perasaan tidak nyaman dan aman anak terhadap ibunya dapat membuat anak mengembangkan perasaan mis-trust anak (seperti dijelaskan teori Erikson) dan menciptakan adanya anxious-resistant yang membuat anak mudah mengalami kecemasan dan menolak (seperti dijelaskan oleh Ainsworth).

Pokok penelitian tersebut dapat kita pahami melalui perkembangan psikososial anak dalam teori Erikson (1950), yaitu trust versus mis-trust. Usia 22 bulan adalah tahapan psikososial pertama yang dialami anak dalam tahun pertama kehidupannya. Suatu rasa percaya menuntut perasaan nyaman secara fisik dan sejumlah kecil ketakutan dan kekhawatiran akan masa depan. Kepercayaan pada masa bayi mennetukan tahap bagi harapan seumur hidup bahwa dunia akan menjadi tempat tinggal yang baik dan menyenangkan. Dalam hal ini, Erikson yakin bahwa orangtua yang tanggap sangat peka dalam memberikan rasa percaya ini pada bayi. Hal senada juga dapat kita lihat dari pendapat Mary Ainsworth (1979) pada kelekatan anak. Kelekatan yang dipengaruhi oleh rasa aman dan kepercayaan dalam tahun pertama kehidupan memberikan suatu landasan yang penting bagi perkembangan psikologis kemudian hari dalam kehidupan bayi (dalam Santrock, 1995).

 

Kesimpulannya adalah, perkembangan psikologis anak yang sehat dapat dicapai melalui pola asuh orangtua yang baik. Orangtua dapat memberikan rasa aman dan stimulasi positif pada anak, sehingga anak dapat mengembangkan rasa percaya (trust) dan kelekatan yang aman (secure attachment) baik terhadap ibunya sendiri maupun lingkungannya kelak. Bila orangtua tidak dapat memberikan rasa aman dan stimulasi positif, maka anak dapat mengembangkan rasa kecemasan dan memiliki perkembangan psikologis yang tidak sehat, seperti perilaku agresif dan periaku maladaptif lainnya.

 

 

Referensi

Glowacz.F., Véronneau.M., Boët.S., dan Born,M.  2013. Finding the roots of adolescent aggressive behaviour: A test of three developmental pathways. International Journal of Behavioral Development. 22 May 2013 2013 37: 319

Santrock. J.W,. 1995. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. 5th ed. Jakarta: Erlangga.

 

Unravelling the Web: Adolescent and Internet Addiction’

Posted by kurniadhani on October 21, 2014
Psikologi Teknologi (Media) / No Comments

IMG_20141021_091638 modified

 

Secara khusus, dalam kesempatan ini saya akan membahas subbab yang paling menarik menurut saya dari buku Zheng, Burrow-Sanchez & Clifford  (2010), yaitu:

Bab 3 yang berjudul

Unravelling the Web: Adolescent and Internet Addiction’

 

Bab ini merupakan tulisan dari Widyanto & Griffiths (2010), dua orang peneliti dari Nottingham Trent University, UK. Tulisan ini membahas tentang apa dan bagaimana konsep kecanduan internet itu sebenarnya dan bagaimana penggunaan internet dapat menjadi adiktif dan patologis.

 

Sejarah Kecanduan Internet

Istilah yang digunakan untuk ‘kecanduan internet’ berasal dari istilah ‘kecanduan komputer’ pada masa awal pengembangan teknologi komputer. Kasus kecanduan komputer pertama kali ditemukan pada tahun 1993 di London – Inggris pada seorang tersangka pelaku pembajakan komputer, bernama Paul Bedworth. Ia kemudia dilepaskan dari tuntutan karena hasil pemeriksaan psikologinya menunjukkan penggunaan komputer dalam waktu yang sangat panjang dan tidak normal, dalam laboratorium komputer.

Setelah kasus itu terjadi, Ivan Goldberg, seorang psikiatris, memaksa komunitas psikiatri untuk memikirkan ulang penggunaan istilah dan menciptakan istilah baru yang dilabel sebagai ‘gangguan’: Internet Addiction Dissorder (IAD). Kriteria awal IAD ini menyesuaikan model gangguan penyalahgunaan substansi, dalam Diagnostic and Statistical Manual (DSM).

