Pembahasan kali ini terkait dengan diskusi di kelas psikologi teknologi Bu Neila Ramdhani. Diskusi kelas dimulai dari isu cyberbullying:
“Cyber bullying akhir-akhir ini semakin meningkat kejadiannya. Kadang seseorang membully orang lain tanpa tahu hal yang sesungguhnya terjadi pada target bully nya. Contoh kasus ibu menteri Susi yang semakin banyak di cyber-bully merupakan salah satu yang harus anda bahas. Mengapa demikian? Contoh lain, masih seputar kasus pilpres yang hingga saat ini berbuntut panjang, apa yang terjadi dengan media/media sosial sehingga hal ini bisa merebak demikian dahsyat?”
Political Cyberbullying
Cerita demokrasi Indonesia adalah narasi saling cela yang unik sepanjang sejarah. Antar kelompok kepentingan dan partai politik saling menjatuhkan dengan berbagai cara: gossip ringan hingga fitnah. Mulai dari cerita Sukarno dan istri-istrinya sampai yang terkini, seteru Pak Joko dan Pak Bowo. Masih terkait isu duet maut tersebut, publik kini sibuk dengan sensasi Susi. Bukan Susi Similikiti istri komedian kondang Tukul Arwana, tetapi menteri kontroversial, Ibu Susi Pudjiastuti.
Cyberbullying terjadi juga pada figur pejabat ataupun pejabat politik. Pemrotes, baik individu maupun kelompok, membanjiri halaman-halaman kolom opini surat kabar hingga sosial media. Tindakan ini adalah usaha untuk mempermalukan figur publik secara politis. Bila dikaji lebih lanjut, cara-cara cyberbullying politis ternyata masih identik dengan taktik cyberbullying sejenis pelecehan pribadi (personal harassment) yang dilakukan secara luas oleh para remaja (Scherer, 2012).
Sepertinya akan lebih menarik bila fenomena cyberbullying ini kita bahas melalui kacamata psikologi media dan sosial.
Cyberbullying
Cyberbullying adalah semua perilaku yang dilakukan melalui media elektronik atau digital oleh individu maupun kelompok yang secara berulang menyampaikan pesan yang bermusuhan (hostile) atau agresif, yang bertujuan untuk menimbulkan kerusakan atau ketidaknyamanan orang lain (Berne, Frisen, Schultze-Krumbolz, Scheithauer, Naruskov, Luik, Katzer, Erentaite, Zukauskiene, 2013; Wong-Lo dan Bullock, 2014).
Vandenbosch dan Van Cleemput (2009) menjelaskan bahwa cyberbullying dapat berbeda-beda tergantung pada media atau aplikasi spesifik yang digunakan (internet pc, telefon seluler, pesan instan, email, dan aplikasi lainnya). Secara umum, cyberbullying dapat dibedakan menjadi cyberbullying secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung: dalam hal fisik pembully dapat mengirimkan virus; serangan berupa hinaan atau ancaman verbal; serangan non-verbal misalnya berupa gambar atau ilustrasi cabul dan lainnya; secara sosial dapat berupa mengeluarkan seseorang dari grup online, dan lain-lain. Secara tidak langsung: membocorkan informasi rahasia; berpura-pura menjadi orang lain – pretending; menyebarkan gossip; ambil bagian dari pengambilan suara atau website polling yang bersifat memfitnah.
Psikologi Cyberbullying: antara Deindividuasi, Anonimitas dan Massa Tak Terbatas
Apa yang terjadi dengan media/media sosial sehingga cyberbullying bisa merebak demikian dahsyat?
Cassidy, Faucher dan Jackson (2013) menjelaskan bahwa dunia cyber membuat penggunanya terlepas dari kontak emosional dan mengakibatkan deindividuasi. Hal ini kemudian mengakibatkan putusnya atau tumpulnya respons empatetik yang ditimbulkan dari rasa sakit yang diperbuat. Selain itu anonimitas juga menjadi faktor yang sangat berpengaruh pada terjadinya cyberbullying.
Cassidy dkk (2013) lebih lanjut mengatakan bahwa cyberbullying menjadi sangat berbahaya karena cyberbullying memiliki potensi untuk diulangi tanpa ada keterkaitan dari cyberbully awal. Maksudnya adalah, cyberbully seperti sifat teknologi komunikasi dan informasi lainnya, dapat direplikasi, di-forward atau dikirim ulang ke banyak pengguna lainnya baik secara parsial maupun langsung pada publik secara luas. Dengan demikian, korban cyberbully dapat menjadi korban berulang kali dan oleh massa yang berjumlah tak terbatas. Kita masih ingat kasus Florence Sihombing yang umpatannya di-share atau di-forward oleh temannya, dari teman ke temannya lagi, begitu seterusnya hingga menjangkau publik luas.