 

Kecanduan teknologi (internet) dipandang sebagai slah satu perilaku kecanduan dengan fitur intinya adalah:

  1. Saliensi – aktivitas spesifik menjadi hal paling penting dalam hidupnya, mendominasi pikiran, perasaan dan perilakunya
  2. Perubahan suasana hati – seseorang melaporkan perasaan subjektif akibat aktivitas tertentu (misal mengalami buss atau high)
  3. Toleransi – peningkatan jumlah aktivitas yang tidak normal dapat ditoleransi
  4. Gejala penarikan (withdrawal simptom) – perasaan tidak menyenangkan yang dapat diobservasi ketika aktivitasnya dikurangi atau dibatasi (misal, kemurungan atau menjadi iritabel)
  5. Konflik – terjadi konflik antara sesama pecandu, maupun konflik pada internal diri si pecandu
  6. Relaps dan pemulihan – perilaku kecanduan dapat kambuh meski telah lama tidak melakukannya.

 

Griffiths (2000) melakukan penelitian mengenai kecanduan dengan menggunakan enam komponen inti tersebut untuk menjawab pertanyaan: a) apa itu kecanduan?; b) apakah ‘kecanduan’ internet itu ada?; c) bila kecanduan internet ada, pada apa mereka kecanduan? Ia kemudian mendapatkan jababan bahwa kecanduan internet hanya terjadi pada sebagian kecil pengguna internet, dan mereka yang menggunakan internet secara eksesif hanya menggunakan internet sebagai media yang mana mereka dapat terlibat dalam perilaku tertentu.

 

Dalam hal penggunaan internet, kecanduan yang dilaporkan adalah penggunaan secara berlebihan yang mengganggu kehidupan nyata seseorang secara berat, hingga mengabaikan kehidupan nyata karena lebih memilih ‘hidup’ dalam dunia online-nya. Sebagai contoh: seorang ayah yang lupa menjemput anaknya karena terlalu sibuk berpartisipasi dalam forum online; seorang karyawan yang dipecat karena penggunaan internet kantor secara eksesif; seorang alkoholik yang telah sembuh tetapi menggunakan internet secara berlebihan kemudian menipu istrinya, seorang siswa yang peringkatnya turun karena hubungan dengan teman online barunya (Griffiths, 2008). Kebanyakan penelitian mengenai kecanduan internet sebelumnya terkonsentrasi pada sampel pengguna usia dewasa seperti kasus tersebut, meski juga ada sejumlah kecil penelitian pada sampel remaja.

 

Daya Tarik Dunia Online pada Remaja

Salah satu daya tarik internet dari masa ke masa adalah kemampuannya dalam menciptakan suatu hubungan. Kontak dan komunikasi yang berjalan panjang akan menciptakan bentuk dari dasar dukungan sosial. Sebagai contoh, kunjungan dan interaksi rutin pada kelompok online tertentu seperti komunitas atau forum tertentu, akan meningkatkan kemiripan dan kedekatan, yang kemudian rasa berkelompok terbangun. Seperti hal nya kelompok lain, dalam kelompok atau komunitas online juga terdapat norma, kultur, nilai, bahasa dan tanda yang diadaptasi sepanjang waktu.

Intimasi terbangun dengn sangat cepat diantara pengguna online. Peraturan sosial tentang kesopanan dan kecanggungan hilang dalam dunia maya karena pengguna hanya menggunakan inisial atau samara, sehingga masing-masing dapat bertanya apa saja pada siapa saja. Keterbukaan itu lah yang menciptakan intimasi. Anonimitas akan menghilangkan rasa cemas terhadap adanya konfrontasi, penolakan ataupun konsekuensi atas suatu perilaku. Bentuk hubungan seperti itu akan menarik mereka yang memiliki self-esteem dan keterampilan sosial yang rendah untuk terlibat dan membentuk hubungan baru dalam internet.

Penelitian menunjukkan bahwa perubahan self-esteem seseorang berhubungan dengan perubahan signifikan dalam lingkungan sosialnya, seperti pindah ke kota yang baru, berganti pekerjaan, dan pindah sekolah seperti dari siswa menjadi mahasiswa. Seseorang yang memasuki grup online, mereka membangun hubungan dengan yang tidak ada hubungannya dengan relasi offline-nya. Memulai interaksi online akan memberikan mereka kesempatan untuk mengubah elemen-elemen diri (self) yang bisa ia tampilkan, dan ini berarti menghasilkan naiknya perasaan self-worth (McKenna & Bargh, 1998).

 

Mengapa Penggunaan Internet dapat menjadi Eksesif?

Davis (2001) melalui pendekatan kognitif-behavioral menjelaskan bahwa penggunaan internet yang patologis (PIU) diakibatkan oleh kognisi yang bermasalah yang bersamaan dengan perilaku yang meningkatkan respons maladaptif.

Studi yang dilakukan oleh Caplan (2003) menunjukkan bahwa depresi dan loneliness merupakan prediktor signifikan untuk kecenderungan pada interaksi sosial on-line, di mana loneliness memainkan peran yang lebih signifikan dibanding depresi dalam pengembangan penggunaan internet bermasalah.

 

Efek Penggunaan Internet secara Kualitatif

Widianto (2007) melakukan penelitian kualitatif mengenai perbedaan perasaan terhadap self antara offline dan online. Penelitian tersebut menghasilkan beberapa tema besar, yaitu:

  • disinhibition, yaitu pengguna merasakan efek disinhibisi dan merasa lebih percaya diri;
  • anonymity, yaitu seseorang dapat muncul dengan identitas yang berbeda
  • isolation, yaitu perasaan terisolasi ketika menggunakan internet
  • control, yaitu perasaan memiliki kemampuan untuk mengontrol khususnya informasi
  • escape from reality, beberapa pengguna mengatakan bahwa internet memberi mereka kesempatan untuk lari dari realitas.
  • Information access, beberapa partisipan mengatakan tentang kemudahan akses informasi.

 

Kesimpulan

 Dari pembahasan Widyanto dan Griffiths ini diketahui bahwa penelitian mengenai kecanduan internet di kalangan remaja sebenarnya masih sangat sedikit dilakukan. Adapun penelitian mengenai adiksi ditemukan besar pada orang dewasa yang kemudian terjadi juga pada kalangan remaja (generalisasi). Belum jelas diketahui secara perkembangan apakan ada perbedaan atau kesamaan antara adiksiatau kecanduan internet terkait usia. Kesimpulan pembahasan tulisan ini adalah bahwa memang benar bila kecanduan internet memang ada, tetapi mempengaruhi hanya sebagian kecil dari populasi online yang ada, dan hanya ada sedikit sekali bukti bahwa adiksi tersebut problematik di kalangan remaja.

 

 

 

Adolescent Online Social Communication and Behavior

Posted by kurniadhani on October 21, 2014
Psikologi Teknologi (Media) / No Comments

untitled.bmpDunia maya adalah kehidupan ke dua bagi para remaja masa kini. Mereka terlahir di zaman digital. Sedari lahir telah tersentuh dengan berbagai teknologi canggih. Bertambah usia, maka bertambah pula penggunaan media sosialnya. Tuntutan zaman mereka adalah: “eksis atau mati”. Ke arah mana kah pemanfaatan teknologi yang ada di tangan mereka?

 

Kekhawatiran umum pada masyarakat kini adalah potensi dua sisi yang dibawa serta teknologi ini: positif atau patologis.

 

Buku Zheng, Burrow-Sanchez & Drew (ed)(2010) menjelaskan dinamika komunikasi sosial dan perilaku remaja di dunia maya. Buku ini merupakan kumpulan tulisan akademik dari beberapa ahli, yang memberikan pemahaman mendalam mengenai penggunaan internet oleh para remaja. Pembahasan dalam buku ini menekankan pada beberapa aspek seperti bidang perkembangan sosial dan kognitif, karakteristik komunikasi, modus komunikasi, efek patologis dan tentu saja aspek protektif apa saja yang dapat ditempuh.

 

Secara sederhana, per-bab buku ini membahas sebagai berikut:

 

Bab I menjelaskan pengaruh faktor-faktor sosial dan individual pada kebutuhan remaja dan dinamika perilakunya dalam komunikasi online.Kerangka konseptual dalam bab ini menjelaskan perilaku remaja secara online berkaitan erat dengan kebutuhan mereka dalam hal tuntutan perkembangan secara usia, kebutuhan sosial-psikologis, dan tentu saja kognitif.

 

Bab II menjelaskan dampak media internet pada perilaku, hubungan sosial dan pandangan remaja pada dunia. ruang komunikasi yang semakin luas dan lebih kompleks. para remaja menggunakan dan menggabungkan penggunaan surat elektronik, forum-forum online terbuka, ruang obrolan, pesan singkat, hingga jejaring sosial. Penggunaan aplikasi internet untuk komunikasi dengan tujuan berbeda akan menentukan struktur dan isi komunikasi sosial dan asosiasi yang berbeda pula. Perbedaan ruang dan aplikasi juga akan membedakan motivasi di tiap penggunaan aplikasi tertentu dan pemahaman akan dampak dari masing-masing aplikasi tersebut, baik pada penggunaan jenis, ukuran dan kualitas hubungan maupun ikatan dan bagaimana dinamika dalam menciptakan memeliharanya.