Potensi saling share dan forward dalam dunia cyber membuat power dari korban bullying menjadi mentah. Lebih lanjut lagi dalam kasus ekstrim, pengguna dengan tingkat keahlian teknologi informasi yang tinggi (high skill) dapat menggunakan keahliannya untuk tujuan tertentu yang lebih merusak, misalnya dengan cara cracking, hacking, hijacking dan lain lain. Dalam komunikasi dua arah, atau dalam grup milis tertutup, seorang korban cyberbullying dapat saja menghentikan interaksi kapanpun ia mau ketika ia merasa tidak nyaman, tetapi tidak demikian adanya dalam interaksi media sosial. Setiap pengguna dalam media sosial dapat mengirimkan ulang (share atau forward) ke pengguna lainnya, dan pengulangan tersebut dapat berlanjut dan dilihat oleh publik dengan jumlah tidak terbatas yang tidak ada kaitannya lagi dengan pelaku cyberbullying asli atau awal.
Laskar Cyber: Perang Bully di Dunia Maya
Dua surat kabar besar nasional, Kompas dan Republika, mengungkap bahwa terdapat laskar maya atau pasukan cyber yang bertarung untuk kepentingan politik. Terlepas dari keberpihakan media massa tersebut, kedua sama-sama menyampaikan bahwa masing-masing kubu politik, baik kubu Koalisi Indonesia Hebat maupun Koalisi Merah Putih memiliki kepanjangan tangan untuk mengelola isu di media sosial. Lebih jauh, terdapat usaha disengaja dalam black campaign atau kampanye hitam yang destruktif (lihat republika.co.id dan kompas.com).
Pasukan cyber berbentuk tim-tim khusus bertugas untuk membentuk opini masyarakat di dunia maya. Tim khusus ini menyampaikan visi-misi calon yang didukungnya, menyampaikan keberhasilan-keberhasilan dan sisi positif kandidatnya, menyindir kandidat lain, menyebarkan isu, gosip, hingga kampanye hitam. Kampanye-kampanye negatif sama-sama dilakukan oleh kedua belah kandidat yang bertarung (Republika.co.id).
Renungan
Tidak jauh berbeda dengan perilaku anak-anak, seperti itu lah tingkah laku elit bangsa ini: saling membully. Perilaku kekanak-kanakan ini lah yang harus kita waspadai, karena seperti disampaikan Scherer (2012) di akhir tulisannya, kita adalah model bagi anak-anak kita. Dengan jangkauan tak terbatas dari internet, potensi replikasi dan jangkauan pada pengguna yang tak terbatas, bukannya tidak mungkin perilaku saling membully ini tersosialisasikan dan ditiru oleh generasi muda Indonesia.
Memang belum ada penelitian psikologis maupun sosial terkait efek political cyberbullying ini, tetapi secara singkat dapat kita pahami bahwa taktik cyberbullying kampanye hitam dapat membuat anak-anak yang tidak berdosa terkena imbasnya: menjadi copycat dan lingkaran setan akan terus beregenerasi.
***
Referensi:
Berne.S., Frisen. A., Schultze-Krumbolz. A., Scheithauer. H., Naruskov. K., Luik. P., Katzer. C., Erentaite. R., Zukauskiene. R. 2013. Cyberbullying assessment instruments: A systematic review. Aggression and Violent Behavior 18 (2013) 320–334 advance publikasi online http://dx.doi.org/10.1016/j.avb.2012.11.022
Cassidy. W., Faucher. C., Jackson., M. 2013. Cyberbullying among youth: A comprehensive review of current international research and its implications and application to policy and practice. School Psychology International. 34(6) 575–612 DOI: 10.1177/0143034313479697
Kompas.com, 2014, 5 Juni. Prabowo-Hatta Kerahkan Pasukan Siber dari Gerindra dan PKS. Diunduh dari http://nasional.kompas.com/read/2014/06/05/1509220/Prabowo.Hatta.Kerahkan.Pasukan.Siber.dari.Gerindra.dan.PKS
Republika.co.id, 2014, 24 April. Jokowi dan Pasukan Nasi Bungkus. Diunduh dari http://www.republika.co.id/berita/pemilu/menuju-ri-1/14/04/24/n4hqk3-jokowi-dan-pasukan-nasi-bungkus
Republika.co.id, 2014, 27 April. Semua Capres Siapkan Pasukan Udara. Diunduh dari http://www.republika.co.id/berita/pemilu/menuju-ri-1/14/04/27/n4o4ls-semua-capres-siapkan-pasukan-udara
Scherer. M, 2012, 28 Maret. Political Cyberbullying . time.com. diunduh dari http://swampland.time.com/2012/03/28/the-problem-with-political-cyberbullying/
Vandenbosch. H., Van Cleemput. K., 2009. Cyberbullying among youngsters: profiles of bullies and victims. New Media Society 2009 11: 1349 DOI: 10.1177/1461444809341263
Wong-Lo. M. & Bullock. L.M. 2014. Digital metamorphosis: Examination of the bystander culture in cyberbullying. Aggression and Violent Behavior 19 (2014) 418–422 advance publikasi online http://dx.doi.org/10.1016/j.avb.2014.06.007