 

Bab III menjelaskan dampak patologis dan adiktif dari penggunaan internet yang eksesif.

 

Bab IV menjelaskan proses pembentukan hubungan dalam dunia maya dalam dua konteks, yaitu perkembangan kognitif dan psikososial dengan bagaimana karakteristik teknologi internet. berbagai penelitian mengungkapkan bahwa penggunaan internet pada remaja bertujuan untuk mendukung hubungan yang secara offline sebelumnya telah ada dan penggunaan yang berkaitan dengan pembentukan suatu hubungan yang lebih dekat. Bagi remaja yang membentuk suatu hubungan secara online, mereka menganggap bahwa hubungan tersebut sebagai sebuah hubungan yang dekat atau romantis, tetapi bila dikomparasikan berdasarkan berbagai dimensi hubungan maka kualitas hubungan tersebut sebenarnya lebih lemah dibandingkan hubungan yang terbentuk secara offline.

 

Bab V menjelaskan proses pembentukan identitas sosial remaja yang dipengaruhi oleh internet. pendekatan teoritis yang digunakan untuk memahami peran internet dalam pembangunan identitas seksual remaja. Peranan internet dalam proses sosialisasi seksual remaja dan perkembangan identitas harus mengikutsertakan neurosains (dalam hal ini adalah belahan otak tertentu) remaja dan sifat unik internet sebagai sumber informasi dan sebagai penyedia jejaring sosial.

 

Bab VI khusus membahas tentang aspek hukum terkait jejaring sosial dengan remaja (dalam bahasan ini adalah ‘Second Life’). Aspek-aspek hukum yang diidentifikasi oleh penulis ada empat, yaitu pertama, hubungan aturan sekolah yang tidak bertentangan dengan kebijakan publik akan tetap dijaga; kedua, peraturan maupun kurikulum sekolah yang bertentangan atau tidak sejalan dengan misi nasional pendidikan sekolah dasar akan tidak dijamin oleh pemerintah; ketiga, pesan-pesan yang dibuat di luar institusi sekolah; keempat, tindakan yang menyebabkan maupun berpotensi dapat menyebabkan gangguan serius (‘ancaman serius’) akan tidak dilindungi oleh pemerintah.Dalam bab ini, penulis memaparkan pentingnya peran sekolah dalam pendidikan tentang kesopanan, kebebasan berbicara, gangguan, ancaman, dan bagaimana penggunaan komputer yang tepat.

 

Bab VII memebahas mengenai aspek peraturan yang melindungi anak-anak dalam penggunaan internet. Peraturan ini mengakibatkan turunnya angka penggunaan internet oleh anak-anak, tetapi di pihak lain tanpa menaikkan pemahaman anak mengenai pengetahuan keamanan dalam penggunaan internet.

 

Bab VIII menjelaskan perbedaan konstruk-konstruk diantara remaja dan anak-anak kemudian mempengaruhi perilaku sosial online mereka (seperti pesan singkat, permainan online, dan partisipasi mereka dalam forum tertentu). Ciri-ciri kepribadian seperti persepsi atas rasa sepi hingga fgratifikasi identitas usia, bersama dengan motif penggunaan internet, efek internet pada perilakudan dukungan sosial yang dipersepsikan, merupakan bidang penelitian yang belum banyak dibahas.

 

Bab IX berfokus pada interaksi anatara jejearing sosial dengan penggunaan komputer oleh remaja. perhatian utama ditujkan pada pertanyaan ‘apakah penggunaan komputer secara eksesif akan membuat pengguna mengisolasi diri. Kehidupan interpersonal dan aktivitas komputer pada remaja awal saling mempengaruhi penguatan pola perilaku yang menurunkan kemungkinan perilaku berisiko pada tingkat yang jauh lebih besar daripada keterlibatan orangtua secara langsung. Bab ini juga memberikan saaran untuk para orang dewasa untuk bertanggung jawab pula dalam fokus energi, dan upaya untuk mendukung penggunaan kom puter yang sesuai hingga mempromosikan perilaku pro-sosial remaja di dunia online.

 

Bab X membahas mengenai faktor-faktor protektif yang dapat digunakan oleh orang tua untuk menjaga remaja agar aman saat menggunakan internet.

 

Bab XI mengeksplorasi tentang peran remaja (generasi tahun 2000-an) dalam kepentingan publik atau bagaimana penggunaan jejaring sosial dalam tanggung jawab sosial. temuan dari pembahasan bab ini adalah ternyata para remaja menggunakan jejaring sosial untuk mengambil tindakan sosial hingga politik, terlibat dalam usaha kewirausahaan dan mengadakan promosi ajakan kegiatan amal dan donasi.

 

Bab XII membahas tentang cyberbullying. cyberbulying sendiri memrupakan sebuah fenomena yang sedang merebak di kalangan remaja dan dewasa muda baik sebagai korban maupun sebagai pelaku tindakan melecehkan maupun mengancam melalui penggunaan teknologi seperti email, komunitas internet, jejaring sosial, ruang chat maupun telepon sesluler. fenomena ini sangat berkembang di negara-negara yang berteknologi tinggi seperti Amerika Utara, Eropa dan Asia. Bab ini membahas karakteristik dan kerangka teoritik yang menjabarkan apa dan bagaimana cyberbulying termasuk statistik kasus di dunia, latar belakang dan ciri pelaku dan bagaimana peranan orangtua.

 

Bab XIII membahas tetnang miskonsepsi terhadap generasi digital. Banyak anggapan bahwa generasi digital belajar dengan cara yang berbeda dengan generasi sebelumnya yang lebih tua maupun anak yang belum terpapar komputer. Bab ini memberikan tentang bagaimana mengembangkan kreativitas baik dalam lingkungan tradisional maupun lingkungan digital.

 

Bab XIV membahas tentang perkembangan bahasa anak, ditinjau dari penggunaan ruang chat. Bagaimana ruang chat sebagai media komunikasi dua arah secara real time sering digunakan terhadap perkembangan kemampuan bahasa remaja.

 

Buku:

Zheng. R., Burrow-Sanchez. J. & Clifford., D. 2010. Adolescent Online Social
Communication and Behavior: Relationship Formation on the Internet. Hershey: ISR.

Ada Apa dengan Maya?

Posted by kurniadhani on October 20, 2014
Psikologi Teknologi (Media) / No Comments

IMG_20141021_011249[1]

Riva & Galimberti (2007) menjelaskan hubungan antara perkembangan teknologi komunikasi, pola interaksi manusia, dinamika perilaku manusia dalam ruang-ruang yang diciptakan teknologi komunikasi hingga perkembangan minat psikologi dan studi komunikasi pada fenomena ini.

Perkembangan teknologi informasi mengubah secara radikal pola interaksi manusia. Lingkungan baru yang tercipta dari teknologi ini adalah suatu lingkungan sosial yang baru yang termediasi oleh teknologi informasi. Lingkungan unik ini disebut dengan ruang maya (cyberspace).

Interaksi adalah fitur kunci dari ruang maya, di mana sense dari diri (self) dapat dibangun dan dikontrol. Perasaan baru dari diri dan komunitas bergeser dari yang semula didefinisikan secara kultural (tradisional) menjadi sebuah pengalaman yang termediasi.

Pengalaman interaksi yang termediasi ini mendefinisikan ulang tentang apa itu interaksi. Interaksi yang termediasi mereduksi kehadiran secara fisik, meskipun interaksi berjalan secara langsung seperti melalui telefon maupun panggilan video.

Penggalian potensi positif hingga patologis yang dibawa serta oleh perkembangan teknologi ini kemudian menarik minat para peneliti termasuk dari bidang psikologi dan studi komunikasi untuk turut andil. Peneliti psikologi dan komunikasi melanjutkan minatnya pada dinamika aspek psikologi dan sosial manusia terkait ruang maya, termasuk diantaranya adalah kognisi, neurosains, kecerdasan, identitas, dinamika psikologi individu-kelompok-organisasi dan aspek lainnya.

 

sumber:

Riva. G., & Galimberty. C., 1997. The Psychology of Cyberspace: a sociocognitive framework to computer mediated communication. New Ideas in Psychology, 15 (2), 141-158, 1997.

Hello world!

Posted by kurniadhani on October 07, 2014
Uncategorized / 1 Comment

Welcome to Wadah Aspirasi dan Kreasi Mahasiswa UGM Sites. This is your first post. Edit or delete it, then start blogging!